Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4. Resep Dari Bidan

****

“Ini bukan penguat rahim, Bu Rusni, tapi obat anti hamil!” ucap Bidan Elsa mengejutkan Rusni dan Rinay. Siapa yang mengkonsumsi ini?” tanyanya lagi seraya mengerutkan kening, menatap Rinay dengan lekat. Jelas dia mencurigai pengantin baru itu. Dia yakin tak mungkin Rusni yang mengkonsumsinya. Wanita paruh baya itu tak bisa hamil lagi karena sudah monopose.

“Nay? Kamukah?” Bidan Elsa menepuk halus pundak Rinay.

Rinay berdebar. Wanita itu mengangguk, tampak kian gugup. Bagaimana mungkin suaminya memberi dia obat anti hamil. Bukankah Bagas sangat ingin agar Rinay cepat hamil? Bukankah Bagas ingin memberi kejutan kepada orang tuanya dengan memberi mereka seorang cucu. Lalu, kenapa bagas malah memberi dia obat anti hamil?

“Apakah kalian sengaja ingin menunda punya anak dulu, Nay?” Sang Bidan mulai menyelidik.

“Ti-tidak, kok! Saya dan Mas Bagas malah sangat ingin cepat-cepat memiliki momongan. Pengen bahagiakan orang tuannya. Kedua mertua saya sudah tak sabar mendapat cucu dari saya,” urai Rinay membuat kedua alis sang bidan saling bertaut.

“Kalau pengen cepat punya anak kenapa malah minum obat anti hamil?” sergahnya bingung.

“Berarti suamimu tidak ingin kamu hamil!” sela Rusni ketus. Dia terlihat sangat kecewa. Bibirny meruncing, dengan sorot mata amarah.

“Pasti Mas Bagas khilaf, dia pikir obat penyubur. Kan, Mas Bagas orang kantoran, bukan Dokter,” sahut Rinay membela sang suami.

“Eeeh, enggak usah kau bela suamimu itu! Di mana dia membeli obat itu, ha? Bisa dituntut apotiknya kalau ternyata dia terbukti salah memberi obat! Tapi kalau ternyata memang suamimu sengaja memberi kamu obat itu, supaya kamu enggak bisa hamil, bagaimana?” Rusni mendelik tajam.

“Enggak mungkin Mas Bagas begitu, Bu. Ibu berprasangka buruk terus sama dia. Ya, sudah, biar aku telpon sekarang.” Rinay mulai terisak. Sakit hatinya sang suami selalu dicurigai oleh Rusni.

“Enggak usah kau telpon! Nntoi malah jadi ribut! Sudah! Anggap saja dia salah ngasi obat! Bu Bidan, tolong beri Rinay vitamin, atau apa, gitu untuk penyubur! Katanya suami dan mertuanya sudah tak sabar menimang cucu!” Rusni mengalihkan tatapan kepada Bidan.

“Ya, lebih bik begitu. Mungkin suami Rinay khilaf. Tak mungikin seorang suami tega membohongi istrinya masalah seperti ini. Saya akan resepkan vitamin agar Rinay cepat hamil, tapi nebusnya di potik di kecamatan. Kamu bisa ke sana, Nay?” Bidan Elsa menengahi.

“Bisa, Bu Bidan, biar nanti saya dibonceng sama Elis, paki motornya!”

“Baik kalau begitu.”

***

Seminggu sudah berlalu, Rinay menunggu di depan pintu. Rindu membuncah di dalam dada. Pria yang ditunggu tak juga muncul. Kenapa? Tak biasanya Bagas seperti ini. Seminggu sekali adalah jadwalnya mengunjungi Rinay. Tapi kenapa malam ini dia tak datang.

“Bagas belum datang?” Rusni menghampirinya. Sama gelisahnya, sang ibu turut merasakan kerisauan hati putrinya.

“Iya, Bu. Aku telpon juga dia enggak aktif, kenapa, ya, Bu. Aku khawatir Mas Bagas kenapa-napa di jalan,” adu Rinay. Sebuah ponsel dia genggam erat. Menunggu kalau-kalau benda itu berbunyi.

“Berdoa saja, semoga perjalanannya lancar. Udah makan dulu, sana! Msuk angin nanti kalau enggak makan makan!”

“Nanti saja, Bu, bareng Mas Bagas.”

“Iya, kalau dia datang. Kalau enggak? Apa kamu enggak makan sampai pagi?”

“Nantilah, Bu. Enggak selera, kalau belum ada kabar dari Mas Bagas.

“Terserahlah!”

Jam terus berputar, Rinay masih menunggu di ambang pintu. Pukul dua belas malam, sang ibu memaksanya masuk ke dalam.

Rinay melemparkan tubuhnya di pembaringan. Mencoba menelpon sang suami sekali lagi, tetap tak aktif, chat yang dia kirim lewat aplikasi hijau tetap centang satu. Rinay mulai menangis, terisaka tapi tak bersuara, khawatir ibunya murka. Belum lagi kalau sampai dipaksa makan, sedang dia tak selera apa-apa. Wanita itu tertidur dalm tangisnya.

**

“Ma, acaranya sudah selesai, kan? Udah sepakat hari pernikahannya delapan hari lagi. Aku boleh cabut, ya?” Bagas agak berbisik di dekat telinga Rahayu, ibunya.

“Sebentar, Om Roby masih berbincang dengan papamu! Enggak sopan, buru-buru pulang!” sergah wanita itu setengah berbisik pula di dekat telinga sang putra kesayangan.

“Mama kan, tau, malam ini jadwalku ke desa? Rinay sudah menunggu, Ma! Kasihan dia, pasti gelisah nungguin aku!”

“Kamu masih saja mikirin dia? Padahal kamu udah mau nikah sebentar lagi! Berapa kali lagi mama mesti bilang sama kamu, Gas! Talak dia!” Rahayu mendelik.

“Kasihan, Ma! Aku enggak tega sekarang nalak dia. Aku akan cari waktu yang tepat. Udah, ya, Ma! Aku pulang duluan, mau langsung ke desa.”

“Enggak bisa! Nanti Tatiana dan calon mertuamu itu curiga lagi! Udah, duduk diam di situ!”

“Papa asik banget, ngobrolnya, Ma! Entah kapan selesainya!”

“Ya, udah, kamu ajak Tatiana ngobrol juga sana!!”

“Udah bosan, kali, Ma, ngobrol bareng dia. Kayak baru kenal saja!”

“Tante, bantu Tatiana milih desain gaun pengantinnya, yuk!” Seorang gadis menghampiri mereka. Dengan manja gadis itu menggandeng lengan Rahayu.

“Kenapa enggak ajak Bagas? Kok, malah tante?” Rahayu menoleh pada Bagas.

“Mas Bagas mana tau mode, Tan! Yang ada kita malah berantem karena berselisih selera. Sama Tante, aja!”

Bagas merasa lega, kedua wanita itu akhirnya berlalu juga. Buru-buru dia berjalan menuju mobilnya. Baru saja mesin mobil dia nyalakan, Tatiana sudah menyusulnya.

“Mas Bagas mau ke desa Rinay, kan? Aku ikut!” ketusnya dengan wajah ditekuk.

“Enggak, siapa yang bilang aku mau ke sana?” gugup Bagas melihat ke sekeliling, sepi. Halaman rumah megah itu terlihat sangat lengang. Tak ada siapa-siapa. Lalu siapa yang mengadu kepada gadis ini kalau dia hendak pergi? CCTV, buset! Bagas memukul stir mobil dengan halus.

“Sepertinya Mas Bagas cinta banget sama Rinay. Apa, sih, istimewanya perempuan kampung itu? Paling bau sawah, juga! Sampai-sampai Mas maksa tetap ke sana, padahal malam ini acara kita. Ini udah malam banget, lho! Tapi Mas tetap nekat ke sana!”

“Kamu cemburu?”

“Ya, iyalah! Dulu, Mas bilang, Mas enggak cinta sama dia. Mas cuma khilaf karena kangen sama aku! Mas malah nyalahin aku karena enggak mau jenguk Mas di desa itu! Mas juga janji kalau pernikahan itu cuma formalitas untuk meredam orang kampung! Karena kalau enggak dinikahin, proyek akan diluluh lantakkan warga.”

“Kan, memang nyatanya begitu?”

“Mas janji akan langsung talak Rinay! Mana buktinya! Gara-gara itu pernikahan kita ditunda.”

“Kamu tau enggak aku butuh apa dari dia? Makanya aku tetap nekat ke sana?”

“Apa?”

“Ini, kau mau lakukan untukku?” Bagas menyentuh bibir gadis itu dengan ujung jemarinya.

“Mau, kenapa Mas enggak pernah minta?”

“Benaran? Kita belum nikah, lho!”

“Kan bentar lagi kita nikah. Bentar, aku izin sama mama, lalu kita cek in hotel!”

*****

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel