Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Rinay Tiba Di Kota

*****

“Mas datang?” Rinay menghambur ke pelukan Bagas.

“Maaf, ya! Minggu lalu Mas enggak bisa datang. Mas sibuk banget urusan kantor,” sahut Bagas mengeratkan pelukan. Dia sengaja mencuri waktu, diam-diam mendatangi Rinay. Padahal baru empat hari yang lalu dia menikahi Tatiana. Mereka bahkan masih dalam suasana bulan madu. Bulan madu yang hambar. Setiap detik memang mereka lewatkan bersama. Namun, keinginan Bagas untuk menuntaskan hasrat tak pernah mencapai puncaknya. Tatiana tak bisa memuaskan dahaganya.

Bagas merindukan Rinay, keinginan pada istri sirinya itu makin membuncah. Dia tak bisa menahan lagi. Dengan alasan bertemu client penting, dia pamit kepada Tatiana.

“Iya, kan udah Mas jelasin di WA. Tapi, kenapa, sih, Mas, aku enggak bisa telpon atau chat nomor Mas Bagas? Mas Blokir nomorku, ya? Lalu Mas buka blokirannya pada saat Mas perlu saja? Kenapa?”

“Sayang, aku, kan, kerja! Dengar, ya! Kita, kalau mau pernikhan ini langgeng, kita harus saling percaya. Kamu harus percaya sama Mas. Begitu juga sebaliknya. Udah, ayolah, enggak usah bahas yang enggak penting, aku kangen, sa … ngat kangen.”

Rinay mengangguk, menyungging senyum manis, siap melayani keinginan sang suami.

*

“Vitaminya masih diminum, kan, Sayang?” tanya Bagas di antara er*ngan nikmat sang istri. Hingga detik ini, dia tetap tak ingin Rinay hamil agar rahasia ini tetap terjamin.

Rinay menjawab dengan gumamam. Betapa dia ingin mengatakan kalau vitamin yang dikatakan suaminya sebagai penyubur rahim itu tak lagi dia konsumsi. Namun, bibirnya tak sanggup berucap. Kenikmatan ini terlalu sempurna. Tak ada waktu untuk berbicara.

**

“Kamu hamil?”

“Iya, Bu. Allah mengabulkan doa Rinay. Kata Mas Bagas jika Rinay hamil, maka Rinay boleh tinggal di kota bersamanya. Sekaligus memberi kejutan kepada orang tuanya. Rinay akan menyusul Mas Bagas sekarang juga. Doa in Rinay, ya, Bu!”

Rusni menatap putrinya dengan perasaan campur aduk. Entah kenapa, dia merasakan firasat buruk. Ada keraguan, kalau Bagas akan memenuhi janjinya. Naluri seorang ibu.

“Kamu yakin akan menyusul Bagas ke kota?”

“Iya, Bu. Yakin banget.” Rinay mengulas senyum. Wajah cantik tanpa polesan itu terlihat kian berseri-seri.

“Kenapa tidak ditelpon saja! Atau tunggu Bagas datang. Dua hari lagi jadwalnya datang, kan?”

“Enggak usah, Bu. Rinay mau ngasi kejutan buat Mas Bagas dan juga keluarganya, Bu. Mas Bagas pasti sangat senang, akhirnya keinginannya punya anak terkabul. Kedua mertua Rinay pasti sangat bahagia punya cucu pertama dari Rinay. Rasanya tak sabar cepat sampai di sana.” Rinay kian berbinar-binar.

*

“Ini, Kak! Jalan Bunga Encole nomor 125 A!” Supir Beca menepikan beca di depan sebuah rumah berpagar.

“Benar ini, ya, Bang?” tanya Rinay memastikan. Netranya memindai rumah yang terlihat dari celah besi pagar.

“Itu, tertulis di tembok nomor rumahnya, Kak. Nomor 125 A.” Supir Beca memastikan.

“Oh, iya. Terima kasih, ya, Bang! Ini ongkos saya.” Rinay menyerahkan selembar uang sepuluh ribu. Lalu bergerak turun.

“Sama-sama, Kak.”

Rinay termangu di depan gerbang yang terkunci rapat dari dalam. Semangat yang tadi berkobar-kobar seketika memudar. Sedikitpun dia tak membayangkan kalau rumah suaminya seperti yang terbentang di hadapan. Rumah megah di dalam sana terlihat sangat angkuh. Jangankan penghuni rumah, besi-besi kokoh pagar yang mengelilinginya pun, seolah menolak kedatangannya.

Rinay menunduk, menatap kaus lengan panjang dan rok lebar panjang yang melekat di tubuhnya. Memindai sandal murahan di kakinya, menoleh ke arah tas kain kumal yang tergeletak di dekatnya. Rinay merasa begitu minder sekarang.

Penampilannya persis seperti seorang gadis kampung yang hendak meminta pekerjaan sebagai buruh cuci di rumah mewah itu. Bukan sebagai seorang menantu yang datang membawa kabar akan kehadiran calon pewaris keluarga di rahimnya.

“Maaf, Kakak cari siapa?”

Rinay tersentak, seseorang menyapanya dari celah besi pagar. Seorang pria berseragam satpam.

“Eh, saya … saya ….”

“Tin … tiiin … tiiiiiin …!”

Sekali lagi Rinay tersentak, suara klakson mobil nan kencang seperti memekakkan gendang telinganya. repleks dia bergerak ke samping, sembari menyeret tas pakaian. Sang pengemudi mobil menurunkan kaca jendela. Seorang wanita cantik mendelik tajam ke arah Rinay.

“Jangan ngemis di sini, Bik! Sono, di lampu merah! Ganggu, aja!” bentaknya kasar.

Bik? Rinay terperangah, begitu tuakah terlihat penampilan dirinya? Atau wanita sombong itu yang sudah rabun?

“Bang Aman! Cepat buka gerbangnya …!” Kembali wanita itu berteriak tak sabar, kali ini meneriaki sang satpam. Padahal pria yang bernama Aman itu sudah bergerak tanpa menunggu perintah.

Pintu pagar dibuka dari dalam. Mobil mewah itupun bergerak memasuki halaman.

“Kakak mau bertemu siapa? Kakak mau apa? Maaf, gerbangnya saya tutup lagi, ya! Non Tatiana itu judes orangnya, suka bentak-bentak. Maaf, ya, Kak!” Sang satpam bersiap menutup pintu gerbang kembali.

“Sebentar, Bang! Ini, saya mau nanya,” Rinay menghentikan pria berusia empat puluh tahunan itu.

“Iya, boleh, mau nanya apa? Kalau kerjaan, sepertinya tidak ada. Pembantu di rumah ini sudah lebih dari cukup. Maaf, ya, Kak!” Aman menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.

“Bu-bukan, saya bukan mau nanya kerjaan, tapi, saya mau nanya, apakah benar ini rumahnya Mas Bagas?” akhirnya punya keberanian untuk menyebut nama itu.

“Bagas? Bagaskara?” Sang security mengernyitkan kedua netranya. Seolah tak percaya kalau wanita kampung di hadapan mengenal majikannya.

“Iya, Mas Bagaskara.”

“Benar, ini rumahnya. Kakak siapa? Kok, kenal dengan majikan saya?”

“Oh, kenalin, saya Rinay. Saya istrinya,” sahut Rinay mengulurkan tangan. Betapa dia merasa lebih bersemangat setelah Aman menyebut suaminya adalah majikan. Sebuah lengkungan terbentuk di kedua sudut bibirnya. Senyum ramah terbit di sana. Aku tidak akan bersikap angkuh kepada pekerja-pekerja suamiku, begitu tekatnya.

Aman terperangah, kedua bola matanya membulat sempurna. Dengan perasaan bingung, dia memindai penampilan Rinay dari ujung kaki hingga kepala. Tangan Rinay yang sudh terulur hendak menyalam dirinya, mengambang di udara.

“Kenapa Abang bengong begitu? Nama Abang Aman, ya? Bang Aman! Bang ….”

“Oh, i-iya. Maaf, Kakak … waduh, saya bingung mau bilang apa? Kakak sepertinya ngelantur. Sebaiknya Kakak pergi saja dari sini, sebelum Non Tatiana ngamuk. Pergi, ya! Sana pergi!” Aman mendorong tubuh Rinay dari depan gerbang, agar tak menghalangi saat dia menutup dan menguncinya dari dalam.

“Ini benar rumah Mas Bagas, kan? Saya istrinya! Saya baru datang dari desa! Jangan tutup gerbangnya! Saya mau masuk!” Rinay menerobos masuk, bahkan langsung berjalan menuju halaman rumah megah itu.

Aman berusaha menghentikannya, namun Rinay tetap memaksa. Keributan itu memancing penghuni rumah.

“Rinay, kamu ke sini?” Seorang wanita paruh baya berteriak dari teras. Tatiana ada di sampingnya.

*****

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel