Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Bukan Penyubur Rahim Tapi Anti Hamil

*****

“Mas berangkat, ya! Jangan berisik, nanti Bapak sama Ibu terbangun!” Bagas mengecup bib*r istrinya sekali lagi.

“Tapi, kata Ibu bangunin dia kalau Mas Bagas mau berangkat, aku bangunin dulu, ya?”usul Rinay beranjak pergi.

“Enggak usah, Sayang! Kasihan tidur mereka terganggu. Ini belum Subuh. Pasti tadi malam juga tidurnya larut, kan? Sini, Mas masih kangen, sebetulnya.” Bagas kembali memeluk Rinay, sengaja untuk mengalihkan perhatian wanita lugu itu.

“Aku juga kangen, Mas. Belum berpisah aja, rasa kangennya udah mencekik,” lirih Rinay membenamkan kepala di dada bidang Bagas.

“Sama. Satu ronde lagi, yuk? Biar kangennya berkurang,” bujuk Bagas, kembali sukses menguasai hati dan perasaan sang istri. Tangan kekar itu kembali bergerilya di tubuh polos Rinay.

“Emm,” gumam wanita itu kembali memasrahkan diri seutuhnya.

Lima belas menit berlangsung, Rinay kembali terkulai kehabisan tenaga. Bagas beringsut turun dari atasnya, setelah mengecup kening sang istri sekali lagi, pria itu buru-buru mengenakan pakaiannya. Tanpa mandi, tanpa cuci muka.

“Capek, ya?” tanyanya seraya mengeluarkan lima lembar kertas berwarna merah dari dalam dompetnya.

“Eeem, tapi aku bahagia, Mas. Pagi ini, Mas benar-benar luar biasa.” Rinay menjawab dengan mata tetap terpejam.

“Kamu juga makin hebat, Sayang. Ini belanja kamu seminggu ini, ya! Bagi buat Bapak sama Ibu juga!” Bagas meletakkan lembaran uang di sisi kepala Rinay.

“Makasih, Mas! Minggu depan cepat datang, ya! Aku enggak bisa bernafas rasanya bila nahan kangen lebih lama.”

“Iya, Sayang! Tapi, kalau kamu datang bulan, kabari, ya! Nanti sia-sia Mas ke sini, hehehe. Dan jangan lupa minum vitamin penyuburnya secara rutin!”

“Iya, Mas. Semoga bulan ini aku enggak datang bulan lagi. Biar bisa cepat-cepat ikut Mas Bagas ke kota. Doa in, ya, Mas!”

“Tentu, Sayang. Mas berangkat, ya! Bobok aja! Enggak usah antar Mas sampai teras!”

“Iya, Mas! Badan aku capek semua, sih. Mas hati-hati, ya!”

“Ya. Tinggal, ya!”

Bagas meraih tas pinggangnya yang terletak di atas nakas, memasukkan dompet dan ponsel ke dalamnya, lalu segera berlalu tanpa menoleh lagi. Pria itu berjingkat menuju pintu depan, memutar anak kunci tanpa suara. Saat deru mobilnya terdengar menjauh, Rinay sudah terlelap dalam tidurnya. Sementara Rusni, ibu Rinay yang tidur di kamar sebelah, terbangun seketika.

“Nay, bangun, Nay! Nay …!”

Rinay tersentak kaget, gedoran di pintu kamar disertai teriakan sang ibu membuat wanita itu terjaga. Memijit kening, Rinay merasakan kepalanya pusing. Berusaha mengembalikan kesadaran, teringat kalau baru saja dia terlelap setelah kelelahan bertempur dengan suaminya sepanjang pagi ini.

“Nay! Bangun, Rinay …!” Kembali teriakan sang ibu terdengar. Wanita paruh baya itu menerobos masuk karena pintu kamar memang tak sempat dikunci lagi oleh Rinay setelah Bagas pergi.

“Bangun kamu! Buka matamu!” perintah sang ibu sambil mengguncang-guncang bahu Rinay dengan kasar.

“Ibu, kepalaku pusing banget, mata juga masih sepet banget, bentar lagi, Bu! Iya, aku pasti sholat Subuh, kok, setelah mandi wajib. Tapi bentar lagi, ya, Bu!” Rinay memelas seraya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih tak berbusana.

“Bukan itu masalahnya! Suamimu udah pulang! Kamu kenapa ditinggal lagi! Kenapa kamu enggak ikut, Nay! Bangun!” Tariak Rusni, sang ibu terdengar makin geram.

“Oooh, itu. Iya, Bu. Baru aja Mas Bagas balik lagi ke kota. Dia harus kerja kan, Bu. Oh, iya, kata Mas Bagas aku boleh, kok, ikut dia ke kota.” Rinay memaksa membuka mata, lalu mengulas senyum manis.

“Lho, kalau boleh, kenapa kamu ditinggal! Kenapa enggak ikut!”

“Nanti, Bu. Kata Mas Bagas, kami akan memberi kejutan buat keluarganya. Orang tuanya pengen banget punya cucu. Mas Bagas akan membawa aku ke kota, sekalian memberi tahu keluarganya bahwa aku hamil. Mas Bagas juga janji akan mengurus surat nikah kami, agar terdaftar di negara.”

“Apa? Kamu hamil?” Wajah Rusni seketika berubah terang. Tentu saja dia ikut bahagia mendengar kalimat putrinya. Namun, senyum itu seketika sirna.

“Belum,” sahut Rinay dengan polosnya.

“Be-belum, artinya … kamu akan dibawa ke kota kalau sudah hamil?”

“Iya.”

“Astaga, Rinay …! Artinya Bagas memang tak ingin membawa kamu! Laki-laki kurang aj*r! Dia cuma mau memanfatkanmu! Omongan tetangga itu benar, Rinay! Bagas memperlakukan kamu itu tak lebih dari istri simpanan. Datang seminggu sekali untuk tidur sama kamu, lalu setelah puas di pergi lagi.”

“Ibu, Mas Bagas bukan seperti itu! Dia cinta sama Rinay!”

“Cinta? Kalau dia cinta, dia akan membawamu ke rumahnya! Tinggal di rumahnya! Bukan meninggalkanmu di sini! Lihat, lihat uang itu! Kau dia bayar lima ratus ribu setelah kau dia tiduri satu malaman, bahkan sampai pagi, iya, kan?”

“Aku istrinya, Bu! Wajar dia meniduri aku!” untuk pertama kalinya, Rinay berteriak kepada ibunya. Namun, detik itu juga dia tersadar. Menyesal telah berkata kasar.

Rusni tersentak, menatap nanar wajah Rinay yang sudah basah air mata. Rinay melompat turun dari ranjang, langsung memeluk kaki ibunya.

“Maaf, Bu. Aku khilaf telah membentak Ibu. Tapi, aku mohon sama Ibu, tolong jangan tuduh suamiku seperti itu! Tolong, Bu! Kami saling cinta. Mas Bagas udah janji akan membawa aku ke rumahnya, bila aku hamil,” lirihnya memelas.

“Bagaimana kalau kau tidak hamil-hamil?” tanya Rusni setelah menelan ludah dengan susah payah.

“Mas Bagas selalu membelikan aku vitamin penyubur rahim. Aku mengkonsumsinya dengan teratur. Tolong doakan juga, agar Allah memberi kami momongan, Bu!”

“Vitamin penyubur rahim?”

“Iya.”

“Boleh ibu lihat?”

Rinay tercekat, teringat pesan suaminya, bahwa siapapun tak boleh tahu karena malu, dikira terlalu ngebet punya anak. Ragu, Rinay terdiam. Situasi ini mendesak. Tak ada salahnya dia jujur pada ibu, begitu pikirnya.

“Mana ibu liat!” Rusni makin memaksa.

“Rinay merapikan selimut penutup tubuh polosnya, lalu berjalan ke arah nakas. Meraih pil pemberian Bagas, lalu menunjukknnya kepada sang Ibu.

“Ini?” gumam Rusni meneliti. Rinay menggangguk. “Ibu akan bawa pil ini ke rumah Bu Bidan, ibu mau nanya, apa betul ini obat biar cepat hamil!” Rusni buru-buru keluar dari kamar Rinay.

“Jangan, Bu! Mas Bagas akan malu, kalau orang lain tahu! Tunggu, Bu!” Rinay mengejar sang Ibu. Namun langkahnya terhenti, sadar kalau dia masih tak berbaju. Kembali masuk ke kamar, buru-buru wanita itu berpakaian, lalu mengejar ke rumah Bidan.

Rumah Bidan Desa hanya berselang lima rumah dari rumah mereka. Tanpa basa basi, Rusni langsung menanyakan maksudnya. Rinay sudah berdiri di ambang pintu ruang praktek. Kedua wanita itu bagai disambar petir saat mendengar penjelasan sang bidan.

“Ini bukan penguat rahim, Bu Rusni, tapi obat anti hamil!”

*****

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel