Janji Lama di Lorong Sekolah
Langkah kaki Mira menyusuri lorong sekolah yang lengang selepas jam pelajaran pertama. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Ada rasa asing namun familiar yang menelusup sejak pagi tadi—seolah semesta sedang bersiap mempertemukannya kembali dengan sesuatu dari masa lalu.
Dan itu benar.
Di tikungan lorong, seorang pria berseragam guru dengan jas semi formal dan rambut yang mulai disisir rapi ke samping sedang berdiri sambil mengecek daftar pengajar di papan informasi. Tatapan mereka bertemu. Sekejap. Lalu membeku.
"Reza," gumam Mira, hampir tak percaya.
Pria itu tersenyum pelan. “Aku kira kamu nggak bakal kenal lagi,” ucapnya ringan, suaranya masih sama—tenang, nyaris seperti menyimpan luka yang tak pernah selesai.
Mira tersenyum canggung. “Kok kamu bisa di sini?”
Reza mengangkat bahu. “Sudah setahun. Tapi waktu aku tahu kamu butuh kerjaan, aku coba bantu lewat kepala yayasan.”
Seketika Mira teringat pesan singkat yang dikirim tanpa nama, hanya berkata: ‘Datang saja ke SMA Karya Mandala, jam 9. Katakan kamu direkomendasikan oleh RZ.’ Kini semua jelas.
Mereka berjalan berdua menyusuri koridor menuju ruang guru. Tak banyak kata, hanya udara yang terasa aneh. Seolah tiap langkah menarik kembali kenangan-kenangan lama yang dulu mereka simpan di bawah bantal malam.
Sampai akhirnya Reza menghentikan langkah.
“Masih ingat janji kamu dulu?” tanyanya tanpa menatap Mira.
Mira mengerutkan kening. “Janji?”
Reza tersenyum singkat. “Kalau kita ketemu lagi... kamu bakal makan malam sama aku. Cuma kita berdua.”
Mira menunduk. Matanya tak sanggup menatap terlalu lama. Banyak luka yang belum sembuh, banyak rasa yang mungkin masih mengendap. Tapi ia tahu: ia berhutang, bukan hanya pada pekerjaan, tapi pada kenangan yang dulu ia tinggalkan tanpa benar-benar pamit.
“Baiklah,” katanya pelan. “Tapi jangan salah sangka, ya.”
Reza mengangguk. “Aku nggak minta balikan, Mir. Aku cuma pengen ngobrol. Sekali aja.”
Dan saat mereka berpisah di ujung lorong, Mira menyadari—dunia ini memang aneh. Terkadang ia memaksa seseorang untuk berani menghadapi masa lalu... hanya agar bisa melangkah ke masa depan tanpa beban.
---
Pantulan Bola dan Nafas yang Terselip
Sore turun perlahan, seperti kelopak bunga yang menguncup. Cahaya kuning keemasan menari di dinding rumah-rumah perumahan elite yang rapi dan tenang. Mira baru saja memarkir mobilnya di carport, melepas sepatu haknya, dan mengganti baju dengan celana training dan kaus longgar. Kepalanya masih dipenuhi penyesuaian hari pertama di sekolah baru, wajah-wajah murid SMA yang bandel, dan—tak bisa dihindari—bayangan tangan kepala sekolah yang meninggalkan rasa geli yang tidak lucu di benaknya.
Langkahnya pelan saat suara pantulan bola basket terdengar dari lapangan kecil tak jauh dari rumah. Ia mengenali tawa putranya, Direno. Dan satu suara lain, lebih berat, lebih matang.
“Arjuna?” gumam Mira.
Di lapangan, Direno yang baru duduk di bangku SMA kelas satu sedang berkeringat hebat, melawan tetangga sebelah yang kini sudah tumbuh jadi lelaki dewasa—Arjuna, 23 tahun, tinggi dan kekar, dengan kemeja tanpa lengan dan celana pendek olahraga.
Mira bersandar di pagar, tersenyum kecil saat melihat dua laki-laki itu tertawa lepas. Arjuna menangkap bola dan melakukan lay-up cepat, membuat Direno mengerang kecewa. Mira berseru ringan, “Eh! Curang, itu tadi tiga langkah!”
Dua pasang mata menoleh. Direno melambai. Arjuna—yang dulu sering ia gendong saat masih kecil—tersenyum lebar.
“Bu Guru baru mau main juga?” goda Arjuna sambil melempar bola ke arah Mira.
Mira menangkap bola itu, sedikit oleng, lalu terkekeh. “Jangan remehkan ibu-ibu. Dulu, waktu kuliah, aku pemain cadangan tetap tim basket fakultas!”
Direno merengek, “Main aja, Bu, lawan dia, lawan Arjuna! Biar tahu rasa!”
“Siap!” ujar Mira, menepuk-nepuk pipinya sendiri, lalu masuk ke lapangan, melepas sandal. Kausnya sedikit tersingkap saat ia menggiring bola. Beberapa tetangga yang lewat menoleh sekilas. Tapi Mira sudah terlalu larut dalam tawa dan tantangan kecil ini.
Pertandingan satu lawan satu pun dimulai. Arjuna, meski santai, tetap menantang Mira untuk bergerak cepat. Keringat mulai membasahi leher Mira. Nafasnya memburu, tapi entah kenapa, rasa capek berubah jadi geli yang hangat. Setiap gerakan Arjuna terasa makin dekat, makin intens. Beberapa kali, tangan mereka bersentuhan saat berebut bola. Sekali, tubuh Arjuna menahan tubuhnya agar tidak jatuh saat Mira terpeleset mundur.
Dalam sepersekian detik itu, dada mereka bersentuhan. Mata mereka bertemu. Nafas Arjuna terasa di lehernya. Jantung Mira melonjak.
“Maaf, Bu,” bisik Arjuna.
Tapi Mira tak menjawab. Ia hanya mengangguk, matanya sedikit kabur oleh rasa yang tak bisa ia beri nama.
Malam mulai turun. Direno sudah masuk lebih dulu ke rumah. Arjuna membantu Mira mengambil handuk kecil dari pinggir lapangan. “Main basketnya masih jago, Bu Mira,” ujarnya dengan nada geli.
Mira hanya tertawa pelan. “Kamu sekarang udah tinggi banget, Jun. Dulu sering nangis minta ikut tidur di kasurku waktu listrik mati.”
Arjuna tersenyum, lalu menatap Mira lebih lama dari seharusnya. “Dulu kamu dewasa buatku. Sekarang... aku yang mulai mengerti rasanya jadi laki-laki.”
Mira terpaku. Bola basket jatuh pelan ke lantai semen.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama... ia merasa—entah bagaimana—melayang.
---
Uap, Sabun, dan Percakapan yang Tak Lagi Anak-anak
Uap tipis menyelimuti kaca kamar mandi. Wangi sabun lavender memenuhi udara, menenangkan setelah tubuh lelah berlarian di bawah sinar sore. Mira masuk lebih dulu, menyibak tirai dan menyapa hangat, “Rike, kamu keringetan banget. Ayo bareng aja, biar cepet.”
Rike, dengan handuk yang masih menempel di pundaknya, mengangguk kecil. Sudah lama mereka tak mandi bersama, tapi entah mengapa sore ini, rasa itu kembali—perasaan dekat, seperti dulu saat Rike masih kecil dan takut air hangat.
Namun kini berbeda.
Tubuh Rike bukan lagi tubuh bocah. Lekuknya telah tumbuh, dan Mira, yang kini berdiri di sampingnya sambil meremas sabun cair ke telapak tangan, tak bisa menghindar dari rasa aneh itu—bukan malu, bukan bangga. Hanya kesadaran yang mendalam: anak gadisnya tumbuh terlalu cepat.
“Rike...” ujar Mira pelan, suara air mengalun seperti iringan.
“Hm?” sahut Rike, memejam sebentar saat air hangat menyentuh tengkuknya.
“Kamu... udah beda ya sekarang.”
Rike tertawa, ringan tapi juga canggung. “Maksud Mama... aku udah jadi wanita?”
Mira diam sebentar. Mengangguk. “Iya. Dada kamu... pinggul... semua. Aku... kadang takut.”
“Takut kenapa?”
“Takut kamu gak cerita apa-apa lagi ke Mama. Takut kamu ngerasa aku udah gak ngerti dunia kamu.”
Rike tersenyum. Ia menoleh, matanya bening dalam kabut uap. “Aku tetap Rike, Ma. Yang suka manggil Mama cuma buat ngeramasin rambut. Yang kalo takut jatuh cinta, masih pengen cerita ke Mama dulu.”
Mira menggigit bibirnya pelan, menahan haru. Tangannya meremas rambut Rike, menuang sampo pelan sambil memijat. “Cinta... Kamu udah jatuh cinta?”
Rike tertawa pelan, menutup wajahnya dengan tangan yang basah. “Mungkin... tapi belum seberani Mama waktu cerita tentang Papa.”
Mira tertawa lirih. Air menyatu dengan mata, dan entah itu tetesan sabun atau air mata yang jatuh di pipi.
Mandi sore itu bukan sekadar membersihkan tubuh. Tapi membuka pintu kembali. Antara ibu dan anak. Antara perempuan yang pernah sama-sama takut menjadi dewasa.
Dan ketika mereka selesai, berjalan keluar kamar mandi dengan rambut basah, Mira tahu—hubungan mereka belum hilang. Hanya berubah bentuk. Seperti uap yang hilang, tapi menyisakan hangat.
---
Makan Malam, Tatapan yang Menyentuh
Meja makan malam itu sederhana. Nasi hangat, sup ayam, tahu goreng, sambal terasi, dan lalapan. Aroma daun jeruk dan bawang putih yang ditumis masih mengepul dari mangkuk besar di tengah meja. Tapi ada yang lebih hangat dari uap masakan—tatapan Dika pada Mira.
Rike duduk di sebelah Reno, sesekali mencubit lengan abangnya yang ogah-ogahan mengangkat sendok. Tapi mata mereka, sama seperti Mira, ikut melirik pada Dika yang sedang mengulurkan sendok berisi sup hangat ke arah Mira.
"Sayang, cobain ini dulu, aku tambahin perasan jeruk nipis dikit, kayak yang kamu suka," ucap Dika, suaranya lembut dan tenang, hampir seperti angin sore dari jendela yang setengah terbuka.
Mira terdiam sejenak. Ini... bukan adegan yang biasa. Ia tak ingat kapan terakhir kali ada lelaki yang memperlakukannya seperti itu di hadapan anak-anak. Apalagi dengan tulus, tanpa rasa canggung, seperti ini adalah rumah mereka sejak lama.
Ia menerima suapan itu dengan tangan gemetar sedikit. Bukan karena panasnya kuah, tapi karena hatinya yang seketika digenggam.
"Enak banget," ucapnya akhirnya. Dan ia tersenyum. Bukan senyum yang biasa ia berikan sebagai guru, atau sebagai ibu yang lelah. Tapi senyum sebagai perempuan... yang baru saja diingatkan bahwa ia masih bisa dicintai.
Rike berbisik pelan ke Reno, "Eh, Mas... kayaknya Mama suka sama Om Dika deh..."
Reno mengangkat alis. "Udah jelas lah... liat aja, Mama mukanya merah terus tuh."
Mira mendengar bisikan itu, dan pura-pura sibuk mengaduk sambal. Tapi Dika justru menatapnya dalam-dalam, lalu menyentuh tangan Mira perlahan di bawah meja. Hanya sebentar. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak seperti baru pulang main basket lagi.
"Mira..." Dika berkata, kali ini pelan, hanya mereka berdua yang bisa dengar, "Kalau kamu nyaman... aku siap nemenin kamu bukan cuma malam ini. Tapi malam-malam selanjutnya, kalau kamu mau."
Mira menatap matanya. Dan untuk pertama kali, sejak ia pindah, sejak ia merasa hidupnya cuma penuh tanggung jawab dan rasa bersalah... ia merasa diperbolehkan untuk berharap.
Makan malam itu sederhana, tapi untuk Reno dan Rike, malam itu adalah pertama kalinya mereka melihat ibunya tersenyum seperti perempuan biasa. Bukan ibu. Bukan janda. Bukan guru. Tapi perempuan yang jatuh cinta.
Dan untuk Mira... malam itu adalah awal dari sesuatu yang belum berani ia beri nama.
---
Tengah Malam dan Janji yang Kembali Ditepati
Malam itu, udara dingin tak berhasil menyelinap ke dalam kamar. Angin yang menyusup dari sela jendela terasa hangat, seolah membawa pesan-pesan lama yang belum sempat disampaikan. Di bawah redup lampu tidur, Mira dan Dika duduk berdampingan di ranjang, berdua dalam sunyi yang tidak lagi canggung, tidak lagi asing.
"Aku masih hafal aroma sampo yang kamu pakai dulu," bisik Dika sambil menyentuh ujung rambut Mira yang masih sedikit basah.
Mira tersenyum, tidak menjawab, hanya menoleh pelan. Tatapan mereka bertemu dan untuk sejenak, keduanya tenggelam dalam perasaan yang tidak pernah benar-benar padam. Dika bukan lagi pria yang ia tinggalkan dulu—ia adalah seseorang yang mengerti jarak, kehilangan, dan penantian. Dan malam ini, semuanya kembali menyatu dalam kesepakatan yang sunyi: saling menerima tanpa syarat.
Tak perlu kata cinta berulang. Yang mereka butuhkan hanya waktu. Dan malam ini, waktu berpihak.
Dalam pelukan yang tidak tergesa, ciuman yang tidak bernafsu tapi penuh arti, Mira merasakan dirinya larut. Ia bukan remaja yang dulu mencuri cium di belakang sekolah. Ia adalah perempuan yang sempat kehilangan arah, lalu menemukan rumah dalam dada yang sudah ia kenal sejak lama.
Mereka bicara. Lalu terdiam. Lalu bicara lagi, tapi dengan tubuh.
Bukan tentang seberapa sering. Bukan tentang angka. Tapi tentang bagaimana setiap gelombang yang menghantam tubuhnya malam itu, membawa serta kenangan dan luka-luka lama yang perlahan sembuh.
"Masih sama seperti dulu," ucap Mira dengan napas yang belum sepenuhnya tenang.
"Tidak. Justru lebih dalam dari yang dulu," jawab Dika sambil menggenggam tangan Mira, menekannya ke dada.
Di luar, malam semakin larut. Bulan seperti memperlambat rotasinya, memberi waktu bagi mereka untuk tetap dalam dekapan. Tidak tergesa. Tidak perlu keesokan hari.
Mira menatap langit-langit kamar. Ia tidak tahu apakah ini awal dari kebahagiaan baru, atau hanya pengulangan dari cerita yang belum selesai. Tapi satu hal ia tahu: malam ini, ia tidak sendiri. Ia tidak kosong. Ia bukan lagi hanya seorang ibu tunggal yang lelah mengajar dan mengurus hidup. Ia adalah seorang perempuan yang kembali merasa hidup, di tengah kelelahan dunia.
Dan untuk malam ini, itu cukup.
---
Next...... di Bab 3 ya guys
Malam yang penuh gairah membawa Mira dan Dika kembali ke masa lalu, ke malam pertama mereka di Bali. Di tepi kolam, mereka terlempar kembali ke kenangan yang tak terlupakan, di mana cinta dan gairah menyatu dalam harmoni yang sempurna
