9. Pamit
Sejak terkuaknya video yang menghebohkan kampusku. Feri dan Rosi di DO dari Universitas. Bahkan kudengar mereka akan menikah karena Rosi hamil dan orangtuanya meminta pertanggungjawaban Feri. Syukurlah kalau mereka akhirnya menikah.
Aku sudah tak pernah berhubungan dengan mereka berdua. Bahkan semua gengku pun sudah lama tak menyapa Rosi semenjak ketahuan merebut pacar eh ralat mantan pacarku.
Dino pun sepertinya sudah kembali ceria. Aku tahu dia juga sangat patah hati. Perjuangan cintanya sia-sia. Semoga kamu dapat pengganti yang lebih baik Dino. Doaku untukmu.
*****
Hari ini aku menemani Ayah Ibu mengunjungi rumah sakit tempat Mbak Nisha kerja selama ini. Kami baru sempat mengambil semua barang Mbak Nisha yang masih tertinggal. Selain itu bermaksud menemui pimpinan untuk mengucapkan permohonan maaf dan ucapan terima atas semua kebaikan beliau untuk keluarga kami.
Karena kebelet pipis. Aku ijin ke kamar mandi dulu. Ayah dan Ibu langsung masuk ke ruang pimpinan. Uh, lega akhirnya setelah menuntaskan hajat. Suasana sangat sepi karena kami sengaja janjian dengan pimpinan hari minggu sore agar tak terlalu ramai.
Entah kenapa aku refleks berjalan ke ruangan Mbak Nisha dulu. Saat akan membuka pintu aku mendengar suara orang bertengkar disana. Aku kepo karena mereka menyebut-nyebut nama Mbak Nisha.
"Kamu gak bisa menghindari aku terus Ray. Nisha udah gak ada. Jangan kamu siksa diri kamu. Ada aku," kudengar suara wanita sepertinya tidak asing.
"Aku sudah bilang sama kamu Hil, aku cuma nganggap kamu teman gak lebih. Jangan banyak berharap sama aku," nah kalau ini suara Mas Rayyan ganteng.
"Kenapa? Apa kurangnya aku hah? Aku yang selalu disisimu tapi kamu malah sukanya sama Nisha."
"Karena aku memang sukanya sama Nisha bukan kamu Hilda."
"Tapi Nisha sekarang udah gak ada. Kamu bisa mulai nerima aku. Aku suka kamu Ray. Suka kamu dari dulu."
"Tapi aku gak. Jangan paksa aku, Hil. Hati itu tidak bisa dipaksakan."
"Bisa. Kamu bisa coba nerima aku. Paling gak kasih aku kesempatan. Plis," kudengar Mbak Hilda mulai sesenggukan.
"Maaf Hil, aku gak bisa. Aku belum ingin berhubungan dengan siapapun untuk saat ini."
"Tapi suatu saat kamu akan menikah Ray. Plis beri aku kesempatan. Setidaknya biarkan aku mencintai kamu, menyayangi kamu, dan jangan tolak perhatianku. Kamu mau kan Ray."
"Maaf Hil. Aku gak bisa. Aku tak tahu kapan aku bisa menghilangkan cintaku untuk Nisha. Huft... Dan jangan sisksa diri kamu Hil, aku takut mengecewakan kamu lagi karena aku tak pernah bisa cinta sama kamu."
"Jadi kamu berniat mencari orang lain buat pengganti Nisha. Dan itu bukan aku. Kenapa? Kenapa kamu gak nyoba terima aku." Mbak Hilda nampak histeris dan diluar kendali. Ia bahkan memukul dada Mas Rayyan berkali-kali.
"Hilda cukup! Cinta itu datang dengan sendirinya bukan paksaan. Lagian kamu sudah punya Farhan!" bentak Mas Rayyan sambil melepaskan diri dari pukulan Mbak Hilda.
"Brengsek kamu Ray."
"Aku lebih suka kamu sebut brengsek daripada menjadi laki-laki yang benar-benar brengsek. Sudah aku bilang Hil, sejak dulu malah kalau aku cuma nganggap kamu sahabat gak lebih."
"Kenapa kamu gak coba Ray, bahkan aku rela jadi selingkuhan kamu."
"Astaga Hilda. Kamu punya otak gak sih. Kamu pikir aku lelaki brengsek pengumbar nafsu. Lagian Farhan sepertinya serius sama kamu."
"Aku gak cinta sama dia. Aku nerima dia buat manasin kamu. Lagian dia cuma perawat walau aku akui dia tampan."
"Astaghfirullah Hilda! Jangan kamu hina dia ya. Belum tentu aku lebih baik dari dia." Mas Rayyan tampak emosi.
"Kamu emang lebih baik, dokter, karir cemerlang, gaji tinggi, dosen, ganteng dan anak orang kaya sedang dia cuma..."
"Cukup! Cukup Hilda. Aku benar-benar gak nyangka kamu bisa menghina Farhan seperti ini. Mulai saat ini jangan ganggu aku."
Aku segera membalikkan badan berpura-pura membaca papan pengumuman dan memainkan ponsel. Sepertinya Mas Rayyan sedang marah sekali sampai tidak mengenaliku saat lewat. Fiuh...
Tak lama kemudian kulihat Mbak Hilda juga keluar. Matanya sembab, mungkin karena terlalu fokus nangis sehingga diapun tak mengenaliku juga. Setelah memastikan mereka tak ada, aku masuk ke ruang Mbak Nisha dan duduk di kursinya.
Pantas saat acara 100 hari selamatan Mbak Nisha mereka datang sendiri-sendiri. Mas Rayyan, coba kamu jadi jodohku. Feri bukan kamu Mas? Feri sama sekali tak ada secuil kuku pun mirip denganmu. Ternyata aku baru sadar kalau tak mungkin ada dua orang yang sama bahkan kembar sekalipun pasti berbeda.
*****
"Mas Rayyan," aku kaget saat membuka pintu ternyata Mas Rayyan yang datang. Mas Rayyan lama memandangku. Tatapannya begitu menusuk, aku jadi grogi.
"Ke-kenapa Mas?" tanyaku gugup.
"Oh, enggak Na. Ayah sama Ibumu ada?" Mas Rayyan berusaha menguasai diri.
"Ada. Masuk dulu Mas."
Aku memanggil kedua orang tuaku. Selanjutnya kubuatkan minum untuknya. Saat kembali membawakan minum dan camilan, kulihat mereka tengah asik ngobrol.
"Diminum Mas."
"Makasih Na."
Kami sibuk bercerita. Kulihat penampilan Mas Rayyan berbeda. Sekarang dia agak kurusan dan matanya tampak sayu. Pasti dia sangat kehilangan.
"Jadi kamu mau ke Australia, Nak?"
Deg.
Apa? Australia? Jadi Mas Rayyan mau pergi? Tiba-tiba aku merasakan sedikit sesak pada paru-paruku.
"Iya Ayah, Rayyan mau ngambil beasiswa PPDS Rayyan disana."
"Selamat ya Nak. Jangan tutup hatimu ya. Insya Allah, Nisha udah tenang disana. Kita semua harus belajar ikhlas. Ayah doakan jodoh kamu nanti lebih baik dari Nisha."
"Amin, Yah."
"Diminum dulu Nak. Sama dicicipi itu cucur bikinan Ibu tadi pagi." Ibu menyuruh Mas Rayyan minum.
Mas Rayyan mulai meneguk kopi buatanku. Sesaat dia berhenti mungkin kepanasan lalu meminum kembali minumannya. Ekspresi mukanya aneh. Dalam dan tajam ke arahku. Kenapa ya? Apa aku salah kasih garam bukannya gula. Tapi ayah dan ibu nampaknya baik-baik saja meminum kopi dan teh buatanku. Minumanku juga manis kok gak asin. Lalu kenapa?
"Kamu udah semester berapa Na?"
"Eh... Semester 6 Mas. Bentar lagi semesteran."
"Oh… Udah ngajuin judul?"
"Udah di ACC Mas. Lagi mulai mipil proposal."
Dia hanya memperlihatkan dua lesung pipinya, duh manisnya. Astaghfirullah. Sadar Nasha ckckck.
*****
Aku mengantar Mas Rayyan sampai teras depan. Ayah sedang menerima telepon sedangkan tadi Bi Sumi tetanggaku datang dan ada perlu dengan Ibu, jadi praktis hanya aku yang bisa mengantar ke depan.
"Na..."
"Iya Mas."
"Kopi tadi… Kamu yang buat?"
"Iya. Emangnya kenapa Mas? Asin ya? Tapi tadi aku kasih gula kok, beneran bukan garam." Aku berucap dengan mimik muka khawatir.
"Bukan. Tapi... Persis."
"Hah... Persis. Maksudnya?"
"Seperti buatan kakakmu." Aku melongo tak tahu harus menjawab apa.
"Sudah lama sekali rasanya. Kamu tahu setiap ada jadwal lembur bareng, dia selalu meracik kopi untukku. Menurutku itu kopi terenak yang pernah kuminum selain buatan Mamah."
"Mas... Aku..."
"Gak papa. Mungkin karena kalian saudara. Jadi kalian sangat mirip."
Kulihat matanya berkaca-kaca. Ya Allah begitu cintakah dia padaku. Eh tunggu… Mbak Nisha maksudnya. Ckckck. Otakku udah geser kayaknya.
"Sampai rasa minuman buatan kalian pun sama," lanjutnya. Dia mengelap air matanya dengan lengan kemejanya. Kemudian tersenyum.
"Mas mau kupeluk?" entah kenapa terucap begitu saja kalimat itu.
Mas Rayyan langsung membawaku dalam pelukannya. Kulihat pundaknya bergetar. Refleks aku balik memeluk tubuhnya. Cukup lama kami berpelukan hingga Mas Rayyan melepasnya.
"Makasih Na. Jaga dirimu ya. Mas pamit."
Mas Rayyan melangkah menuju mobilnya. Dia mulai menstarter mobilnya. Saat hendak melaju aku berlari menghampirinya.
"Mas Rayyan. Mas jangan sedih ya. Ayuk kita gapai mimpi kita berdua. Mas dengan spesialisnya dan aku dengan gelar dokterku," ujarku.
"Saat kita bertemu lagi. Kalau Mas belum bisa move on sama Mbak Nisha dan aku masih sendiri. Mas lamar aku aja. Kan wajahku sama kayak Mbak jadi kalau Mas kangen sama Mbakku. Mas lihat aja aku. Oke," lanjutku. Aku tersenyum manis kearahnya dan dia terkekeh menanggapi leluconku.
"Oke Mas terima tawaran kamu," ucapnya sambil membelai kepalaku.
"Mas pamit Na. Assalamu’alaikum."
"Wa’alaikumsalam Mas."
Selamat tinggal Mas. Semoga bahagia selalu menyertaimu. Semoga kita bisa berjumpa lagi. Entah kapan itu aku tak tahu.
