10. Tempat Baru
*Lima Tahun Kemudian*
Aku berjalan menelusuri koridor Puskesmas Sokaraja II. Aku ditempatkan di sini setelah lulus tes CPNS, dua tahun lalu.
Ayah dan Ibu memutuskan ikut denganku. Ayah membeli rumah di Sokaraja. Karena toh Ayah sudah pensiun dari kerjaan beliau sebagai guru. Sedangkan Ibu cuma ibu rumah tangga. Sehingga mereka malah dengan senang hati mengikutiku yang kini menjadi anak semata wayang mereka.
Rumah di Jatilawang ditempati Huda untuk sementara waktu sampai dia punya rumah sendiri. Usia Huda sepantaran Mbak Nisha. Dia sudah menikah dan punya satu putri yang cantik. Kalian mau tahu siapa istrinya? Dia tak lain dan tak bukan adalah drg. Sagita Prastika hahaha. Yap, salah satu sahabatku, Gita. Entah bagaimana mereka jatuh cinta, tahu-tahu nikah aja. Dino dan Lusi juga sudah menikah dengan pilihan mereka. Sedangkan Leo, Jeni dan aku, kami masih asik sendiri.
"Pagi dr. Nasha," sapa Suster Mira yang bertugas menemaniku di poli gigi.
"Pagi Suster Mira," jawabku singkat.
Setelah masuk ke ruanganku, aku memulai bekerja memeriksa pasien. Bekerja di Puskesmas memiliki jam kerja dari pukul 08.00 s.d 14.00 dari hari Senin-Sabtu. Seringnya jam 12 sudah tak ada pasien jadi santai. Setelah selesai aku langsung pulang ke rumah.
Semenjak kematian Mbak Nisha aku jarang main dan lebih senang di rumah menemani Ayah dan Ibu. Bahkan setelah menjadi dokter, aku pun belum ingin membuka praktek pribadi ataupun ikut bekerja di klinik lain sebagai tambahan. Entahlah, bagiku gaji PNS sudah cukup untuk kehidupanku dan membantu orang tua. Aku tak ingin kehilangan banyak waktu untuk mereka.
*****
"Kamu gak pengen maen Dek?" tanya Ibu.
"Gak Bu, kenapa?" jawabku sambil membantu Ibu memasukkan kain batik pesanan temannya ke dalam kardus. Ayah dan Ibu memulai usaha toko batik dan oleh-oleh di Sokaraja. Yah memang masih kecil-kecilan tapi cukup memberikan tambahan penghasilan.
"Apa kamu gak bosen Dek? Sesekali main atau ajak teman-temanmu kesini. Malah bagus kalau temennya cowok."
"Belum pingin Bu. Masih menikmati hidup sendiri." Aku tahu Ayah Ibu sangat berharap aku memikirkan masa depan terutama dalam hal jodoh. Tapi semenjak putus dengan Feri aku malas pacaran lagi.
Ditambah pengalaman saat koas. Saat itu ada yang mendekatiku namanya Kevin anak kedokteran juga. Tapi ternyata selain mendekatiku dia juga PDKT dengan salah satu perawat disitu. Aku memergoki mereka sedang berkencan mesra di suatu pantai. Jangan ditanyakan bagaimana ekspresi Kevin pas bertemu denganku. Sejak saat itu dia tak pernah berusaha mendekatiku lagi. Huh dasar cowok.
Belum lagi pas masih jadi CPNS, ada perawat PNS juga yang mendekatiku begitu aku kroscek ternyata sudah punya tunangan. Haduh... Sejak saat itu aku males menanggapi perhatian kaum adam. Bahkan banyak yang bilang aku terlalu dingin sama cowok. Aku tak peduli.
*****
"Coba buka mulutnya, aaaaa. Yang lebar sayang, iya pinter, bismillah." Aku sedang mencabut gigi anak usia 6 tahun.
"Coba jangan dibuang dulu kasanya ya sayang. Pinter gak nangis anak hebat toss." Aku dan seorang anak cewek berusia 6 tahun saling tos.
"Makasih Bu Dokter," sahut sang Ibu.
"Makasih Bu Doktel," ucap sang anak agak cadel.
"Sama-sama sayang. Nanti kalau goyang lagi giginya kesini lagi ya. Ketemu sama Bu Dokter."
"Iya Bu Doktel. Rara pulang dulu ya?"
"Hati-hati."
Huft. Aku menghempaskan tubuhku di kursi. Hari ini lumayan banyak pasiennya.
"Sus Mira, masih ada pasien gak?"
"Udah gak ada Dok."
"Oke. Aku mau main ke poli KIA/KB dulu ya? kalau ada pasien lagi aku di calling." Aku berjalan menuju poli KIA/KB.
"Sei... Masih banyak pasienkah?" aku duduk disamping Seina, salah satu bidan seumuranku.
"Kayaknya gak ada udah sepi ini."
"Banyak pasien hari ini?"
"Gak juga sih cuma 10 aja. Tapi kebanyakan pada kontrol lab juga jadi lama."
"Oh... Suami gak pulang apa?"
"Gak. Mas Tio kayaknya masih sebulan lagi baru bisa balik," ucapnya sendu.
"Kasihan pengantin baru 3 bulan udah ditinggal suami tugas."
"Mau gimana lagi resiko punya suami abdi negara." Suami Seina tentara saudara-saudara.
"Lah kamu sendiri gimana? Kok masih betah sendiri aja."
"Ya gak gimana-gimana. Emang aku masih seneng sendiri kok."
"Ckckck. Jadi perawan tua baru tahu rasa. Eh Mas Tio punya banyak kenalan tentara single loh mau tak kenalin gak?" ucapnya dengan seringai menggoda.
"Enggak. Makasih."
"Jadi cewek jangan cuek bin dingin gitu napa? Ntar semua cowok kabur lihat kamu." Seina mulai sewot.
"Siapa yang dingin? Orang aku ramah banget kok jadi orang."
"Iya ramahnya cuma sama pasien dan rekan kerja yang cewek sama yang cowok juteknya minta ampun."
"Kamu tahu Mas Rian, tenaga admin kita dia itu curhat ke aku kalau naksir kamu. Tapi katanya setiap dia nyoba deketin kamu. Kamu dinginnya minta ampun. Dia jadi galau dech. Belum lagi kamu ingat dr. Wijaya yang di Sokaraja I, dia itu katanya naksir sama kamu pengin kenalan lebih dekat. Tapi kamu setiap di chat gak pernah balas pas ketemu juga cuek kaya bebek," sambung Seina lagi.
"Masa sih orang aku biasa aja," jawabku santai.
"Iya biasa cuek." Seina tampak manyun.
"Santai kenapa sih Non? Ih... Mukanya jelek tahu manyun gitu," ucapku cengengesan.
Seina masih saja ngedumel menasihatiku agar aku mau membuka diri sama cowok. Tapi ya cuma masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Hahaha.
*****
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Baru pulang Dek?"
"Iya Yah, tadi habis nganter Seina bawa pasien ke Margono."
"Oh, langsung mandi sana! Lalu makan."
"Siap Ayah. Oh iya, Ibu mana?"
"Lagi bantu-bantu di rumah Bu Sumitro. Anaknya mau nikah."
"Mbak Dian mau nikah? Alhamdulillah."
"Iya."
"Wah, harus segera nyari kado ini."
"Kamu kapan dapet kado Dek?"
"Hah? Maksudnya Yah?"
"Kamu kapan di kasih kado hem? Selama ini kamu selalu ngasih kado. Dikasih kado alias nikahnya kapan?"
Aku cuma nyengir mendengar ucapan Ayah. Akhirnya aku memilih duduk di samping Ayah.
"Yah, Nasha bakalan nikah kok. Tapi nanti ya kalau jodoh Na udah nemu. Na belum nemu soalnya, ya Na gak bisa nikah dong?"
"Kamu nyari yang kaya apa?"
"Entahlah Yah, kalau bisa blasteran kayak Mas Rayyan," ucapku dengan seringai menggoda.
Ayah mencubit kedua pipiku. Dan aku menjerit. Lalu Ayah menarikku dalam pelukannya.
"Ya Allah Dek, emangnya Rayyan mau sama kamu?"
"Gak tahu hehehe."
"Ngomong tentang Rayyan, Ayah kangen sama dia. Udah nikah belum ya Dek."
"Tahu Yah, kita kan udah lost kontak sama Mas Rayyan."
Hening.
"Semoga Nak Rayyan bisa move on ya Dek."
"Amin. Kalau belum move on masih ada Nasha kok Yah. Siapa tahu Mas Rayyan mau nikah sama Na."
Ayah tertawa lalu kembali mencubit pipiku lagi.
"Halumu Dek."
"Gak papa halu, lagian kan gak merugikan orang lain."
"Ya iya, udah sana mandi! Bau."
"Oke Ayah."
Aku segera menuju kamar dan membersihkan diri. Saat sedang mengeringkan rambutku. Tatapanku tertuju pada sebuah foto. Di mana didalam foto itu ada tiga potret yang tersenyum ke arah kamera.
"Ya Allah, aku rindu dengan pemilik dua lesung pipi ternyata," lirihku.
