7. Luka
"Na, tolong kamu beliin beberapa keperluan di Moro aja ya? biar lebih murah."
"Iya Bu, nanti Nasha naik Grab aja. Kasihan Ayah."
"Iya, apa kamu ditemani sama Huda aja, Na?"
"Gak usah Bu! Kasihan Huda, mungkin dia juga lagi capek. Udah Na sendiri aja."
"Ya sudah, hati-hati ya Nduk."
"Iya Bu."
Aku segera memesan Grab melalui aplikasi di ponselku. Kurang dari lima belas menit Grab datang dan aku langsung naik.
Sekitar empat puluh lima menit, aku sampai di Moro. Langsung saja aku mengambil keranjang dan mengisinya dengan berbagai keperluan seperti yang tertera di daftar belanjaan yang sudah ibuku buat.
Setelah selesai berbelanja dan membayarnya di kasir, aku menitipkan barang belanjaanku di penitipan barang. Aku ingin membeli beberapa novel baru sebagai bahan bacaan. Saat aku hendak menuju ke area bookstore, mataku membelalak melihat pasangan yang tengah berjalan mesra. Refleks aku bersembunyi dan memilih memperhatikan mereka dari jauh.
*****
Mataku nanar melihat pasangan yang sedang berjalan mesra menuju lantai atas mall. Aku sengaja bersembunyi dibalik etalase agar tak terlihat. Baiklah, akan kulihat kejujuran kalian. Aku mengambil ponselku dan mulai mengirim chat.
Me : Lagi dimana?
Rosi : Di kosan. Kenapa?
Me : Aku maen ya? Mau otw nih.
Rosi : Eh jangan, aku bentar lagi pergi.
Me : Kemana?
Rosi : Nemeni Endah keluar nih.
Me : Ooo... Okelah. Next time aja.
Rosi : Ok.
Aku tertawa miris. Pergi dengan Endah, dasar pembohong. Baiklah tinggal Feri.
Me : Fer, temenin aku nyari keperluan buat 40 hari mbak Nisha yuk?
Feri : Sekarang?
Me : Iya. Ayuk ke BJ Sampang aja yang deket.
Feri : Sorry aku gak bisa. Ada janji sama temen.
Me : Siapa?
Feri : Satya.
Me : Oh... Ngapain?
Feri : Nyari tempat buat KKN.
Me : Ok. Hati-hati
Feri : Miss you.
Brengsek. Dasar lelaki brengsek. Oke fix udah lupain Feri. Dia bukan cowok yang baik. Lihatlah, bahkan kakakmu meninggal saja dia hanya datang sekali. Itu pun cuma sebentar. Dan lihatlah sahabatmu Na, menusukmu dari belakang.
"Baiklah jika itu mau kalian. Akan kulihat seberapa hebat permainan kalian," ucapku mantap.
Aku sudah pasrah dan lelah. Selama beberapa waktu ini aku berusaha memperbaiki hubunganku dengan Feri tapi rupanya dia yang makin menjauh. Selama ini aku pikir karena dia ingin membalas sikap acuhku ternyata bukan. Kamu bodoh Na. Lihatlah gak mungkin ada cowok yang sama seperti Mas Rayyan. Aku terkekeh. Lagi-lagi Mas Rayyan.
*****
"Bu, masih antri bayarnya. Habis itu Na mau mencari buku dulu. Jadi Nasha pulangnya agak telat ya Bu."
"Iya Nduk gak papa. Kamu hati-hati ya?"
"Iya Bu."
Aku menutup telepon dari Ibu. Saat ini aku sedang duduk di Andang Pangrenan seorang diri. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri setelah apa yang kulihat barusan.
"Ternyata patah hati sesakit ini," lirihku.
Aku tengah merenung. Mencoba mengingat kembali setiap kejadian antara aku, Rosi dan Feri. Aku sering dengar kisah percintaan dan persahabatan yang hancur karena sahabat kita menikung kita dari belakang.
Aku juga sering mendengar kisah percintaan yang hancur karena pacar kita selingkuh dengan sahabat kita sendiri. Aku tertawa miris. Rupanya aku menjadi salah satu yang mengalaminya.
Butuh sekitar satu jam bagiku untuk merenung dan menatapi takdir yang terjadi. Selebihnya aku sudah bertekad untuk lebih kuat dan gak cengeng.
"Ingat Ayah dan Ibu, Na. Mereka butuh kamu," tekadku.
Setelah yakin aku lebih tenang, aku segera memesan Grab dan pulang ke rumah.
*****
Mulai saat ini, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk fokus pada diri sendiri dan membahagiakan kedua orang tuaku. Tak mau memikirkan cinta-cintaan.
"Akhirnya, kita udah semester enam aja." Lusi mulai heboh.
"Heem. Bentar lagi skripsi trus koas. Huh... Gak sabar aku ketemu dokter beneran. Moga nanti ketemu dokter-dokter ganteng," sambung Gita.
"Yupz. Kita pasang senyum terindah kita. Lalu kita pancarkan kemilau gigi putih kita. Senyum Pepsodent," ucap Jeni sambil membidikkan kamera mode selfi ke arah kami lalu kami pun berfoto dengan memamerkan senyum Pepsodent.
Aku hanya tertawa saja. Hingga kulihat Rosi datang dan langsung duduk disampingku.
"Hai Ros. Gimana kabarmu?" Aku berakting seperti biasa walau tahu bahwa mereka telah menusukku dari belakang. Kulihat wajahnya tampak pucat.
"Hai Na," jawab Rosi singkat.
"Kamu pucat. Sakit?" tanyaku.
"Ya sakitlah orang begadang mulu," ucap Jeni dengan wajah mengejek.
"Iya lembur terus," tambah Lusi.
"Dilemburin lebih cocok." Gita berucap sarkas. Astaga.
Aku melotot ke arah Gita. Tapi Gita justru cuek. Aku semakin yakin, rupanya ketiga sahabatku sudah tahu pengkhianatan Rosi dan Feri.
"Aku duluan ya Na. Aku kurang enak badan. Kayaknya gak kuat kalau harus ikut kelas hari ini." Rosi bersuara pelan.
"Aku antar ya Ros."
"Oh... Gak usah." Rosi akhirnya berlalu meninggalkan kami.
*****
Kutatap nanar wajah seseorang yang berada di atas ranjang, matanya masih terpejam. Kemudian mata itu terbuka.
"Hai Ros? Gimana keadaanmu? Ada yang sakitkah?" tanyaku.
Rosi tadi siang ditemukan tergeletak di pintu menuju toilet. Dia ditemukan dalam keadaan pingsan dan langsung dirujuk ke klinik kesehatan kampus.
"Enggak," jawabnya.
"Ros... Siapa orang itu?"
"Maksud ka-kamu a-pa?" Rosi menjawab gagap.
"Kamu tahu maksudku Ros?" Dia hanya terdiam.
"Kamu tetap sahabatku Ros, walau semarah apapun aku padamu. Bahkan ketika tahu kamu menusukku dari belakang, aku tak bisa sepenuhnya membencimu," batinku.
"Usahakan dia bertanggungjawab. Jangan pernah gugurkan anakmu seperti yang hampir kamu lakukan. Entah bagaimana caramu, buat dia bertanggungjawab," kalimat itulah yang akhirnya aku lontarkan. Aku pun berdiri dan menuju pintu keluar klinik.
"Na..." ucapnya lirih. Aku pun menoleh dan menatapnya.
"Jika aku meminta pertanggungjawaban pada Ayah anak ini, kamu bisa melepaskannya?"
"Maksud kamu?" aku pura-pura tidak paham maksud ucapannya.
"Feri."
"Kenapa dengan Feri?" pancingku.
"Ayah bayi yang kukandung... Adalah Feri." Aku hanya tersenyum. Senyum penuh luka tapi berhasil kututupi.
"Oh..." Aku langsung berbalik dan mengulurkan tangan hendak membuka pintu. Sampai sebuah suara menghentikan langkahku.
"Aku mencintainya sejak dulu. Sejak pertama kali bertemu saat Ospek. Aku selalu mencari perhatiannya. Dua tahun Na, tapi dia tak pernah melirikku. Tapi saat ketemu kamu, dia langsung memintamu jadi pacarnya. Aku cemburu Na, kamu gak perlu bersusah payah menarik perhatian Feri. Tetapi, Feri bisa cinta sama kamu. Lalu aku?"
"Hingga kamu terlalu sibuk dengan kegiatanmu dan melupakan Feri. Saat itulah aku tahu ini saat yang tepat agar aku berjuang lagi mendapatkan Feri." Rosi melanjutkan curhatannya dengan menggebu.
"Lalu apa yang kau dapat? Cinta? Apa dia benar-benar mencintaimu? Lalu kenapa ia menyuruhmu menggugurkan kandunganmu?" tanyaku telak. Kulihat dia hanya menangis dan mengginggit bibirnya.
"Aku pergi."
Aku langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Rosi. Biarlah... Biar sang waktu yang akan menjawabnya. Biarlah waktu yang menyembuhkan luka hatiku.
******
