Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Kecelakaan dan Pemakaman

"Kapan cutinya Mbak?" saat ini aku sedang membantu Mbak Nisha membuat kue untuk acara hajatan nanti.

"Hari Jumat, Dek."

"Gak kemepeten itu Mbak? Minggu aja akad loh?"

"Gak bisa Dek. Mau ada akreditasi jadi Mbak pengin semua tanggungjawab Mbak selesai sebelum Mbak nikah. Masmu aja malah cutinya H-1, Dek."

"Astaga. Besok aku mau jadi dokter Puskesmas ajalah yang gak sibuk," jawabku cengengesan.

"Hahaha. Kata siapa gak sibuk? Sama aja kali tapi iya sih kalau di Puskesmas gak terlalu capek. Kalau mau jadi dokter Puskesmas usahain PNS dulu lah. Kalau enggak nanti gajinya gak seberapa."

"Iya-iya yang kerjanya di rumah sakit swasta gede, gajinya gede pula."

"Tapi tanggung jawabnya juga gede Dek," timpal Mbakku.

"Iya sih."

*****

"Rosi," aku berlari menghampiri Rosi.

"Eh... Nasha," kulihat Rosi nampak gugup melihatku.

"Kamu lagi ngapain?" tanyaku.

"Aku... Aku... "

"Sori. La... Nasha," kulihat Feri berjalan dari arah toilet.

"Feri. Kamu disini juga?" tanyaku.

"I-iya. Ini tadi aku mau nyari sepatu buat latihan basket," dia tampak salah tingkah.

"Oh… Sama siapa?" tanyaku.

"Sendirilah. Mau sama siapa lagi?" jawabnya agak ketus.

Aku tercenung mendengar suara ketusnya. Sadar jika aku kurang ada waktu untuknya.

"Maaf," ucapku lirih.

"Udahlah. Aku pulang duluan. Duluan Ros." Feri berlalu pergi.

Aku hanya bisa memandanginya pergi dengan mata berkaca-kaca. Aku juga yang salah. Aku akan berusaha meluangkan waktu berdua dan memperbaiki hubungan kami. Itu tekadku. Seseorang menepuk bahuku.

"Aku duluan ya. Maaf aku ada janji," ucap Rosi.

"Oh iya. Gak papa. Hati-hati ya." Rosi langsung berlalu dari hadapanku.

Lama aku termenung sampai lupa pada tujuanku kemari.

"Woi, melamun aja. Ayuk banyak yang harus dibeli," ucap Huda sepupuku.

"Eh iya." Aku segera menghapus bening kristal pada mataku lalu segera mengikuti langkah Huda.

*****

Aku sampai di rumah. Kulihat Mbak Nisha tengah bersiap-siap pergi.

"Mbak mau kemana?"

"Ada yang mau lahiran Na, Hilda minta tolong sama aku. Katanya dia sendirian di klinik."  Aku tahu Mbak Nisha dan Mbak Hilda dua bulan ini dimintai tolong membantu dr. Tommy untuk ikut mengelola klinik baru yang didirikannya. Klinik khusus Ibu dan Anak.

"Tapi udah jam 8 malam Mbak. Biar minta diantar yang lain ya?" usulku.

"Gak usah. Deket kok cuma ke Wangon. Paling sepuluh menit."

"Gak boleh. Kamu harus dianter." Ibu datang memberi saran.

"Huda. Kamu anterin Nisha," sambung Ibu.

"Oke Budhe. Ayuk Nis," ajak Huda.

"Tapi kamu capek." Mbak Nisha masih kekeuh berangkat sendiri.

"Udah Nis, kamu manut aja kenapa sih? Lagian ngapain juga harus kamu. Dua hari lagi kamu nikah loh," terang Huda.

"Udah pokoknya Nisha sendiri aja. Ibu, Nisha berangkat." Mbak Nisha tetep kekeuh dengan kemauannya.

Akhirnya mau tak mau Ibu mengijinkan Mbak Nisha berangkat sendiri.

*****

Aku terbangun karena mendengar suara keributan di luar. Aku segera bangun dan melihat jam dinding pukul 03.00 pagi.

"Nisha… Nisha... " ibuku berteriak histeris.

"Sabar Bu, sabar." Kulihat ayahku pun menitikkan air mata.

"Ayah, Ibu ada apa? Kenapa dengan Mbak Nisha?"

"Na, duduk sini!" perintah Bulik Tinah padaku. Kulihat dia pun tengah menangis. Aku mengikuti perintahnya. Perasaanku mulai tak enak.

"Na, Mbakmu Na," ucap Bulik sesenggukan.

"Mbak kenapa Bulik?"

"Mbakmu kecelakaan Na."

"Astaghfirullah. Terus Mbakku gimana Bulik?" Aku mulai menangis.

"Mbakmu udah gak ada Na? Katanya lukanya parah."

Aku tak bisa lagi menghentikan tangisku. Aku segera berlari ke arah Ayah dan Ibu. Aku langsung memeluk mereka berdua. Kami bertangisan. Apa maksud semua ini ya Allah? Apa yang ingin Engkau tunjukkan pada kami? Aku hanya bisa berserah diri akan semua yang telah terjadi.

*******

Menurut informasi yang kami dapat, Mbak Nisha mengendarai motor dalam keadaan mengantuk. Karena itu dia kurang hati-hati. Kecelakaan tunggal pun terjadi. Kepalanya membentur aspal dengan keras. Kami sekeluarga heran, bagaimana bisa Mbak Nisha tak memakai helm? Padahal Mbak Nisha adalah orang yang selalu berhati-hati.

"Maafin Hilda, Om Tante. Hilda udah bilang sama Nisha, pulangnya nunggu pagi aja. Tapi dia kekeuh mau pulang. Katanya banyak hal yang harus disiapkan. Hilda juga gak tahu kalau dia gak pakai helm. Karena Hilda juga fokus ngurusi data pasien yang baru melahirkan. Jadi Hilda gak nganter sampai parkiran. Coba aja kalau Hilda tahu." Mbak Hilda menjelaskan kronologis kepulangan Mbak Nisha dengan berurai air mata.

"Gak papa Hil, mungkin sudah takdir anak Tante," ucap Ibu berusaha tegar.

Banyak kerabat dan rekan kerja Mbak Nisha yang datang. Perwakilan pihak rumah sakit pun datang melayat. Disana, di barisan para pria, kulihat Mas Rayyan. Tak sedikitpun air mata yang keluar. Tapi matanya kosong, raut mukanya sendu, bahkan tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Aku tahu dia berusaha tegar.

Jenazah Mbak Nisha dibawa ke pemakaman pukul 10.00 pagi. Ayah, Huda, Mas Rayyan dan Tegar, sepupuku yang lain mengangkat tandu Mbak Nisha. Sampai pemakaman Mas Rayyan tak bisa ikut masuk ke dalam makam karena bukan mahramnya.

Setelah pemakaman selesai. Hanya tertinggal aku, Ibu, Ayah, Huda, Mas Rayyan dan orang tuanya, juga Mbak Hilda.

"Lebih baik kita kembali. Sebentar lagi dhuhur. Ayuk Ray!" ajak Om Surya.

"Sebentar lagi Pah. Lima menit saja," ucap Mas Rayyan. Kulihat Tante Helena mengelus punggung putranya. Sekarang aku tahu dari mana garis wajah blasteran milik Mas Rayyan berasal. Rupanya itu menurun dari sang Ibu. Akhirnya kami semua kembali ke rumah.

*****

Acara selamatan Mbak Nisha selama tujuh hari dilaksanakan setiap badha isya. Mas Rayyan selalu datang pada acara tersebut. Juga Mbak Hilda. Malam ini adalah malam ketujuh selamatan Mbak Nisha.

"Rayyan pamit Om Tante. Kapan-kapan Rayyan datang lagi."

"Kamu yang sabar Nak. Allah lebih sayang Nisha daripada kita semua. Insya Allah Nisha udah tenang disana," nasehat Ayah.

"Iya Om. Rayyan hanya butuh waktu."

"Hilda pamit juga Om Tante. Maafin Hilda ya kalau banyak salah."

"Gak, Nak. Justru kami yang harus berterima kasih karena kamu mau repot-repot dateng buat 7 hari selamatan Nisha." Ibu ikut menimpali.

"Kami duluan Om Tante."

Mas Rayyan pulang naik mobil bersama Mbak Hilda. Kebetulan rumah Mbak Hilda di Notog jadi bisa ikut nebeng Mas Rayyan yang rumahnya di Purwokerto.

Setelah mobil menghilang, kami segera masuk ke rumah. Aku langsung menuju kamar Mbak Nisha. Setelah kematiannya, aku selalu tidur disini. Mungkin bagi sebagian besar orang akan takut tidur di kamar orang yang baru meninggal. Tapi bagiku, justru di kamar inilah rasa rinduku pada saudari satu-satunya dapat terobati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel