13. Pertemuan Bukan Lamaran
Aku duduk berhadapan dengan Mas Rayyan di kantin rumah sakit. Seina kembali ke Puskesmas karena hari ini dia piket. Sebelum berpisah aku tahu sorot matanya penuh rasa ingin tahu. Ah besok pasti aku bakalan dicecarnya.
"Kamu gimana kabarnya Na?"
"Alhamdulillah baik Mas. Mas gimana?"
"Alhamdulillah baik. Akhirnya kita bisa ngobrol juga ya." Aku mengernyit, maksudnya apa?
"Kemarin Mas lihat kamu sepintas sama temen kamu. Tapi kenapa gak jadi menghampiri Mas, hem?"
Aku jadi malu. Ah, dia pasti melihat aksi dorong-dorongan antara aku dan Jeni yang sangat memalukan.
"Hehehe. Kirain gak lihat Mas."
"Terus kenapa Mas gak disamperin?"
"Malu Mas, takut Mas lupa sama aku. Lagian kemarin fans dadakan Mas banyak banget, kita kabur takut di bully netizens," ucapku sambil terkekeh.
"Astaga Nasha. Kamu ini ya?" dia mencubit kedua pipiku guys.
"Aw... Aw... Aw... Mas... Lepasin sakit tahu." Aku mengusap kedua pipiku yang memerah. Ya sakit ya malu campur jadi satu.
"Pipi kamu gak pernah berubah ya? Tetep cubby."
"Iyalah ini udah jadi ciri kas aku. Kalo aku cubby kalau Mbak Nisha ti... rus." Bodoh kamu Nasha, kenapa kamu tidak bisa mengerem omonganmu? Raut muka Mas Rayyan nampak sendu.
"Mas, maaf. Refleks aja." Aku memasang wajah memelas.
"Huh... Gakpapa Na. Udah 5 tahun ya. Ternyata masih sama," dia pun tersenyum.
"Jadi jauh-jauh ke Australia gagal total Mas move on-nya?"
"Gagal total." Dia pun tertawa tapi suaranya terdengar bergetar.
"Mungkin bukan dengan melupakan Mas. Karena sampai kapan pun gak akan bisa. Lebih mungkin berusaha ikhlas saja. Toh cinta itu fitrah. Melekat pada diri manusia. Jadi gak mungkin ilang." Haish, aku sok bijak bener.
"Hehehe. Bener ternyata kata Nisha kamu itu cocoknya jadi kakak Nisha dari pada jadi adeknya."
"Emangnya Mbak Nisha ngomong apa tentang aku?"
"Banyak. Misalnya kamu itu tomboy, pemberani, dewasa, cuek, ngemong. Katanya setiap pergi berdua kamu semacam bodyguardnya Nisha kan?"
"Hehehe. Iya Mas. Habis mata cowok kalau lihat Mbak Nisha kayak mau nerkam aja ya udah aku plototin balik aja hehehe."
Kami mengobrol untuk waktu yang lama. Tentang keluarga juga. Kuceritakan semua hal yang terjadi dalam keluarga kami termasuk kepindahan kami ke Sokaraja. Mas Rayyan juga cerita setelah lulus PPDS dan wisuda, Ia ikut tes CPNS tahun ini untuk ahli bedah di Margono dan diterima. Kalau di Wiradadi dia cuma dokter tidak tetap.
"Kenapa gak ke rumah sakit yang dulu lagi Mas?" tanyaku.
"Gak bisa, kalau disana mintanya aku fokus gak bisa double."
"Tumben ikut PNS-an Mas. Dari dulu kenapa gak mau?"
"Hahaha. Gak tahu waktu itu coba-coba aja eh malah keterima. Ya udah mungkin udah nasibnya."
"Iyain aja dech."
Kami tertawa bersama.
"Kamu kenapa di Puskesmas? Gak ke rumah sakit aja. Kamu pinter loh."
"Aku pengin punya banyak waktu aja sama Ayah Ibu, Mas. Kalau di Puskesmas kan jam kerjanya gak terlalu berat."
Dia menganggukkan kepalanya.
"Kamu udah nikah?" tanyanya.
"Belum Mas. Cariin gih. Tapi yang beneran single ya jangan suami orang, jangan duda, jangan tukang selingkuh, penyayang pokoknya. Terus harus ganteng," cerocosku mantap.
Astaga malah tertawa ngakak dianya. Kemudian ada panggilan pada HP-nya. Aku menghabiskan minumanku saat dia tengah berbincang dengan seseorang di seberang sana.
"Aku ada jadwal lagi Na. Kamu gak papa pulang sendirian?"
"Yaelah Mas kayak gak biasa pulang sendiri saja. Gojek banyak kok. Ni aku udah lagi pesen, 10 menit lagi nyampe sini katanya."
"Ya udah aku tungguin sampe abang gojeknya dateng."
"Lah operasinya jam berapa?"
"Setengah jam lagi. Udah siap kok tinggal nunggu dokter anestesinya."
"Sama dokter bedahnya juga," selorohku.
"Hahaha. Iya."
Bang gojek pun sampai. Aku pun segera menggunakan helm. Dan segera berpamitan dengan Mas Rayyan.
"Mas, Na duluan ya," pamitku.
"Bentar Na," dia menghampiriku.
"Ada apa lagi?"
"Minggu aku dateng ke rumah kamu."
"Oke nanti aku sampein ke Ayah Ibu."
"Aku datang sama Papah Mamah."
"Oke."
"Buat lamar kamu."
"Siap. Apa!" Dia hanya tersenyum lalu berlalu dari hadapanku. Oh jantungku senam lagi.
******
Malam Minggu Mas Rayyan berkunjung bersama kedua orang tuanya, Om Surya dan Tante Helena. Kedua pasang orang tua sibuk bernostalgia di gazebo belakang sedangkan aku memilih menunggu toko bersama Mbak Nita karyawan yang membantu Ibu dan Ayah.
"Laris dagangannya Na?" tanya Mas Rayyan.
"Lumayan Mas, kalau malam minggu kayak gini banyak yang beli apalagi kalau liburan."
"Bikin sendiri semua ini?"
"Cuma gethuk sama keripik tempenya aja Mas. Sisanya kita ambil dari pembuatnya. Terus batiknya kita dapat dari pengrajinnya asli. Lumayan buat kegiatan Ayah sama Ibu."
"Kamu gak buka praktek Na?"
"Belum kepingin Mas."
"Kamu nyaman kayak gini?"
"Nyaman banget Mas. Aku menikmati hidup kok. Lagian sekarang mereka hanya punya aku," ucapku sendu.
"Mbak kamu pasti bangga sama kamu."
"Ya iyalah bangga, orang adiknya cuma aku doang. Hahaha." Mas Rayyan hanya terkekeh mendengarnya.
"Mbak Raisa katanya udah nikah Mas?"
"Iya, sekarang ikut suaminya di Semarang. Kalau Rania masih SMA kelas 3." Oh iya Mas Rayyan itu sulung dari 3 bersaudara.
Hening. Cukup lama kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga sebuah mobil Fortuner memarkirkan diri ke teras toko kami. Ckckck... Dasar dokter ganjen. Ngapain juga kesini.
"Halo Nasha," sapa dr. Wijaya sangat ramah bahkan lebay.
"Halo juga Dok," sapaku dingin.
"Ya ampun Na, udah aku bilang kalau di luar panggil aku 'Mas' atau nama aja kan aku cuma 6 tahun lebih tua dari kamu," ucapnya. Aku hanya tersenyum tipis. Males menanggapi.
"Halo Mbak Nita, duh makin cantik aja dech."
"Ah Mas dokter, udah punya buntut dua juga udah kadaluarsa," jawab Mbak Nita yang berusia sekitar 35 tahunan.
"Tapi tetep cantik kok. Kayak ABG 18 tahun."
"Ih... Mas dokter paling bisa dech." Mbak Nita tersipu malu. Astaga digombalin kayak gini doang padahal. Dasar perayu ulung. Sesaat dr. Wijaya mengedarkan pandang ke arah seseorang yang duduk disampingku.
"dr. Rayyan kan ya?" tanyanya.
"Iya, lama tak jumpa dr. Wijaya bagaimana kabar anda?" balas Mas Rayyan ramah.
"Baik, eh katanya sekarang di Margono ya?"
"Iya?"
"Kirain gak balik Indonesia lagi. Udah betah disana ketemu sama bule cantik."
"Ya tetep baliklah Dok, orang semua keluarga ada di sini kok."
"Ah iya iya. Eh aku baru bikin klinik khusus kandungan di daerah Kembaran. Aku minta kamu buat gabung gimana?" kenapa aku kok merasa ini orang sok banget ya.
"Mohon maaf sepertinya belum bisa gabung. Jadwal saya sangat padat."
"Sayang sekali. Tapi baiklah. Masih jadi dosen jugakah?"
"Masih cuma ngajar 3 matkul saja," jawab Mas Rayyan kalem.
Mereka sibuk berbincang. Aku sendiri sibuk melayani para pembeli yang mulai berdatangan. Setengah jam kemudian dia pamit katanya ada pasien yang mau melahirkan.
"Kamu kenal dr. Wijaya dimana?" tanya Mas Rayyan.
"Oh, dia pernah jadi dokter kepala di Puskesmas Sokaraja I, tapi kayaknya sekarang udah balik lagi ke Banyumas Mas. Kenapa?"
"Gak papa," jawabnya singkat.
"Mas kenal dimana sama dr. Wijaya."
"Teman satu almamater di Undip."
"Oh... Katanya dia ngambil spesialis kandungan ya Mas."
"Setahu Mas iya, setelah lulus kedokteran langsung ngambil spesialis kandungan."
"Kamu suka sama dia?" lanjutnya.
"Enggak."
"Kenapa? Kan ganteng orangnya."
"Memangnya hidup itu cuma makan ganteng. Aku gak suka aja sama tatapan matanya kalau natap aku. Kayak orang lapar."
"Hahaha. Masa sih."
"Terserah Mas setuju apa enggak. Tapi memang aku ngrasa begitu. Risih aku ketemu lelaki caper kayak dia."
Setelah hampir dua jam lebih bertamu. Akhirnya Mas Rayyan beserta keluarga pamit. Ibu membawakan oleh-oleh yang banyak sebagai ganti oleh-oleh dari Tante Helena yang sama banyaknya. Duh, duo mak-mak rempong tapi aku suka soalnya mesti banyak makanan yang dibawa Tante buat kami. Sebelum pamitan Tante Helena menatapku lama sekali. Aku sampai kikuk dibuatnya.
"Jangan lupa main ke Teluk ya sayang. Tante tunggu loh." Begitu ucap Tante Helena sebelum masuk ke mobil.
Akhirnya mereka pun pulang dan kami kembali ke dalam rumah. Entah kenapa kok aku jadi kepikiran ucapannya Mas Rayyan waktu itu. Demi apa coba mesti kepikiran terus kalau buktinya mereka cuma bertamu bukan melamar. Ternyata cuma pertemuan dua mantan besan bukan acara lamaran. Ah... Aku kok merasa ngenes ya.
