12. Pesona Kakak Ipar Gagal
Suasana riuh di aula Unsoed pertanda banyaknya orang yang ada disini. Aku, Leo dan Jeni sedang ikut seminar tentang operasi bedah mulut. Kalau bukan karena paksaan Jeni tak mungkin kami berdua duduk manis disini. Dari kami berenam hanya Jeni yang bukan PNS, dia bekerja di klinik kecantikan gigi milik orang tuanya. Anak horang kaya dia mah. Lusi dan Dino baru keterima PNS tahun lalu. Lusi memilih kembali ke desanya di bumi Wonosobo. Dino juga memilih kembali ke daerahnya di Majenang.
Kalau Leo, Gita dan aku sudah dua tahun yang lalu lulus tesnya. Aku dan Gita kebetulan asli wong Banyumas sedangkan Leo pendatang dari luar Jawa dan menetap di Banyumas. Jadi kerjanya kami ya disini saja. Hidup Banyumas.
Saat pendaftaran CPNS, aku memilih penempatan di Sokaraja, Lusi jelas milih Wangon yang dekat dengan Jatilawang. Sedangkan Leo justru memilih penempatan di Margono. Dia kan cowok jadi pasti pengen lebih berkembang karirnya.
Aku dan Leo hanya berbincang sambil kipas-kipas, panas soalnya. Berbanding terbalik dengan Jeni yang sangat antusias. Bahkan saat istirahat pun Jeni masih asik berkumpul dengan peserta lain. Entah apa yang mereka bahas. Aku dan Leo memutuskan istirahat dan duduk pada kursi yang terletak di pojok.
"Kenapa malah isi seminarnya justru pembedahan buat kecantikan sih. Tinggal pasang kawat gigi beres kan ya," gerutu Leo. Aku paham maksudnya. Iya sih aku juga kurang tertarik dengan temanya. Apalagi dari tadi di singgung tentang cantik, cantik harus cantik.
"Le," panggilku lirih.
"Hem apa?" sahutnya.
"Kamu pernah denger kabar tentang Rosi."
Leo menghembuskan nafas pelan, "Iya, udah lama sebenernya. Tapi aku gak enak ngomong sama kalian."
"Bagaimana kabarnya?"
"Sepertinya baik."
"Kamu dapat kabar dari Dino?"
"Betul. Kamu tahu kan? Dino sama Rosi satu kabupaten."
"Iya. Mereka pernah ketemu?"
"Iya gak sengaja 5 bulan yang lalu. Dino dan Rosi katanya sempet ngobrol bareng. Dari ceritanya Rosi sudah cerai 3 tahun yang lalu. Sekarang dia hidup sama anaknya."
"Rupanya selama pernikahan, Rosi tertekan karena Feri selalu menyalahkan kebodohannya yang menyebar video mereka. Karena skandal video itu mereka di DO, orang tua Feri yang kaya tak mau lagi membantu Feri meneruskan kuliahnya. Pernikahan mereka penuh masalah Na. Dari masalah ekonomi sampai perselingkuhan. Feri selingkuh dengan janda kaya yang usianya 10 tahun lebih tua dari dia. Bahkan tak segan Feri kerap main tangan juga. Puncaknya setelah dua tahun pernikahan, Feri memukul anaknya karena menangis terus minta jajan. Akhirnya Rosi memutuskan bercerai karena tidak sanggup menghadapi ulah Feri." Astaghfirullah aku terkejut mendengarnya.
"Dan seminggu yang lalu aku berjumpa dengannya di mall. Dia sudah punya pacar baru. Wanita cantik yang suka memakai baju kurang bahan," ucapku miris.
"Beruntunglah kamu Na. Kamu gak jadi sama dia."
"Iya kamu benar Le. Aku cuma kasihan sama Rosi."
"Kamu doain aja semoga hidupnya lebih baik dengan suami keduanya."
"Rosi udah nikah lagi?"
"Iya dengan duda tanpa anak. Katanya belum lama nikahnya."
Aku menghembuskan nafasku kasar, "Semoga pernikahan keduanya langgeng ya Le."
"Amin."
*****
"Kapan selesainya ini Jen?" kudengar Leo mulai menggerutu.
"Cerewet kamu, ini itu penting tahu. Bisa menambah ilmu buat kita." Jeni tak kalah sewot.
"Buat kamu kali bukan buat kita. Orang yang giginya di macem-macem kan ke kamu bukan ke kita. Kalau ke kita berdua mah masih wajar perawatan giginya. Gak kayak kamu. Pasang behellah, bikin gingsullah, gigi kelincilah. Besok-besok mungkin ada tato gigi," balas Leo sengit.
Aku ngakak mendengar omongan Leo. Mereka masih saja asik berdebat, selalu seperti ini sejak dulu. Mereka kalau ketemu suka sekali berdebat. Aku doakan mereka jodoh sekalian. Hahaha.
"Baiklah Bapak Ibu sekalian. Acara selanjutnya akan dibawakan oleh pemateri kita dr. Rayyan Kemal Al Khadafi, Sp.B. Kepada beliau kami persilahkan," ucap si pembawa acara.
Seorang dokter muda berperawakan tinggi, atletis, berkulit putih, alis tebal, hidung mancung, rambut hitam, bermata tajam dengan iris mata cokelat terang. Jangan lupakan lesung pipi di kedua pipinya juga senyuman semanis madu yang kadang tercetak dari bibir tipisnya belum lagi aroma parfum Calvin Klein yang hem... Sungguh bikin keder bin klepek-klepek. Dan oh... Sekarang dia sedikit berjambang jadi kesannya tambah macho. Astaghfirulloh ternyata masih saja aku terpesona padanya.
"Lah itu kan?" ucap Jeni melongo sekaligus terpesona.
"Iya. Kakak ipar gagal," sahutku.
"Ya ampun Na. Makin ganteng aja kakak ipar eh... calon kakak ipar kamu yang gagal itu," tambah Jeni.
"Gantengan aku kali." Leo menginterupsi.
"Ckckck. Ganteng apanya. Kalau ganteng udah laku dan gak mungkin diputusin pacar," ketus Jeni.
"Ckckck. Mending pernah ngrasain putus daripada kamu yang ada cuma seringnya di PHP-in doang."
"Apa kamu bilang?"
"A..."
"Stop!" aku menyetop perdebatan mereka berdua. Soalnya kalau dibiarkan bakalan gak selesai-selesai. Tapi mereka masih terus berdebat. Aku pasrah dan memutuskan mendengarkan presentasi saja.
Akhirnya aku benar-benar fokus dengan isi seminar. Karena Mas Rayyan benar-benar keren cara mempresentasikannya. Leo pun sampai manggut-manggut membenarkan setiap ucapan Mas Rayyan. Jeni jangan tanya, matanya dia udah kayak mau copot melototin Mas Rayyan terus. Hahaha.
*******
"Ayuk sapa kakak ipar kamu," Jeni mendorongmu mendekati Mas Rayyan.
"Kakak ipar gagal maksud kamu. Udah ah ayuk pergi. Malu."
"Kenapa malu kan kamu kenal dia."
"Tapi kan dulu. Sekarang aku gak enak. Dikira sok kenal sok dekat. Gak mau ah." Aku segera ngacir menjauhi Mas Rayyan yang tengah dikerumuni sama fans dadakan setelah seminar.
Huft... Jantungku kok senam ya. Ah pasti karena tadi habis lari-lari.
"Gimana? Berhasil ngobrolnya?" sinis Leo.
"Apasih Le. Kamu diem kenapa? Resek kamu."
"Lah aku kan cuma tanya kenapa sewot."
"Siapa yang sewot yang ada kamu itu yang bawel."
"Kamu."
"Kamu."
"Hop... Sudah jangan gelut mulu napa. Kayak anak kecil tahu." Aku berusaha melerai mereka.
Mereka berdua masih saling serang lewat tatapan mata. Allah ampuni hamba.
"Aku traktir makan yuk. Kemana aja."
"WS," ucap mereka kompak. Dasar.
*****
*****
"Nasha... Bantu aku." Seina datang tergopoh-gopoh.
"Kenapa?" aku sedang membereskan tas bersiap pulang.
"Aku minta tolong sopirin mobil aku. Ambulance lagi di pake rujuk ke Banyumas. Gak ada yang bisa nyopir lagi pada jumatan semua. Ini pasienku udah pecah ketuban duluan malah posisi sungsang juga. Ayuk cepet. Aku dampingi ibunya di belakang."
"Oke. Mau rujuk dimana?"
"Wiradadi. Permintaan pasien."
Kami langsung menuju Wiradadi, sampai disana pasien segera masuk ruang operasi. Seina sibuk mengurusi administrasi bersama suami si pasien. Aku memilih duduk sambil membaca artikel tentang kesehatan gigi dan mulut.
Satu setengah jam kemudian pasien sudah melahirkan dan sedang didorong menuju ruang perawatan.
"Huh... kalau kayak gini aku selalu senam jantung," curhat Seina.
"Lah kenapa jadi bidan?" tanyaku.
"Pengen," jawabnya cuek.
"Ya udah memang resiko kamu. Dinikmati aja."
"Iya untung ada kamu. Hahaha."
"Gak gratis loh ada ongkos jadi supirnya," jawabku dengan seringai menggoda.
"Wokeh. Es cincau yak."
"Dih pelit amat."
Kami pun tertawa bersama. Ya beginilah kami, bercanda meredakan ketegangan sesudah senam jantung.
"Nasha," sebuah suara yang familiar.
Aku pun menengok ke arah orang yang memanggilku. Deg... Ah senam jantung lagi dech.
