11. Ketemu Mantan
Awal bulan merupakan waktu buat belanja bulanan. Seperti biasa aku dan Ibu akan berbelanja di Moro membeli segala keperluan untuk satu bulan mendatang seperti persediaan shampo, sabun, detergen, minyak, kecap, saus, bumbu-bumbu dan masih banyak lagi.
Namanya wanita, terkadang kami khilaf. Jatah yang harus kami beli satu jadinya dua atau tiga atau lima kalau ada promo. Mumpung promo ceritanya jadi beli lebih banyak.
"Udah semua Bu? Ada yang masih belum kebeli gak?" tanyaku sambil mendorong troli.
"Kayaknya udah semua Na. Tapi coba Ibu cek dulu."
Ibu sibuk mengecek daftar belanjaan dengan barang yang sudah kami ambil.
"Udah semua Dek. Nanti jangan lupa mampir beli baju anak ya buat nengokin cucunya Bu Mulyo," titah Ibu.
"Mbak Hana udah ngelahirin ya Bu?"
"Iya, anaknya cowok. Ganteng." Ibu kelihatan sumringah sekali.
"Jelas gantenglah orang Bapak Ibunya juga cakep."
"Coba kalau itu cucunya Ibu. Tambah seneng Ibu." Ibu mulai mengusiliku.
"Mulai dech. Terus pojokin Nasha buat kawin," aku mulai sewot.
"Lah kok sewot emang udah waktunya kamu kawin kok. Eh jangan ding, nikah dulu baru kawin," ucap Ibu tersenyum lebar.
"Ckckck. Gitu yah Bu," aku memincingkan alis.
"Iyalah. Atau mau Ibu kenalin murid-murid Ayahmu. Banyak yang seumuran sama kamu loh. Kamu bisa pilih mau dokter, guru, polisi, tentara, pengusaha semua ada. Mau perjaka atau duda juga ada." Ibu mulai promosi.
"Ibu mulai dech," aku bener-bener sewot. Ya Allah duda, sama yang perjaka aja banyak masalah apalagi duda. Belum lagi kalau duda yang punya anak. Hadeh... Si Ibu bisa aja
Kami pun berjalan beriringan menuju kasir untuk membayar.
Selesai membayar aku langsung membawa belanjaan ke mobil sedangkan Ibu kuminta untuk duduk dulu. Setelahnya, aku masuk kembali ke Moro dan bersama Ibu menuju area baju anak-anak.
*****
Saat aku dan Ibu sedang memilih baju anak. Seseorang memanggil namaku.
"Nasha."
Aku menoleh dan menatap sepasang netra yang dulu sangat kucintai. Tapi sekarang yang ada hanya benci.
"Feri," ucapku lirih.
"Nasha, ini kamu kan ya?" Feri menyapaku dengan senyum terkembang.
Aku mengamati Feri dari atas ke bawah. Aku masih ingat dulu badannya atletis namun sekarang tambah berisi dan ... kucel.
"Iya, ini aku. Gimana kabarmu Fer?" mau tak mau aku berbasa-basi karena ada Ibu.
"Baik. Ibu gimana kabarnya?" Feri menyalami ibuku dan mencium tangannya.
"Alhamdulilah baik, Nak Feri gimana kabarnya?" sapa ibuku ramah. Inilah ibuku, wanita terhebatku. Walau sudah tahu anaknya pernah disakiti sama seseorang tapi beliau masih bisa baik sama tuh orang beda denganku.
"Alhamdulilah baik juga Bu. Lagi belanja apa?" tanyanya.
"Oh... Baju anak-anak," sahut Ibu.
"Buat siapa Bu?" Feri rupanya masih kepo.
"Ckckck ini orang kepo banget sih?" batinku.
Karena malas meladeninya aku memilih mencari baju lagi.
"Buat cucu temen Ibu."
"Ibu udah punya cucu juga?"
Pertanyaan Feri membuatku mengepalkan tangan. Aku melotot ke arah Feri. Apa dia bermaksud menyindirku?
"Belum Nak," sahut Ibu.
"Oh... Semoga cepet di kasih ya Bu. Biar Ibu gak kesepian."
"Tapi. Nasha be…"
Sebelum perkataan Ibu selesai, aku memotong perkataannya.
"Makasih doanya." Aku memberi kode pada Ibu supaya tak perlu klarifikasi. Ibu pun sepertinya paham dan memilih diam.
"Sama-sama Bu. Jangan terlalu sibuk makanya Na, biar cepet punya momongan. Rupanya kamu gak berubah ya, selalu sibuk dan gak punya waktu untuk suami," sinisnya.
"Ya gak papalah. Lebih baik punya kesibukan yang bermanfaat. Toh kesibukanku juga bukan jenis kesibukan yang buruk seperti menggoda pacar orang apalagi merebut suami orang," sindirku.
Kulihat muka Feri memerah menahan kesal. Rasain emang enak. Tak berapa lama datang seorang wanita berpenampilan kurang bahan mendekati kami.
"Mas, aku udah nunggu kamu daritadi loh," ucap si wanita lalu menggelayut mesra pada Feri. Aku menatap sinis ke arah Feri seolah-olah mataku berkata 'dasar cowok brengsek'. Kulihat Feri tampak salah tingkah akan kehadiran wanita itu.
"Halo Mbak, kenalin saya Nasha temen lama Feri." Aku memperkenalkan diri dengan percaya diri.
"Oh... Saya Cintya pacarnya Mas Feri." Kulihat matanya menampakkan aura kecemburuan. Jelas cemburulah wong akunya lebih cantik. Upsss... Hahaha geer.
"Oh... Bukan calon istri to," sambungku memanasi.
"Udah ayuk kita makan Cin." Feri berusaha mengalihkan perhatian.
"Bentar lagi jadi calon istrinya kok Mbak kalau dia udah resmi cerai sama istrinya," sahut Cintya.
"Oh... Mas Feri mau cerai sama Rosi?" Aku semakin bersemangat agar rasa kepoku terobati.
"Rosi? Oh... Rosi mantan istrimu dulu yang kamu nikahin selama dua tahun itu ya Mas?" Cintya malah tanya balik ke Feri.
"Udah ayuk makan." Feri nampak gelisah.
"Lah emang sekarang istrinya siapa Mbak?" tanyaku lagi.
"Linda, tapi bentar lagi cerai kok. Kan aku yang mau jadi istrinya. Iya kan Mas?" Cintya bergelayut makin manja.
What the... Astaghfirullah. Udah mau jadi duda dua kali ini orang. Untung aku gak jadi sama dia. Kalau jadi ih… amit-amit. Dasar pengacara ‘pengangguran banyak pacarnya’ eh emang dia jadi pengacara ya. Bukannya dulu di DO? Lanjut kuliah lagi gak sih. Ah bodo, ngapain aku kepo ya?
"Cin, kita makan aja yuk. Permisi Tante. Duluan Na." Kulihat Feri langsung menarik tangan Cyntia. Malu kali dia. Dasar cowok gak bener.
"Astaga. Untung gak jadi menantu Ibu ya Dek." Ibu akhirnya bersuara.
"Heem Bu. Namanya buaya ya tetep buaya."
"Dari awal kamu ngenalin dia, Ibu udah punya firasat kayaknya dia bukan suami yang tepat buat kamu dan bukan mantu yang cocok buat Ibu."
"Ya iyalah. Mana ada cowok lain yang cocok jadi mantu Ibu. Mantu terbaik, terganteng, tersayangnya Ibu kan cuma Mas Rayyan," sindirku tapi dengan seringai jahil.
"Iya bener. Ibu jadi kangen sama Rayyan. Sejak ke Australia gak pernah kasih kabar Masmu itu." Ibu tampak sedih.
"Emang masih jadi Masnya aku, Bu?"
"Masih, Mas suami maksudnya," celetuk Ibu.
"Amin," jawab kami serentak. Kemudian kami tertawa terbahak. Menertawakan kekonyolan kami.
Selesai belanja kami segera menuju ke mobil. Saat hendak masuk ada seseorang yang memanggil namaku. Dan aku pun menoleh. Aku kaget namun berusaha memasang wajah datar.
"Na, bagi nomer WA kamu dong? Biar kita bisa terus berhubungan."
"Sorry ya Fer, kisah kita udah usai dan aku gak berminat untuk menyambung kembagi meski itu berkedok cuma temenan."
Tanpa menggubris keberadaannya, aku segera masuk ke mobil dan menjalankannya.
"Feri minta apa Dek?" tanya Ibu setelah kami sudah berada di jalan raya.
"Nomer Na, Bu?"
"Kamu kasih gak?"
"Enggak."
"Sip deh. Tapi Dek, Feri kok gak seganteng dulu ya?"
"Gak tahu Bu, padahal kan pacarnya banyak.ya Bu."
"Hooh, semoga Rayyan tambah ganteng Dek. Dan udah move on."
Aku hanya tertawa dan memilih fokus mengendarai mobil.
