Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Tujuan Lucien

Elara menghela napas panjang, berusaha mengusir segala emosi yang mulai menguasai dirinya. Namun, meski matanya masih terfokus pada layar komputernya, pikirannya kembali terbang ke pertemuannya dengan Lucien. Setiap kata, setiap tatapan tajam yang dia terima, berputar-putar di kepala Elara. Dan meskipun dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa menghadapinya, sesuatu dalam dirinya merasakan ada kekuatan yang lebih besar sedang mengintai.

Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka lagi, dan kali ini bukan Rachel yang masuk. Sosok tinggi, berjas hitam yang dikenalnya dengan sangat baik berdiri di ambang pintu—Lucien. Senyum tipis di wajahnya menunjukkan dia tahu bahwa Elara pasti kesal, bahkan mungkin sedikit cemas.

Elara menatapnya dengan mata menyala, berusaha menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa mengganggunya. "Ada apa lagi, Lucien?" tanyanya, suaranya tetap terkendali meski ada nada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.

Lucien melangkah masuk tanpa diundang, menutup pintu dengan lembut di belakangnya. "Tidak ada yang penting," jawabnya dengan nada santai, meskipun matanya yang tajam tidak lepas dari Elara. "Hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Bagaimanapun juga, kita harus menjaga hubungan profesional, bukan?"

Elara menyilangkan tangan di dada, menatapnya tanpa menunjukkan kelemahan. "Saya baik-baik saja, seperti yang bisa kamu lihat. Jadi jika hanya itu, saya lebih suka melanjutkan pekerjaan saya."

Lucien tidak terpengaruh dengan sikap dinginnya. Dia malah mendekat sedikit, membuat Elara merasa semakin tidak nyaman. "Kamu selalu keras kepala, Elara," katanya dengan suara rendah, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi, kamu tahu… kadang, orang-orang yang keras kepala itu, justru paling menarik."

Elara menegakkan punggungnya, tidak ingin menunjukkan bahwa kata-kata Lucien sedikitpun membuat hatinya berdebar. "Saya bukan barang yang bisa Anda mainkan, Lucien. Saya di sini untuk bekerja."

Lucien berhenti tepat di depannya, jaraknya hanya beberapa inci, cukup dekat untuk membuat Elara merasakan ketegangan di udara. "Kamu pikir saya memainkannya?" dia bertanya, suaranya semakin dalam dan penuh teka-teki. "Aku ingin melihat seberapa kuat kamu, Elara. Setiap kali kamu menantangku, aku semakin penasaran. Apa kamu hanya berbicara keras, atau memang punya keberanian untuk melawan?"

Elara bisa merasakan hawa panas yang menyelimuti ruangan, dan meskipun dia mencoba bertahan, hatinya semakin berdebar kencang. "Keberanian saya tidak perlu dibuktikan di depan Anda," katanya, mencoba menjaga jarak emosional, meski Lucien terlalu dekat untuk nyaman.

Lucien tersenyum tipis, seperti merasa puas dengan ketegangan yang tercipta. "Mungkin kamu benar. Tapi aku tahu satu hal—kamu pasti tidak bisa menghindari permainan ini selamanya. Dan kalau aku ingin, aku bisa membuat permainan ini jauh lebih menarik. Lebih dari yang kamu bayangkan."

Elara menatapnya dengan penuh perlawanan. "Cobalah," ujarnya, tanpa sedikitpun goyah. "Tapi saya tidak akan menyerah pada permainan murahan Anda."

Lucien menyeringai lebih lebar, seolah menikmati perlawanan itu. "Oh, aku tahu kamu tidak akan menyerah begitu saja. Dan itu yang membuatku semakin tertarik. Tapi ingat, Elara—aku tidak akan berhenti sampai aku mendapat apa yang aku inginkan."

Elara menggigit bibirnya, berusaha menenangkan dirinya. "Kamu mungkin bisa mendapatkan banyak hal, Lucien. Tapi kamu tidak akan pernah bisa mengendalikan saya."

Lucien menatapnya dengan pandangan yang lebih intens, seolah mencoba menilai setiap kata yang keluar dari bibir Elara. Setelah beberapa detik, dia akhirnya mundur sedikit, meski senyumnya tidak menghilang. "Kita lihat saja nanti," katanya, suaranya kembali lembut namun tetap mengandung ancaman. "Aku hanya ingin memastikan kamu ingat siapa yang memegang kendali di sini."

Saat Lucien berbalik dan berjalan menuju pintu, Elara merasa seolah beban berat baru saja diletakkan di pundaknya. Meskipun dia mencoba untuk tetap tegar dan tidak terpengaruh, hatinya masih bergolak. Dia tahu satu hal: pertempuran ini baru saja dimulai. Dan Lucien D’Arcy adalah pria yang tidak akan pernah mundur begitu saja.

Setelah pintu ditutup, Elara berdiri di tempatnya, merenung sejenak. Mungkin, kali ini dia tidak hanya melawan seorang CEO yang arogan. Mungkin, dia melawan hasrat yang tak terucapkan, dan godaan yang perlahan-lahan mulai meresap ke dalam dirinya.

Lucien duduk di ruangannya yang gelap, hanya diterangi oleh lampu meja yang redup. Di atas meja, beberapa dokumen tergeletak, namun perhatian pria itu teralihkan jauh dari pekerjaannya. Pikirannya berputar, berfokus pada satu hal—Elara. Setiap detik yang berlalu, wajahnya, sikapnya, dan bahkan kata-katanya, terus mengisi ruang kosong di benaknya.

Lucien mengalihkan pandangannya ke luar jendela besar yang memandang langsung ke kota yang sibuk. Suara bising lalu lintas dan kehidupan kota yang tak pernah berhenti terasa jauh di bawah sana. Namun, hatinya tetap terfokus pada Elara. Wanita itu, dengan keteguhan hatinya yang luar biasa, dengan keberaniannya yang tak kenal takut. Dia tahu betul bahwa Elara bukan tipe wanita yang mudah dijinakkan, dan itu yang justru membuatnya tertarik.

Tapi bukan karena cinta. Lucien bukan orang yang percaya pada konsep cinta—bagi dia, itu hanyalah kelemahan yang membuat orang terikat dan bisa dikendalikan. Apa yang dia inginkan dari Elara bukanlah perasaan lembut yang biasanya datang dengan cinta, tetapi penguasaan. Penaklukan. Sebuah permainan yang harus dia menangkan, seperti halnya segala sesuatu yang ada dalam hidupnya. Elara, dengan segala kebanggaan dan keteguhannya, adalah tantangan terbesar yang pernah dia hadapi.

Lucien menarik napas dalam-dalam, menatap dirinya di cermin besar yang ada di dinding sebelah. Bayangan dirinya yang terpantul menunjukkan sosok yang kuat, sukses, dan selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Elara bukanlah wanita biasa yang bisa dia pikat dengan mudah. Dia tidak tertarik pada wanita yang sudah dipermainkan oleh hasratnya.

Tidak, Elara harus menjadi miliknya dengan cara yang berbeda. Bukan karena cinta, bukan karena kasih sayang, tetapi karena dia menginginkannya. Lucien tahu betul bahwa dia tidak akan jatuh cinta pada Elara—dia tidak pernah jatuh cinta pada siapapun. Semua orang yang ada dalam hidupnya hanya menjadi alat untuk mencapai tujuannya, termasuk Elara. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa tertantang, sesuatu yang ingin dia buktikan—bahwa dia bisa mendapatkan Elara. Dan setelah itu, wanita itu akan menjadi miliknya. Hanya untuknya.

Dia ingin Elara, tapi dengan cara yang lebih dominan. Wanita itu harus tunduk pada keinginannya, tidak ada tempat untuk perasaan lembut atau hubungan emosional. Dia tahu Elara kuat, tegas, dan tak mudah dipengaruhi, tapi itulah yang membuatnya semakin ingin menundukkan wanita itu. Keberanian dan keteguhan Elara hanyalah bagian dari permainan, dan Lucien tahu, jika dia bisa membuatnya menyerah, itu akan menjadi kemenangan terbesar dalam hidupnya.

Lucien menyandarkan tubuhnya di kursi kulit yang nyaman, mengingat percakapan terakhir mereka di ruang kerja. Senyum tipis kembali mengembang di wajahnya, meskipun itu bukan senyum yang menyenangkan. "Kamu memang keras kepala, Elara," bisiknya pada dirinya sendiri. "Tapi itu hanya akan membuat momen ketika aku mematahkanmu jauh lebih manis."

Tak ada cinta, hanya keinginan. Dan Lucien tahu, bahwa suatu saat nanti, Elara akan menjadi bagian dari hidupnya, bukan karena kasih sayang, tetapi karena dia adalah simpanannya—sebuah milik yang dia bisa kendalikan, yang hanya dia yang berhak memiliki.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel