Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Dira, Kekasih Lucien

Sore itu, Lucien kembali ke mansion megah miliknya dengan langkah yang tenang, meski dalam hatinya masih terperangkap beragam perasaan yang sulit diungkapkan. Mobil hitamnya berhenti di depan pintu utama, dan saat dia melangkah keluar, udara dingin sore mengalir ke dalam tubuhnya, seolah menyejukkan ketegangan yang tadi seharian melingkupi pikirannya.

Mansion itu selalu memberi perasaan yang berbeda—luas, sunyi, namun juga penuh kenangan akan masa lalu yang sulit untuk diabaikan. Dia melangkah masuk dengan langkah pasti, menuju ruang keluarga yang besar. Di sana, orang tuanya sudah menunggunya, bersama Dira, kekasihnya yang dikenal sebagai model terkenal. Lucien tak bisa tidak merasakan sedikit kejengkelan, meskipun dia berusaha menyembunyikan ekspresi itu.

Ibunya, seorang wanita paruh baya yang anggun dengan riasan sempurna, tersenyum penuh ketika melihat anaknya. “Lucien, akhirnya kamu pulang juga. Kami sudah menunggumu," katanya, suaranya lembut namun penuh otoritas. Ayahnya, pria berbadan tegap dengan penampilan yang selalu rapi, berdiri di samping ibu, matanya penuh penilaian.

Dira, dengan gaun merah yang memperlihatkan tubuh rampingnya, berdiri di sisi orang tuanya. Rambut panjangnya yang tergerai dengan sempurna menambah kesan anggun dan menawan, seperti seorang model yang benar-benar tahu bagaimana cara menarik perhatian. Namun, meskipun wajah Dira memancarkan keanggunan dan pesona, Lucien tidak merasa sepenuhnya terhubung dengannya. Hanya ada rasa jenuh yang muncul setiap kali dia melihat wanita itu.

“Kamu selalu saja terlambat, Lucien,” Dira berkata dengan nada manja, tersenyum sinis. "Aku sudah menunggu hampir satu jam."

Lucien mengangkat alis, sedikit terkejut dengan sikap Dira yang terbuka. “Maafkan saya,” jawabnya dengan nada datar, meski dalam hatinya dia merasa tidak begitu peduli.

Ibu Lucien segera mencoba meredakan ketegangan yang mulai terasa. "Oh, sudah, sudah. Jangan bertengkar lagi. Kita makan malam sekarang, ya? Semua sudah disiapkan." Matanya beralih ke arah Dira. "Lucien memang agak sibuk belakangan ini. Aku rasa, dia perlu sedikit waktu untuk beristirahat."

Lucien hanya mengangguk tanpa berbicara, kemudian melangkah ke ruang makan. Dira mengikuti di belakangnya, berbicara dengan ibunya, sementara ayahnya menyusul dengan langkah yang lebih lambat, menyandarkan diri pada suasana yang lebih santai.

Setelah semua duduk di meja makan, suasana mulai terasa lebih hangat. Makanan disajikan dengan rapi, dan meskipun Lucien terlihat tenang, pikirannya masih berputar. Dira terus berbicara tentang kegiatannya di dunia modeling, menyebutkan acara-acara terbaru yang dihadirinya, sementara orang tuanya sesekali menyela, memberikan pujian atau komentar singkat.

Namun, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Lucien, kecuali jawaban-jawaban singkat yang tampak seperti rutinitas. Sesekali, matanya melirik ke arah Dira, yang tampaknya menikmati perhatian yang diberikan padanya. Lucien tahu betul bahwa Dira hanya ada di sampingnya karena status dan kekayaannya, dan hubungan mereka lebih seperti formalitas daripada sesuatu yang tulus.

Ibunya, yang selalu cermat dalam memerhatikan situasi, akhirnya membuka percakapan yang lebih serius. “Lucien, kita perlu bicara tentang bisnis lagi,” katanya sambil memandang anaknya dengan serius. “Aku harap kamu mempertimbangkan untuk memperluas jaringanmu, terutama dengan orang-orang yang lebih berpengaruh. Dira bisa membantu, kamu tahu.”

Lucien mendengus pelan, tidak bisa menahan rasa frustrasinya. "Aku tahu, Ma," jawabnya singkat, menundukkan kepala. "Aku sudah memiliki rencana sendiri."

Dira tersenyum kecil, berusaha mendekati Lucien lebih jauh dengan cara yang halus. "Mungkin kita bisa berbicara lebih banyak tentang rencana itu nanti, sayang," katanya dengan lembut, mencoba menggoda dengan cara yang sudah sangat dikenal Lucien. Namun, dia hanya memberikan anggukan kecil, tidak memberi reaksi berlebih.

Suasana makan malam itu berjalan dengan lancar, namun Lucien merasa semakin terjauhkan dari apa yang sebenarnya dia inginkan. Dira, meskipun hadir dengan pesonanya, hanyalah bagian dari kehidupan yang sudah terlalu sering dia jalani—kehidupan yang penuh dengan ekspektasi, bisnis, dan permainan sosial. Tidak ada yang benar-benar menyentuh hatinya, dan itu membuatnya merasa lebih kesepian dari sebelumnya.

Pikirannya kembali berkelana ke sosok Elara, dan meskipun dia mencoba menyingkirkan perasaan itu, bayangan Elara yang keras kepala, penuh tantangan, dan tak tergoyahkan, tetap menghantui. Di tengah semua kemewahan ini, Lucien sadar, satu hal yang dia inginkan tidak bisa dibeli dengan kekayaan atau status—dan itu adalah penguasaan atas sesuatu yang lebih kuat dari sekadar hubungan biasa.

Setelah makan malam selesai, suasana di ruang tamu mansion menjadi lebih santai, meski tidak menghilangkan ketegangan yang ada. Dira duduk di sofa besar, memainkan ponselnya dengan santai, sementara Lucien berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke halaman belakang mansion. Cahaya bulan yang tembus ke dalam menyorot wajahnya yang tenang, namun mata itu masih penuh dengan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.

Ibunya, yang kini duduk dengan anggunnya di kursi berlengan, memandangi Lucien dengan tatapan tajam. "Lucien," suara lembut namun penuh tekanan itu membuat Lucien berbalik, "Kita harus membicarakan masa depanmu. Apa rencanamu setelah ini? Aku berharap kamu tidak hanya terjebak dalam dunia yang kamu kenal sekarang."

Lucien mendengus pelan, meskipun ia sudah tahu percakapan seperti ini tak bisa dihindari. “Ma, aku sudah bilang. Aku sedang fokus pada perusahaanku.”

Ayahnya yang duduk di sisi ibunya, menatapnya dengan tatapan penuh harapan. "Kita tidak berbicara tentang bisnis, Lucien," katanya dengan nada lebih serius. "Kamu tahu betul, waktu terus berjalan. Dira sudah cukup mengerti, kan?" Ayahnya menatap Dira yang sedang sibuk dengan ponselnya.

Dira, yang tak mendengar sepenuhnya percakapan, akhirnya menatap Lucien dan tersenyum manis. “Oh, iya, sayang. Aku tahu kamu sedang sibuk dengan bisnis, tapi aku ingin kita lebih fokus ke hubungan kita. Aku berharap kita bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama, apalagi setelah acara besok. Kamu pasti ingin menunjukkan dirimu di hadapan orang-orang besar, kan?”

Lucien memandang Dira dengan sedikit kelelahan di matanya. Dia merasa tak tertarik dengan ide tersebut, namun dia tahu, dia harus menunjukkan bahwa hubungan mereka terlihat sempurna di mata orang lain. “Tentu,” jawabnya singkat, meskipun tidak ada gairah di balik kata-katanya. “Aku akan memastikan semuanya berjalan lancar.”

Ibunya tersenyum puas mendengar jawaban tersebut. “Bagus sekali. Kita harus menunjukkan pada dunia bahwa keluarga ini tetap kuat dan solid.” Dia menatap Lucien dengan tatapan yang seolah menuntut lebih, mengharapkan lebih dari sekadar basa-basi.

Lucien menghela napas dalam hati. Semua ini terasa seperti sebuah rutinitas yang tak ada habisnya—suatu kewajiban yang dia harus jalani, tetapi tak pernah memberi kepuasan sejati. Dira di sampingnya, orang tuanya yang selalu menuntut lebih, dan semua orang yang mengelilinginya hanya memberikan gambaran kehidupan yang seolah sempurna, namun jauh di dalam dirinya, Lucien tahu bahwa ini semua hanyalah ilusi.

Setelah beberapa saat, Lucien berbalik dari jendela, mendekati Dira yang masih sibuk dengan ponselnya. Dia menatap wanita itu, mencoba memberikan senyuman yang tulus, meskipun hatinya kosong. “Aku akan segera siap,” ujarnya, menandakan bahwa percakapan malam ini sudah selesai.

Dira mengangkat kepalanya, memberikan senyuman menggoda. "Aku tunggu kamu di kamar, sayang," katanya, suara manisnya penuh harapan.

Lucien hanya mengangguk, tidak berkata lebih banyak. Dia tahu, malam ini akan menjadi malam biasa lagi—sebuah rutinitas yang tidak memiliki makna, hanya sekedar mengikuti apa yang telah ditentukan.

Namun, saat dia melangkah menuju kamarnya, pikirannya kembali berputar. Bayangan Elara muncul kembali dalam benaknya. Bagaimana wanita itu bisa begitu mengusik pikirannya? Dia tidak bisa mengabaikan perasaan itu, meskipun dia tahu betul apa yang sebenarnya dia inginkan. Elara bukan untuk dijadikan kekasih biasa, bukan untuk diperlakukan seperti Dira, yang hanya ada karena status dan keinginan Lucien untuk menjaga penampilan.

Elara, dengan caranya yang keras kepala, hanya akan menjadi permainan yang lebih besar dari apa pun yang pernah dia jalani. Tapi malam ini, Lucien tahu, ada dua dunia yang harus dia jalani—dunia yang penuh dengan ilusi, dan dunia yang masih dipenuhi dengan godaan yang semakin tak terhindarkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel