Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Keteguhan Elara

Elara berjalan cepat keluar dari ruangan CEO, setiap langkahnya penuh dengan ketegangan yang sulit dihilangkan. Pintu kaca besar yang tadi dia lewati kini terasa seperti penghalang yang membatasi antara dirinya dan dunia luar. Namun, meskipun tubuhnya bergerak menuju ruangan kerjanya, pikirannya terjebak dalam percakapan tadi, sebuah pertemuan yang membuat emosinya semakin memuncak.

Ketika pintu ruangan kerjanya terbuka, Elara langsung melangkah masuk dan membanting pintu dengan keras, membuat rekan kerjanya yang duduk di meja dekat pintu menoleh terkejut. Tapi Elara tidak peduli. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi amarah yang tersembunyi, mata yang tajam menatap layar komputernya, tapi pikirannya melayang jauh.

“Lucien…” gumamnya pada dirinya sendiri dengan nada kesal. Pria itu berhasil membuatnya merasa seolah-olah ia tidak memiliki kontrol atas situasi ini. Memang, dia tidak takut pada kekuasaan dan manipulasi, tapi kenyataan bahwa Lucien bisa begitu mengganggu pikirannya, membuatnya merasa tidak nyaman. Dan itu bukan sesuatu yang bisa dibiarkan begitu saja.

"Dia pikir aku akan tunduk begitu saja?" Elara berbicara kepada dirinya sendiri, sambil meremas selembar kertas di tangannya. "Aku tidak peduli seberapa besar kekuasaannya, aku bukan orang yang bisa dia atur sesuka hati."

Langkahnya kemudian terhenti di depan meja kerjanya. Dengan satu tangan, ia merapikan beberapa dokumen yang berserakan di atas meja, tapi pikiran tentang Lucien tetap membelenggunya. Perasaan terjepit antara rasa ingin menyerang dan rasa harus tetap profesional membuatnya semakin frustrasi.

Tiba-tiba, pintu terbuka lagi, dan rekan kerjanya, Rachel, yang sudah cukup lama bekerja bersamanya, masuk dengan ekspresi cemas. "Elara, kamu baik-baik saja?" tanyanya pelan, menilai perubahan sikap Elara yang jelas-jelas tidak seperti biasanya.

Elara menatap Rachel dengan senyum yang dipaksakan. “Aku baik-baik saja, Rachel. Hanya sedikit… frustrasi."

Rachel tidak bisa menutupi kekhawatirannya. “Frustrasi dengan apa? Dengan Lucien, kan?” Dia tidak menunggu jawaban, melainkan langsung melanjutkan, “Aku tahu dia bukan tipe orang yang mudah diajak bekerja sama, tapi kamu harus hati-hati. Kamu bukan satu-satunya yang merasa terganggu oleh caranya, Elara.”

Elara meremas kertas itu lebih erat, tak bisa menahan rasa kesal yang menyelimutinya. "Kamu benar. Tapi aku tidak akan membiarkan dia merusak pekerjaanku. Tidak seperti itu."

Rachel mendekat, duduk di kursi sebelah Elara, menatap rekan kerjanya yang kini tampak semakin tegang. "Mungkin kamu harus bicara dengannya, Elara. Tidak bisa terus seperti ini. Ini tidak akan selesai dengan diam saja."

Elara menatap layar komputer di depannya, menghela napas panjang. "Aku tidak ingin berurusan lebih jauh dengannya, Rachel. Tapi dia terus mendorong batas. Aku hanya tidak tahu seberapa jauh aku harus mundur."

Rachel menatap Elara dengan ekspresi serius. “Mundur bukan jawaban, Elara. Tapi jika kamu memilih untuk terus melawan, kamu harus siap dengan apa pun yang akan dia lakukan. Lucien itu bukan orang yang mudah dikendalikan. Dan aku khawatir dia tahu betul bagaimana cara membuatmu jatuh ke dalam permainan yang dia buat.”

Elara terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Rachel. Itu benar, meskipun dia tidak ingin mengakui betapa mengganggunya sikap Lucien, namun kekuatan yang dimiliki pria itu bisa sangat menghancurkan jika tidak hati-hati. Namun, Elara merasa lebih marah lagi karena perasaan tersebut—dia tidak ingin diperintah, terutama oleh pria seperti Lucien.

"Saya tidak akan jatuh ke dalam permainannya, Rachel," ujarnya, suara yang tegas namun terdesak. "Tapi saya juga tidak akan mundur."

Rachel mengangguk pelan, tampaknya mengerti, meskipun masih ada kecemasan di matanya. "Hati-hati, Elara. Jangan biarkan dia membuatmu kehilangan kendali atas dirimu sendiri."

Elara hanya mengangguk tanpa menjawab. Saat Rachel akhirnya pergi dan meninggalkan dia sendirian, Elara kembali menatap ke layar komputernya. Suasana hening sejenak, hanya suara ketikan jari-jari Elara yang mengisi ruang itu. Tapi di dalam hatinya, rasa kesal dan frustasi masih terpendam dalam-dalam.

Mungkin Rachel benar. Lucien memang bukan orang yang bisa dibiarkan begitu saja. Tapi Elara juga tahu, satu hal yang pasti—apapun yang terjadi, dia tidak akan pernah menyerah begitu saja pada pria itu.

Elara menghela napas panjang, berusaha mengusir segala emosi yang mulai menguasai dirinya. Namun, meski matanya masih terfokus pada layar komputernya, pikirannya kembali terbang ke pertemuannya dengan Lucien. Setiap kata, setiap tatapan tajam yang dia terima, berputar-putar di kepala Elara. Dan meskipun dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa menghadapinya, sesuatu dalam dirinya merasakan ada kekuatan yang lebih besar sedang mengintai.

Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka lagi, dan kali ini bukan Rachel yang masuk. Sosok tinggi, berjas hitam yang dikenalnya dengan sangat baik berdiri di ambang pintu—Lucien. Senyum tipis di wajahnya menunjukkan dia tahu bahwa Elara pasti kesal, bahkan mungkin sedikit cemas.

Elara menatapnya dengan mata menyala, berusaha menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa mengganggunya. "Ada apa lagi, Lucien?" tanyanya, suaranya tetap terkendali meski ada nada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.

Lucien melangkah masuk tanpa diundang, menutup pintu dengan lembut di belakangnya. "Tidak ada yang penting," jawabnya dengan nada santai, meskipun matanya yang tajam tidak lepas dari Elara. "Hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Bagaimanapun juga, kita harus menjaga hubungan profesional, bukan?"

Elara menyilangkan tangan di dada, menatapnya tanpa menunjukkan kelemahan. "Saya baik-baik saja, seperti yang bisa kamu lihat. Jadi jika hanya itu, saya lebih suka melanjutkan pekerjaan saya."

Lucien tidak terpengaruh dengan sikap dinginnya. Dia malah mendekat sedikit, membuat Elara merasa semakin tidak nyaman. "Kamu selalu keras kepala, Elara," katanya dengan suara rendah, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi, kamu tahu… kadang, orang-orang yang keras kepala itu, justru paling menarik."

Elara menegakkan punggungnya, tidak ingin menunjukkan bahwa kata-kata Lucien sedikitpun membuat hatinya berdebar. "Saya bukan barang yang bisa Anda mainkan, Lucien. Saya di sini untuk bekerja."

Lucien berhenti tepat di depannya, jaraknya hanya beberapa inci, cukup dekat untuk membuat Elara merasakan ketegangan di udara. "Kamu pikir saya memainkannya?" dia bertanya, suaranya semakin dalam dan penuh teka-teki. "Aku ingin melihat seberapa kuat kamu, Elara. Setiap kali kamu menantangku, aku semakin penasaran. Apa kamu hanya berbicara keras, atau memang punya keberanian untuk melawan?"

Elara bisa merasakan hawa panas yang menyelimuti ruangan, dan meskipun dia mencoba bertahan, hatinya semakin berdebar kencang. "Keberanian saya tidak perlu dibuktikan di depan Anda," katanya, mencoba menjaga jarak emosional, meski Lucien terlalu dekat untuk nyaman.

Lucien tersenyum tipis, seperti merasa puas dengan ketegangan yang tercipta. "Mungkin kamu benar. Tapi aku tahu satu hal—kamu pasti tidak bisa menghindari permainan ini selamanya. Dan kalau aku ingin, aku bisa membuat permainan ini jauh lebih menarik. Lebih dari yang kamu bayangkan."

Elara menatapnya dengan penuh perlawanan. "Cobalah," ujarnya, tanpa sedikitpun goyah. "Tapi saya tidak akan menyerah pada permainan murahan Anda."

Lucien menyeringai lebih lebar, seolah menikmati perlawanan itu. "Oh, aku tahu kamu tidak akan menyerah begitu saja. Dan itu yang membuatku semakin tertarik. Tapi ingat, Elara—aku tidak akan berhenti sampai aku mendapat apa yang aku inginkan."

Elara menggigit bibirnya, berusaha menenangkan dirinya. "Kamu mungkin bisa mendapatkan banyak hal, Lucien. Tapi kamu tidak akan pernah bisa mengendalikan saya."

Lucien menatapnya dengan pandangan yang lebih intens, seolah mencoba menilai setiap kata yang keluar dari bibir Elara. Setelah beberapa detik, dia akhirnya mundur sedikit, meski senyumnya tidak menghilang. "Kita lihat saja nanti," katanya, suaranya kembali lembut namun tetap mengandung ancaman. "Aku hanya ingin memastikan kamu ingat siapa yang memegang kendali di sini."

Saat Lucien berbalik dan berjalan menuju pintu, Elara merasa seolah beban berat baru saja diletakkan di pundaknya. Meskipun dia mencoba untuk tetap tegar dan tidak terpengaruh, hatinya masih bergolak. Dia tahu satu hal: pertempuran ini baru saja dimulai. Dan Lucien D’Arcy adalah pria yang tidak akan pernah mundur begitu saja.

Setelah pintu ditutup, Elara berdiri di tempatnya, merenung sejenak. Mungkin, kali ini dia tidak hanya melawan seorang CEO yang arogan. Mungkin, dia melawan hasrat yang tak terucapkan, dan godaan yang perlahan-lahan mulai meresap ke dalam dirinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel