Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Tantangan Lucien

Elara melangkah pelan menuju pintu kaca besar yang menghadap ke pusat kota, pandangannya kosong meski matahari yang terbenam menerangi wajahnya dengan kehangatan yang seolah mengundang rasa damai. Namun, damai bukanlah yang dia butuhkan. Dalam pikirannya, deretan angka dan laporan yang belum terselesaikan berputar tanpa henti, mencuri ketenangannya. Tiba-tiba, sebuah suara rendah dan tegas memecah keheningan ruangan itu, suara yang sudah dikenalnya sejak hari pertama ia bekerja di sini.

"Elara."

Dia menoleh dengan cepat, tubuhnya terdiam sejenak saat melihat sosok itu. Lucien D’Arcy, CEO perusahaan tempatnya bekerja, berdiri dengan sikap santai, mengenakan jas hitam yang membuatnya tampak semakin dingin dan misterius. Senyum tipis menghiasi bibirnya, namun ada sesuatu yang tajam di baliknya. Sesuatu yang membuat Elara merasa seolah-olah ia sedang diburu, meskipun dia hanya berdiri di ruangan yang sama.

"Lucien," jawab Elara dengan suara tenang, meskipun hatinya berdebar tak karuan. “Ada yang bisa saya bantu?”

Lucien tidak segera menjawab. Sebaliknya, dia melangkah maju, setiap gerakannya penuh dengan ketegasan dan aura kekuasaan. "Bantu? Tentu. Kamu akan membantuku untuk tetap berada di atas, seperti yang selalu kamu lakukan, kan?"

Elara mencoba tetap tenang, meskipun kata-kata itu membuatnya tergelitik. Dia tahu betul bahwa di balik sikap profesionalnya, Lucien adalah pria yang sulit ditebak, penuh dengan permainan tersembunyi yang seringkali menantangnya untuk memilih antara apa yang benar dan apa yang diinginkan.

"Apakah kamu pikir aku akan membiarkan kamu terus bermain dengan api?" Lucien melanjutkan, nadanya tiba-tiba lebih rendah, hampir menggoda. "Aku tahu kamu lebih dari sekadar pekerja biasa, Elara. Kamu lebih cerdas dari itu. Dan aku ingin tahu seberapa jauh kamu bersedia pergi."

Elara menyembunyikan kegelisahannya. "Saya di sini untuk bekerja, Lucien. Itu saja."

Lucien tertawa kecil, suaranya penuh ironi. "Kerja? Begitu saja? Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya kita lakukan di sini. Kami berdua tahu batasan-batasan ini sudah lama hilang."

Senyum Elara merenggang. Dia mengalihkan pandangannya, mencoba untuk mengendalikan perasaan yang mulai bergolak dalam dirinya. "Tolong jangan campuri urusan pribadi saya. Jika ada hal lain yang perlu dibicarakan, saya akan siap di ruang rapat besok pagi."

Lucien memandangnya dengan tatapan tajam, seolah-olah menilai setiap inci tubuhnya. "Apakah kamu pikir kamu bisa menghindari semua ini, Elara? Apa yang kita miliki bukan hanya tentang pekerjaan. Ini lebih dari itu. Dan aku tahu, di dalam hatimu, kamu juga tahu."

Tanpa kata-kata, Elara hanya bisa menatapnya. Ada sesuatu dalam cara Lucien melihatnya, seperti jaring laba-laba yang perlahan menjebaknya. Namun, dia bertekad untuk tidak jatuh ke dalamnya. "Kita semua punya batas, Lucien. Bahkan kamu."

Lucien mendekat, hanya beberapa langkah lagi, dan seolah tanpa disadari, jarak di antara mereka menjadi sangat kecil. "Apakah itu tantangan?" tanyanya, suaranya kini berbisik di telinga Elara, hampir seperti ancaman yang terasa menggoda.

Dia menatap Lucien dengan penuh tekad, tapi hatinya berdebar hebat. “Tantangan? Mungkin. Tapi saya tidak takut dengan permainan kotor Anda, Lucien.”

Lucien tersenyum lebih lebar, menyeringai seperti pemburu yang baru saja menemukan mangsanya. "Itu yang paling saya sukai darimu, Elara. Kamu penuh dengan kejutan."

Lucien mundur sedikit, matanya masih terfokus tajam pada Elara, namun rasa frustrasi jelas tergambar di wajahnya. Dia tidak terbiasa menghadapi penolakan seperti ini, terutama dari seseorang seperti Elara, yang seharusnya sudah mengerti siapa dirinya.

“Jadi, kamu benar-benar tidak tertarik?” tanyanya, suaranya rendah, namun ada nada kesal yang menyelip di balik kalimat itu. Lucien menatapnya, seolah ingin menembus dinding keteguhan hati Elara. "Aku harus mengakui, kamu berbeda. Tapi ini sudah berlarut-larut, Elara. Mengapa kamu terus bermain-main dengan api ini? Sepertinya kamu menikmati ketegangan ini."

Elara menarik napas dalam-dalam dan menatapnya tanpa rasa takut. "Saya tidak menikmati apa pun yang berhubungan dengan permainan Anda, Lucien. Saya hanya melakukan pekerjaan saya. Jika itu tidak cukup untuk Anda, saya rasa kita tidak perlu berbicara lagi."

Lucien hampir tidak percaya dengan keteguhan Elara. Dia mendekat lagi, kali ini lebih dekat, hampir menutup seluruh ruang di antara mereka. Hidungnya nyaris bersentuhan dengan wajah Elara, namun dia tetap tidak bergerak, menantang pria itu dengan tatapan tajam yang tak pernah dia tunjukkan pada orang lain.

"Kalau begitu, aku ingin tahu seberapa kuat kamu, Elara," Lucien berkata, suaranya kini terkesan mengancam. "Kamu berani menentangku di depan semua orang, tapi apakah kamu berani menentangku saat kita berdua saja? Apakah kamu berani menanggung konsekuensinya?"

Elara tidak tergoyahkan. "Saya tidak takut pada ancaman kosong, Lucien," jawabnya dengan tegas, walau hatinya sedikit berdebar. "Saya tidak akan dipermainkan oleh siapapun, apalagi oleh Anda."

Lucien berhenti sejenak, matanya terbuka lebar, seolah terkejut dengan keteguhan Elara. Dia sudah mengira wanita itu akan menunduk, mengikuti kehendaknya seperti yang biasa terjadi dengan orang lain di sekitarnya. Tetapi Elara... dia berbeda.

Dia tersenyum, meskipun senyumnya lebih mirip ekspresi yang penuh perhitungan. "Kau benar-benar menarik, Elara," katanya, nada suaranya berubah, meski masih ada sedikit kekesalan yang tak bisa disembunyikan. "Tapi jangan kira kamu bisa terus bermain seperti ini tanpa ada konsekuensinya. Aku benci ketidakpatuhan."

Elara tidak mengalihkan pandangannya. "Dan saya benci orang yang merasa bisa mengendalikan semua orang di sekitarnya. Anda harus belajar bahwa saya tidak salah satu dari mereka, Lucien. Saya punya kendali atas hidup saya sendiri."

Lucien melangkah mundur, meremas jemarinya dengan rapat, seolah mencoba menahan amarah yang mulai muncul. "Kamu memang keras kepala. Tidak mudah, bukan? Terkadang, itu yang membuatku ingin mematahkanmu, membuatmu tunduk pada kehendakku."

Elara melawan tatapan tajamnya, menatapnya tanpa rasa gentar. "Jika itu yang Anda inginkan, maka Anda akan kecewa, Lucien."

Suasana menjadi tegang, seperti dua kekuatan yang saling tarik ulur, mencari titik keseimbangan. Namun Elara tahu, meskipun dia bisa menahan godaan dan tekanan Lucien, konsekuensinya akan semakin berat. Tapi satu hal yang pasti—dia tidak akan pernah memberi pria itu kekuasaan atas dirinya.

Lucien berdiri diam sejenak, lalu akhirnya mengalihkan pandangannya, meskipun kekesalan masih jelas terlihat. “Kamu memang tidak mudah dihadapi, Elara. Kita lihat saja sampai kapan kamu bisa bertahan."

"Selama saya tetap memegang kendali atas hidup saya," jawab Elara dengan tegas, "saya akan bertahan lebih lama dari yang Anda kira."

Lucien hanya mengangguk pelan, tapi di balik matanya yang gelap, ada sesuatu yang menunggu, sesuatu yang akan menguji batas-batas yang sudah dibangun Elara. Dan kali ini, bukan hanya pekerjaan yang dipertaruhkan, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih berbahaya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel