Bab 3
“Batasanmu yang mana?” balas Kai santai. “Yang bilang kita harus memperlakukan Ara seperti adik? Atau yang bilang kita tidak boleh tertarik padanya?”
Kai menatap langsung ke mata Joon. “Karena sepertinya kau juga kesulitan mengikuti aturanmu sendiri, Kak.”
Udara di ruang makan menjadi tegang. Ara bisa merasakan pertarungan diam antara kedua kakak tirinya. Sebuah per4ng dengan tatapan dan ketegangan yang tak terucapkan.
Dan sekali lagi, dia terjebak di tengah-tengah, dengan rasa daging panggang yang masih melekat di lidah dan pertanyaan yang sama mengganggu pikirannya: mengapa pertengkaran mereka terasa seperti sesuatu yang lebih dari sekadar perlindungan terhadap seorang adik?
“Tolong,” bisik Ara akhirnya, meletakkan serbetnya. “Bisa tidak kita makan dengan tenang? Seperti keluarga pada umumnya?”
Joon menghela napas panjang. Kai mengangkat tangan dengan sikap menyerah.
Tapi saat mata mereka bertemu di atas meja, Ara tahu—ini baru permulaan.
“Aku setuju karena Ara yang meminta,” kata Joon.
“Jangan mulai lagi, Kak Joon!” sahut Kai, tak mau kalah.
Ara tiba-tiba menarik kursinya dan berdiri. “Kalau kalian terus bertengkar, aku tidak akan makan malam!” katanya.
Lalu, kedua kakak tirinya itu segera menahan lengan Ara.
“Jangan, Adik. Tetaplah di sini,” kata Kai.
Dua pasang tangan menyentuh lengannya dalam waktu yang bersamaan. Sentuhan Joon terasa kuat dan tegas, sementara genggaman Kai lebih lembut tapi tak kalah bersemangat. Keduanya sama-sama membuat kulitnya terasa hangat.
“Jangan pergi,” desis Joon, suaranya lebih rendah dari sebelumnya. “Kami akan berhenti.”
“Ya, maafkan kami,” Kai menambahkan, jari-jarinya dengan lembut mengusap pergelangan tangan Ara. “Kakak janji tidak akan bertengkar lagi dengan Kak Joon.”
Ara bisa merasakan ketegangan di antara mereka, tapi kali ini mereka bersatu untuk satu tujuan: membuatnya tetap di sini. Dia perlahan duduk kembali, dan kedua pria itu melepaskan genggamannya dengan enggan.
“Baik,” ucap Ara, mengambil napas dalam-dalam. “Tapi ada syaratnya.”
Dia menatap mereka bergantian, pertama ke Joon yang wajahnya masih tegang, lalu ke Kai yang melihatnya dengan penuh penantian.
“Tidak ada lagi teguran atau komentar pedas selama makan malam ini. Kita akan berbicara seperti keluarga normal. Setuju?”
Joon mengangguk pelan. “Setuju.”
Kai tersenyum, tapi kali ini senyumnya tulus. “Apa pun untukmu, Adik.”
Makan malam berlanjut dengan suasana yang lebih tenang, meski Ara masih bisa merasakan pandangan mereka sesekali mencuri pandang ke arahnya. Saat dia mengangkat gelas air, dia melihat pantulan dirinya di kaca jendela. Seorang gadis yang terjepit di antara dua pria yang sama-sama menginginkannya, dengan cara mereka masing-masing.
Dan untuk pertama kalinya malam ini, Ara menyadari sesuatu: mungkin, hanya mungkin, dia menikmati perhatian ini lebih dari yang ingin dia akui.
Setelah selesai makan malam, Kai meninggalkan meja makan dan menuju kamarnya. Joon dengan sigap membereskan peralatan bekas makan mereka, membawanya ke wastafel.
Ara yang tak nyaman kemudian berinisiatif membantu. “Aku bantu, ya Kak Joon?”
Joon hanya menggumam.
“Tidak perlu,” jawab Joon singkat, tangannya sibuk membersihkan sisa makanan di piring. Tapi Ara sudah berdiri di sampingnya, mengambil spons cuci piring.
“Biarkan aku membantu. Aku tidak bisa hanya duduk-duduk sementara Kakak mengerjakan semuanya sendiri,” katanya, suara lembut tapi bersikukuh.
Joon berhenti sejenak, matanya menyapu sosok Ara yang sekarang berdiri sangat dekat dengannya. Ruang di antara wastafel dan meja dapur tiba-tiba terasa sempit.
“Kau keras kepala,” gumam Joon, tapi dia tidak lagi menolak.
Mereka berdiri berdampingan dalam diam, hanya suara air mengalir dan bunyi piring yang bersentuhan yang memecah kesunyian. Ara mencuci, Joon mengeringkan dan menyusunnya di rak. Setiap kali tangan mereka tidak sengaja bersentuhan, Ara merasakan getaran aneh, seperti listrik statis yang mengalir di antara mereka.
“Tentang tadi …” suara Joon akhirnya memecah keheningan, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Aku ... minta maaf.”
Ara menoleh, terkejut. Joon tidak tampak seperti tipe orang yang mudah meminta maaf.
“Kakak tidak perlu—”
“Tidak,” potong Joon. Dia meletakkan handuk lap tangan dan menatap Ara. “Aku bersikap tidak adil. Kai ... dia memang punya caranya sendiri. Tapi aku juga tidak lebih baik.”
Mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, Ara melihat kerentanan di balik keteguhan Joon. Ada sesuatu yang retak di dinding kokoh yang selama ini dia bangun.
“Kenapa Kakak begitu ... protektif terhadapku?” tanya Ara, berani.
Joon menghela napas, matanya beralih ke jendela yang sudah gelap. “Karena aku tahu bagaimana Kai. Dan karena …” Dia berhenti, seolah berjuang dengan kata-katanya sendiri. “Karena kau berbeda. Kau tidak seperti mereka yang biasanya dekat dengan Kai.”
“Dan Kakak pikir aku tidak bisa menjaga diriku sendiri?” Ara bertanya dengan nada bingung.
Joon menatapnya lagi, dan kali ini ada intensitas yang membuat napas Ara tersendat. “Bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah …” Dia mendekat, suaranya hampir berbisik. “Terkadang kita tidak ingin dilindungi dari orang lain. Tapi dari diri kita sendiri.”
Pintu dapur tiba-tiba tertutup bayangan seseorang. “Wah, ada apa nih? Kok kalian berduaan di sini?” Kai berdiri di ambang pintu, senyum nakal terukir di bibirnya, tapi matanya tajam.
Joon langsung mengambil jarak, kembali ke sikapnya yang dingin. “Kami sedang membereskan dapur dan mencuci piring bekas makan tadi. Ada yang kau butuhkan?”
“Cuma penasaran aja,” kata Kai, mendekat. "Kalian berdua kok diam-diam begitu. Lagi ngobrolin apa? Aku ikut.”
Ara merasa jantungnya berdebar kencang. “Tidak ada yang penting,” jawabnya, berusaha terdengar normal.
Tapi saat dia menatap Joon, dan kemudian Kai, Ara tahu—malam ini telah mengubah sesuatu. Dan perubahan itu terasa berbahaya, sekaligus ... menggairahkan.
“Kenapa kamu selalu mengganggu, Kai? Aku cuma cuci piring!” kata Joon.
Kai menyandarkan diri di pintu dapur, senyumnya semakin lebar melihat reaksi Joon. “Wah, siapa yang bilang aku mengganggu? Aku cuma penasaran sama obrolan serius kalian berdua di sini.”
Joon meletakkan piring yang sedang dia keringkan dengan agak keras. “Kami sedang membereskan dapur. Sesuatu yang tidak pernah kamu lakukan.”
“Ah, tapi tadi aku yang masak,” balas Kai dengan santai sambil mendekati Ara. “Dan sepertinya adik kita lebih suka suasana yang lebih ... ramah.”
Dia berdiri sangat dekat dengan Ara, sengaja menghalangi pandangan Joon. “Ara, besok kakak ajak jalan-jalan keliling kompleks, mau? Biar kakak tunjukkan tempat-tempat bagus di sekitar sini.”
Sebelum Ara sempat menjawab, Joon menyela dengan suara tegas, “Dia belum terlalu hafal dengan lingkungan sekitar sini. Aku yang akan menemaninya besok.”
“Loh, tapi kan Kakak harus kerja,” kata Kai dengan kepura-puraan. “Aku ‘kan libur, jadi bisa nemenin Ara seharian.”
Mata mereka kembali beradu, dan Ara merasa seperti boneka yang diperebutkan. Dia meletakkan spons cuci piring dan mengambil langkah mundur.
“Stop!” katanya, suaranya lebih tegas dari yang dia kira. “Aku bisa memutuskan sendiri mau jalan sama siapa. Dan untuk besok,” dia menatap mereka bergantian, “aku lebih baik jalan sendiri.”
***
