Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Ara membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan kaus oblong dan celana jeans di atas lutut.

Kai mengetuk pintu kamarnya. “Ara, Kak Joon memanggilmu untuk bergabung makan malam dengan kami.”

“Baik, Kak. Tunggu sebentar aku menyusul,” kata Ara.

Dia membuka pintu, masih mengikat rambutnya yang basah. Kai berdiri di sana, matanya menyapu penampilan Ara dari kepala sampai kaki. Senyumnya sedikit berbeda dari sebelumnya—lebih hangat, lebih dalam.

“Kau tidak pakai rok lagi?” tanyanya, suara rendah.

Ara merasa sedikit tersipu. “Lebih nyaman seperti ini.”

“Ya,” kata Kai, matanya berhenti sebentar pada kakinya. “Memang cocok untukmu.”

Mereka berjalan berdampingan menyusuri koridor yang panjang. Saat melewati sebuah ruang keluarga, Kai tiba-tiba menarik lengannya, menariknya ke balik pintu yang sedikit terbuka.

“Sebentar,” bisiknya, posisinya terlalu dekat dengan Ara. “Aku ingin kasih sesuatu sebelum kau bertemu Joon.”

Dari sakunya, dia mengeluarkan sebuah kalung rantai perak tipis dengan liontin berbentuk kupu-kupu kecil. “Selamat datang di keluarga kami,” ucapnya dengan suara lembut.

Sebelum Ara bisa menolak, Kai sudah melingkarkan kalung itu di lehernya. Jari-jarinya yang hangat secara tidak sengaja menyentuh kulit lehernya, membuatnya menggigil.

“Dia pasti akan marah kalau tahu,” bisik Ara, merujuk pada Joon.

“Justru itu yang membuatnya lebih seru,” jawab Kai sambil tersenyum, matanya berbinar. “Rahasia kecil kita.”

Dia membimbing Ara kembali ke koridor. Tapi saat mereka berbalik, Joon sudah berdiri di ujung sana, berdiri dengan kaku, tangannya mengepal. Matanya yang gelap tertuju pada kalung di leher Ara.

“Kalian berdua terlambat,” katanya, suaranya seperti baja dingin. “Dan kau, Kai. Aku sudah memperingatkanmu.”

Kai tersenyum. “Aku tidak berbuat apa-apa, Kak. Setidaknya, belum. Kau bisa tanya Ara.”

Joon mendekat dengan langkah tegas, matanya yang gelap bagai badai beralih dari Kai ke kalung di leher Ara. Suasana di koridor yang luas itu tiba-tiba terasa pengap.

“Lepaskan.” Perintah itu ditujukan pada Ara, tapi tatapannya menancap pada Kai. Suaranya rendah namun penuh tekanan, seperti getaran sebelum gempa.

Ara secara refleks meraih liontin kupu-kabu itu. Logamnya masih terasa hangat dari sentuhan Kai.

“Joon, jangan terlalu dramatis,” Kai menyela dengan suara santai, tapi senyumnya mulai memudar. “Aku hanya memberi hadiah selamat datang pada adik kita.”

“Adik kita?” Joon mengulangi dengan sinis. Dia sekarang hanya berjarak beberapa langkah. “Kau tidak pernah memandangnya sebagai adik. Dan kau—”

Dia akhirnya menatap langsung Ara. Ada sesuatu yang retak dalam tatapannya—kegerahan, rasa posesif, dan sesuatu yang lain yang lebih dalam.

“—kau terlalu naif untuk memahami permainannya.”

“Atau mungkin,” sela Kai, langkahnya maju menantang, “yang sebenarnya cemburu adalah kau?”

Ketegangan di antara mereka begitu pekat hingga hampir bisa dirabakan. Ara terjebak di antara mereka, jantungnya berdebar kencang. Dia bisa merasakan panas dari tubuh mereka yang saling berhadapan.

“Aku hanya memperingatkan—” Joon memulai.

“Kau selalu begitu!” potong Kai, suaranya meninggi untuk pertama kalinya. “Kau pikir kau bisa mengendalikan segalanya? Termasuk siapa yang boleh dekat dengan Ara?”

Joon mendekatkan wajahnya ke wajah Kai. “Dia berbeda, Kai. Dia bukan salah satu dari ... mainanmu yang lain.”

“Dan kau pikir kau lebih baik?” Kai menyeringai. “Bersembunyi di balik aturan dan kesopanan palsu? Aku setidaknya jujur dengan apa yang kuinginkan.”

Ara merasa tidak bisa bernapas. Perseteruan itu—itu bukan tentang dia, tapi tentang sesuatu yang lebih tua, lebih dalam antara kedua kakak beradik ini. Dan dia terjebak di tengah-tengah.

“Berhenti,” desisnya, suaranya gemetar. “Aku ... aku tidak butuh kalian berdua bertengkar karena aku.”

Dua pasang mata—satu dingin dan berapi-api, satu lagi menantang dan menggoda—beralih ke arahnya. Dan dalam keheningan yang tiba-tiba, Ara menyadari satu hal yang mengerikan. Ini baru hari pertama.

“Kakak-kakak! Tenanglah! Bukannya kita akan makan malam?” kata Ara, memecah pertengkaran mereka.

Dia melangkah di antara mereka, tangan terangkat seperti sedang menenangkan dua singa jantan yang sedang berkelahi. Suaranya yang sedikit bergetar justru memecah ketegangan yang hampir memuncak.

Joon adalah yang pertama menarik diri. Dia mengambil langkah mundur, merapikan dasinya yang sudah longgar dengan gerakan tegas. Tapi matanya masih gelap, masih tertancap pada Kai.

“Kau benar,” ucap Joon akhirnya, suaranya kembali terkendali tapi masih berisi amarah yang tertahan. “Mari kita makan malam.”

Tapi sebelum mereka bergerak, Joon membelok dan dengan halus—namun pasti—melepaskan kalung dari leher Ara. Rantainya yang tipis berdering lembut di genggamannya.

“Ini tidak pantas untukmu,” bisiknya, hanya untuk didengar Ara.

Kai menggeram rendah, tapi Ara meletakkan tangan di lengannya. “Tolong,” bisiknya, memohon.

Mereka berjalan menuju ruang makan dalam diam yang tegang. Ara di tengah, diapit oleh dua pria yang sama-sama menginginkannya dengan cara yang berbeda. Saat mereka hampir sampai, Joon berbisik pelan di telinga Ara, “Kau lihat sendiri sifat aslinya sekarang?”

Kai, yang mendengarnya, menyeringai. “Setidaknya aku tidak berpura-pura menjadi orang suci.”

Makan malam yang pertama ini, pikir Ara dengan jantung berdebar, akan terasa sangat, sangat panjang.

“Daging panggang! Siapa yang memasak semua ini?” tanya Ara.

Kai menepuk dadanya sendiri. “Tentu saja aku. Kak Joon nggak bisa masak.”

“Satu-satunya kelebihanmu cuma masak. Selebihnya nggak ada,” sahut Joon.

Ara memandangi meja makan yang penuh dengan hidangan lezat—daging panggang yang masih mendesis, sayuran bakar dengan aroma harum, dan kentang tumbuk yang tampak lembut.

“Kamu serius masak semua ini sendiri, Kak Kai?” tanyanya, takjub.

Kai menyunggingkan senyum bangga sambil menyendokkan daging panggang ke piring Ara. “Biar kakak yang rawat kamu malam ini. Joon cuma bisa pesan makanan catering—itu pun pilihannya itu-itu saja.”

Joon yang sedang menuangkan wine berhenti sejenak, tangannya menggenggam erat botolnya. “Setidaknya aku tidak menggunakan kesempatan makan malam sebagai alasan untuk pamer.”

“Aduh, kau dengar itu?” Kai berpura-pura tersinggung sambil mendekatkan kursinya ke Ara. “Dia cuma iri karena aku lebih perhatian. Coba kamu cicipi, Sayang.”

Panggilan ‘sayang’ itu menggantung di udara. Ara merasa pipinya memanas. Joon meletakkan gelas wine dengan agak keras.

“Kita punya aturan di meja makan, Kai. Jangan terlalu ... banyak berbicara.”

“Loh, salah satu peraturanmu yang mana ini?” tanya Kai dengan senyum penuh kemenangan. “Yang melarangku memanggil adik kita sendiri dengan panggilan sayang? Atau—” dia mencondongkan badan, suaranya rendah tapi jelas, “—peraturan yang melarangku melakukan ini?”

Dengan cepat, Kai mengambil sepotong daging dengan garpunya dan menyuapkannya ke mulut Ara. “Enak, kan?”

Ara terkaget-kaget, bibirnya menyentuh garpu logam yang masih hangat. Rasanya ... enak. Sangat enak. Tapi yang lebih membuatnya tergagap adalah tatapan Joon yang sekarang penuh amarah.

“Kau sengaja melanggar setiap batas yang kubuat, ya?” geram Joon.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel