Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Kedua pria itu terlihat terkejut dengan sikap tegas Ara. Kai membuka mulut untuk membantah, tapi Ara sudah berjalan menuju pintu.

“Selamat malam, Kak Joon, Kak Kai,” ucapnya tanpa menoleh. “Aku mau istirahat.”

Saat dia melewati Kai, dia mendengar bisikan rendah, “Pintu kamarmu tidak terkunci, kan? Kalau butuh teman ngobrol …”

Joon mendengar bisikan itu dan wajahnya langsung berubah merah padam. “Kai!”

Tapi Ara sudah terlalu lelah untuk menanggapi lagi. Dia berjalan menyusuri koridor, merasakan dua pasang mata yang mengikuti langkahnya dari belakang.

Satu hal yang dia sadari adalah, bertahan di rumah itu akan menjadi pertempuran tersulit dalam hidupnya.

Dengan suara klik yang nyaring, Ara mengunci pintu kamarnya. Dia menyandarkan punggung di daun pintu yang dingin, mencoba menenangkan napas yang masih tersengal-sengal.

Bayangan Joon muncul di pikirannya. Tatapan matanya yang gelap dan penuh peringatan, cara dia berdiri begitu dekat di dapur tadi, suara rendahnya yang bergetar saat berkata, “Terkadang kita tidak ingin dilindungi dari orang lain. Tapi dari diri kita sendiri.”

Kalimat itu terus bergema dalam benaknya. Apa maksud pria itu sebenarnya? Apakah Joon sedang memperingatkannya tentang Kai ... atau tentang perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya sendiri?

Dia berjalan menuju tempat tidur dan terjatuh di atasnya, menatap langit-langit kamar yang tinggi. Sentuhan tidak sengaja mereka tadi di dapur masih terasa membakar kulitnya. Cara Joon melihatnya bukan seperti seorang kakak kepada adik, tapi seperti seorang pria kepada wanita yang dia inginkan.

“Tidak,” bisik Ara pada dirinya sendiri, menutup mata erat-erat. “Ini salah. Tidak mungkin seperti itu. Mereka adalah kakak tiriku.”

Tapi kenapa beberapa saat kemudian bayangan tentang Kai menyusul? Senyum nakalnya, cara dia menyuapinya di meja makan, bisikan nakalnya tentang pintu yang tidak terkunci …

Keduanya sama-sama berbahaya, dengan cara yang berbeda.

Ara memutar tubuhnya dan menatap liontin kupu-kabu yang sekarang tergantung di meja samping tempat tidur. Kai telah diam-diam memberikannya lagi saat mereka berpisah di koridor tadi.

“Simpan saja,” bisiknya. “Sebagai pengingat bahwa tidak semua aturan harus diikuti.”

Terdengar ketukan lembut di pintu. Ara menahan diri agar tak bersuara beberapa saat untuk mengetahui siapa yang ada di balik pintu.

“Ara?” suara Joon dari balik pintu, lebih lembat dari yang dia kira. “Aku ingin memastikan kau baik-baik saja.”

Ara tidak menjawab, hanya menarik napas dalam-dalam.

“Tidur yang nyenyak, ya,” bisik Joon setelah beberapa saat, diikuti oleh langkah kaki yang menjauh.

Ara meremas bantalnya. Di satu sisi, ada Joon dengan segala keteguhan dan perlindungannya yang membuatnya merasa aman sekaligus terpenjara. Di sisi lain, ada Kai dengan kebebasan dan godaannya yang menjanjikan petualangan.

Tapi yang paling mengganggunya adalah kenyataan bahwa dia mulai menikmati perhatian dari keduanya. Dan itu membuatnya merasa seperti orang terburuk di dunia.

Karena terlalu lelah memikirkan tentang semuanya, Ara tanpa sadar tertidur. Dia bangun dalam keadaan setengah sadar saat mendengar pintu kamarnya diketuk.

“Kak —”

Lalu Kai menyeringai dan menerobos masuk. Dia mengunci pintu kamar Ara. “Aku tidak bisa tidur. Bisa kamu ninabobokan aku?”

Ara langsung terduduk di tempat tidur, jantungnya berdebar kencang. Cahaya bulan yang temaram menerobos melalui tirai, menerangi sosok Kai yang sekarang bersandar di pintu terkunci dengan senyum nakal.

“Kak Kai? Apa yang—”

“Jangan bersuara,” bisiknya, meletakkan jari di bibirnya. Dia mendekati tempat tidur dengan langkah senyap seperti kucing. “Aku bilang, aku tidak bisa tidur. Dan kupikir mungkin kau juga.”

Dia duduk di tepi tempat tidur, terlalu dekat. Aroma sabunnya yang segar bercampur dengan sedikit aroma wine yang masih melekat. “Jangan khawatir, tidak ada yang akan tahu. Joon sudah tidur seperti bayi.”

Ara menarik selimut hingga ke dadanya, merasa sangat sadar bahwa dia hanya mengenakan piyama tipis. “Ini tidak tepat, Kak. Keluarlah.”

“Tepat?” Kai terkekeh pelan. Tangannya meraih ujung rambut Ara, memutar-mutarnya dengan lembut di jarinya. “Apa yang tepat tentang semua ini? Kita bukan saudara sedarah, Ara. Dan kau tahu itu.”

Dia membungkuk lebih dekat, napasnya hangat di kulit telinga Ara. “Aku melihat caramu memandang Joon tadi malam. Kau penasaran, kan? Tapi dia terlalu pengecut untuk melakukan sesuatu.”

“Jangan bicara yang—”

“Atau,” bisiknya, sekarang bibirnya hampir menyentuh kulit lehernya, “kau lebih suka yang lebih berani seperti aku?”

Pintu kamar tiba-tiba digedor dengan keras dari luar. “Kai! Aku tahu kau di sana!” suara Joon yang marah bergema di balik pintu. “Keluar sekarang!”

Kai menghela napas dramatis. “Si tukang jagal datang,” bisiknya pada Ara. Tapi matanya berbinar, seolah menikmati situasi ini.

Dia berdiri dan membuka pintu dengan santai. Joon berdiri di sana dengan wajah merah karena marah, hanya mengenakan celana piyama.

“Apa yang kau lakukan di kamar adik kita?” geram Joon, mendorong Kai ke koridor.

“Hanya mengucapkan selamat malam,” jawab Kai dengan tidak bersalah. Tapi sebelum pergi, dia melirik ke Ara sekali lagi. “Lain kali, aku meninabobokan kamu, ya?”

Setelah Kai pergi, Joon menatap Ara dengan campuran amarah dan kekhawatiran. “Kau baik-baik saja?”

Ara hanya bisa menganggup, terlalu terguncang untuk berbicara.

“Besok,” kata Joon dengan suara tegas, “kita akan pasang kunci tambahan di pintumu.”

Tapi saat dia pergi, Ara menyadari satu hal: tidak ada kunci yang bisa melindunginya dari perasaan kacau yang mulai tumbuh dalam hatinya. Dan yang lebih menakutkan—dia tidak yakin apakah dia masih ingin dilindungi.

“Tidak usah Kak Joon,” bisik Ara.

Kata-kata itu keluar lebih lembut dari yang dia rencanakan, tapi mengandung keyakinan yang membuat Joon membeku di ambang pintu. Dia berbalik perlahan, matanya menyipit.

“Apa yang kau katakan?”

Ara menarik napas dalam-dalam, merasakan jantungnya berdebar kencang di dadanya. “Aku bilang, tidak usah.” Suaranya lebih stabil sekarang. “Aku tidak butuh kunci tambahan.”

Joon mendekat kembali, wajahnya berkerut dalam kebingungan dan sedikit tersinggung. “Apa kau tidak melihat apa yang baru saja terjadi? Kai menerobos masuk—”

“Dan dia tidak melakukan apa-apa,” potong Ara, kini berdiri dari tempat tidurnya. “Aku bisa mengatasi Kai sendiri.”

Tapi Joon menggeleng, tangannya mengepal. “Kau tidak mengerti. Ini baru permulaan. Dia akan terus mencoba—”

“Dan biarkan saja dia!” seru Ara, suaranya sedikit meninggi. Dia melangkah mendekat, menatap langsung ke mata Joon yang gelap. “Aku bukan boneka yang perlu kau kunci dalam kotaknya. Aku bisa membuat keputusanku sendiri, Kak. Tentang siapa yang boleh masuk ke kamarku, tentang siapa yang kau inginkan—”

Dia tiba-tiba berhenti, menyadari apa yang hampir terucap. Udara di antara mereka menjadi tegang, penuh dengan pengakuan yang nyaris terungkap.

Joon memandangnya dengan intensitas yang membuatnya menggigil. “Apa yang hampir kau katakan, Ara?” katanya, suaranya rendah dan berbahaya. “Tentang siapa yang kau inginkan?”

Ara mengatupkan bibirnya, menahan getar yang menjalar di seluruh tubuhnya. Di koridor, mereka mendengar suara Kai bersiul kecil, sengaja membuat keributan saat kembali ke kamarnya.

“Kau lihat?” bisik Joon lebih dekat, panas tubuhnya kini terasa oleh Ara. “Dia tidak akan berhenti. Dan kau …” Dia mengangkat tangan, seolah ingin menyentuh pipi Ara, tapi kemudian mengepalkannya kembali. “Kau bermain dengan api, Ara.”

“Mungkin aku suka merasa terbakar,” balas Ara dengan berani, meski suaranya gemetar.

Pertukaran tatapan mereka begitu intens, penuh dengan ketegangan seksual dan perang keinginan yang tidak terucapkan. Joon akhirnya menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan frustrasi.

“Tidurlah, Ara,” katanya, suaranya terdengar lelah. “Tapi ingat! Pilihanmu memiliki konsekuensi.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel