Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1

Hari itu, Ara memandangi rumah megah di hadapannya. Pagar besi hitam yang kokoh seakan membentang sebuah dunia baru yang asing. Matahari sore menyinari dinding putih dan jendela-jendela besar, membuatnya menyipitkan mata.

“Ini rumah ... atau istana?” bisiknya dalam hati.

Dia menarik napas dalam. Bau parfum ibunya yang melekat pada gaun barunya tiba-tiba terasa menyengat. Seperti pengingat bahwa ini bukan lagi kehidupan mereka yang sederhana. Tas ranselnya terasa berat di pundak, berisi semua kenangan masa lalunya yang harus dia tinggalkan.

“Dengar, Ara,” kata ibunya pagi tadi dengan suara bergetar, “Mereka keluarga baik. Berusahalah untuk ... menyesuaikan diri di sini.”

Menyesuaikan diri. Kata-kata itu masih bergema di kepalanya ketika pintu mobil mewah itu tertutup, meninggalkannya sendirian di depan gerbang ini.

Dia melangkah pelan melalui jalan setapak yang diapit taman yang terlalu rapi. Setiap langkah terasa seperti menapaki wilayah asing. Sebelum sempat menekan bel, pintu kayu besar itu terbuka.

Dan di sana, berdiri dua orang pria.

Yang pertama, lebih tinggi, berdiri tegak dengan kemeja putih necis. Tatapannya tajam, menganalisa, seperti sedang menimbang-nilai setiap inci dari dirinya. Tangannya terkunci erat di samping tubuh, dan senyumnya—jika bisa disebut senyum—hanya berupa lengkungan tipis di sudut bibirnya. Dingin. Terkendali.

“Joon,” katanya singkat, suaranya serius dan dalam. “Selamat datang.” Tapi kata-kata itu terdengar seperti sekadar formalitas, bukan sambutan.

Lalu, ada yang kedua.

Bersandar di pintu dengan santai, mengenakan kaus hitam dan celana jeans yang sobek di beberapa tempat. Senyumnya lebar, nakal, dan matanya—matanya mengamatinya dengan cara yang berbeda. Bukan menilai, tapi ... mengagumi. Seperti dia adalah subjek foto yang menarik.

“Dia Ara, ‘kan? Jangan berdiri di luar saja,” katanya, suaranya hangat dan bersahabat. Tapi tatapannya—tatapannya membuat kulitnya merona. Itu bukan tatapan seorang kakak pada adik baru.

Ara menggigit bibirnya. Di antara dua pasang mata yang sama-sama mengamati, tapi dengan intensi yang sangat berbeda, dia merasa seperti kupu-kupu yang akan disematkan di papan koleksi.

Dunia barunya terdiri dari dua kutub: es yang dingin dan api yang menggoda.

Dan dia terjebak di tengah-tengahnya.

Dia melangkah mendekat, senyumnya semakin lebar. “Aku Kai. Yang pasti lebih menyenangkan daripada si bos di sana,* katanya sambil melirik ke arah Joon.

Sebelum Ara sempat menjawab, Kai sudah memegang lengannya dengan lembut. Sentuhannya hangat dan membuatnya terkejut. “Ayo, jangan nervous. Kita saudara mulai sekarang, ‘kan?"

Dari belakang, suara Joon yang dingin memotong obrolan mereka. “Kai. Biarkan dia istirahat dulu.”

Tapi Kai hanya melambaikan tangan. “Jangan dengar omongan si perfect itu. Aku janji kamarku jauh lebih seru darinya.”

Dia menarik Ara masuk ke dalam rumah. Saat melewati Joon, Ara bisa merasakan tatapan tajam itu menyapu kulitnya. Ada sesuatu dalam tatapan Joon yang membuatnya merasa seperti melakukan kesalahan—meski yang dilakukannya hanya sekedar mengikuti Kai.

Ara mengikuti Kai ke dalam kamar, matanya langsung menatap jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Kamar ini... terlalu bagus untuknya. Tempat tidur king size, meja rias marmer, dan lemari pakaian yang sepertinya bisa menampung seluruh barang yang dia miliki.

“Dia sengaja menyiapkan kamar ini di antara kami berdua,” kata Kai dengan suara rendah, hanya untuk didengar Ara. Dia menyandar di bingkai pintu, tangannya dimasukkan di saku celana jeansnya. “Aku di ujung koridor sebelah kiri, Joon di ujung kanan.”

Dia melangkah mendekat, mengurangi jarak di antara mereka. Aroma sabunnya yang segar tercium samar.

“Kalau kamu butuh apapun—” ucapnya, suaranya lebih lembut, “—obat sakit kepala, tempat curhat, atau sekedar pelarian dari suasana rumah yang membosankan …”

Dia berhenti tepat di depan Ara, lalu mengulurkan tangan. Di telapaknya, tergenggam sepotong kertas lipat.

“Ini nomorku. Jangan beri tahu Joon.”

Senyumnya berbinar, tapi matanya bersungguh-sungguh. Ara menerima kertas itu, ujung jari mereka bersentuhan sepersekian detik. Sebuah getaran aneh menyebar dari titik sentuhan itu.

Dari balik bahu Kai, Ara melihat bayangan tinggi berdiri di ujung koridor. Joon. Diam. Mengamati.

Kamar yang persis di antara dua kakak tirinya tiba-tiba terasa seperti medan perang.

Ara masuk ke kamar itu lalu melemparkan dirinya ke tempat tidur yang memantulkan dirinya.

“Indahnya kamar ini. Akhirnya aku bisa punya kamar yang bagus.”

“Ehm ehm.”

Ara menoleh. “Kak Joon?”

Joon berdiri di ambang pintu, bersandar pada bingkai pintu dengan tangan terlipat. Postur tubuhnya yang tegap memenuhi hampir seluruh ruang pintu.

“Kai lupa memberitahumu,” ucapnya dengan suara datar, tapi ada nada teguran di baliknya. “Kami punya aturan di rumah ini.”

Dia melangkah masuk, sepatu loafernya nyaris tak bersuara di atas karpet tebal. Matanya yang tajam menyapu ruangan, seakan memeriksa setiap detail yang mungkin tidak sesuai.

“Pintu kamar harus selalu tertutup setelah jam sembilan malam.” Joon berhenti beberapa langkah dari tempat tidur, menatap Ara yang masih tergeletak. “Dan tidak ada kunjungan antar kamar setelah jam itu.”

Dia mengucapkannya dengan tegas, tapi Ara bisa merasakan sesuatu yang lain di balik kata-katanya—sebuah peringatan, atau mungkin sebuah ... perlindungan?

“Duduk yang benar,” tambah Joon tiba-tiba, suaranya lebih rendah. “Kau bukan anak kecil lagi.”

Kalimat terakhir itu menggantung di udara antara mereka, berisi makna ganda yang membuat pipi Ara memerah. Apakah dia sedang menegur posisinya yang terlungkup di tempat tidur, atau ada maksud lain?

Ara segera duduk. “Maaf, Kak Joon. Apa ada peraturan yang lain?”

Joon mendekat. Kemejanya sudah digulung sebatas siku, dan dasinya sudah longgar. “Pesanku, jangan terlalu dekat dengan Kai.”

Ara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Joon. Ruangan yang luas tiba-tiba terasa sempit oleh kehadirannya.

“Kenapa tidak boleh?” tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap stabil.

Joon mengambil satu langkah lagi mendekat. Sekarang dia hanya berjarak sehasta darinya. Aroma kayu sandalwood dan sesuatu yang lebih tajam—mungkin kopi—memenuhi ruang antara mereka.

“Dia bukan tipe orang yang baik untukmu,” jawab Joon, suaranya rendah namun penuh wibawa. Matanya menatap langsung ke mata Ara, seolah mencoba menyampaikan pesan yang lebih dalam dari kata-katanya.

“Tapi bukankah dia kakak tiriku juga? Seperti Kakak?”

Senyum tipis muncul di sudut bibir Joon, tapi tidak sampai ke matanya. “Kau pikir Kai memandangmu sebagai adik?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dengan implikasi yang membuat dada Ara sesak. Dia bisa merasakan detak jantungnya semakin kencang.

“Dan Kakak?” Ara berani bertanya, suaranya hampir berbisik. “Kakak memandangku sebagai apa?”

Untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka, Ara melihat sesuatu retak dalam ketenangan Joon. Matanya berkedip, dan tatapannya sesaat menjauh sebelum kembali menatapnya.

“Itu pertanyaan yang berbahaya, Ara,” desisnya, suaranya lebih dalam dari sebelumnya. “Kau sebaiknya tidak bermain api di rumah baru ini.”

Dia berbalik untuk pergi, tapi berhenti di ambang pintu. Tanpa menoleh, dia menambahkan, “Dan tutup pintumu dengan baik malam ini.”

Pintu tertutup dengan lembut, meninggalkan Ara sendirian dengan getar aneh di sekujur tubuhnya dan pertanyaan yang jauh lebih mengganggu daripada yang dia miliki sebelumnya.

“Apa maksudnya? Dia membuatku takut.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel