Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

CHAPTER 5 : SAAT SEMUA MATA MENUNGGU JAWABAN

Malam semakin larut, dan rumah nenek Rose terasa lebih sunyi dari biasanya. Tak ada denting jam tua di ruang tengah. Tak ada langkah kaki tua yang biasanya menyapu lantai. Hanya suara jarum jam dan desir angin malam dari sela jendela kayu.

Elena duduk di ranjangnya, bersandar di sandaran kepala tempat tidur, memeluk lutut, dan menatap kosong ke dinding. Cahaya remang dari lampu meja menerangi wajahnya yang lelah. Kedua matanya bengkak karena air mata yang tak bisa ia bendung setelah kejadian siang tadi.

Dua pria. Dua pilihan. Dua versi dari dirinya sendiri.

Nathan mewakili stabilitas, kejelasan, masa depan yang bisa direncanakan. Dunia modern, pertemuan formal, diskusi visi hidup.

Liam, di sisi lain, adalah sisi dirinya yang pernah hidup bebas, mencintai tanpa rencana, percaya pada perasaan.

Ia merogoh laci kecil di meja samping dan menemukan sebuah jurnal tua milik neneknya. Di dalamnya, terselip kutipan tulisan tangan:

> “Kadang cinta bukan soal memilih siapa yang lebih baik, tapi siapa yang membuatmu kembali menjadi dirimu sendiri.”

Elena menutup buku itu dan menatap ke luar jendela. Siapa dirinya sekarang? Apakah dia wanita karier dari Boston? Atau gadis kecil dari Willow Bay yang menulis puisi di tepi danau?

---

Pagi hari, Nathan menepati ucapannya. Ia mengirim pesan:

> “Sarapan? Butuh waktu sebentar saja.”

Elena mengiyakan. Ia merasa perlu mendengar Nathan. Mungkin bisa menenangkan hatinya yang porak-poranda.

Mereka bertemu di kafe kecil dekat pelabuhan. Nathan tampak rapi, duduk tegak seperti biasa. Tapi kali ini, ada kesabaran dalam sikapnya. Mungkin karena ia tahu Elena berada di ambang keputusan besar.

“Kamu kelihatan letih,” kata Nathan pelan.

“Aku merasa seperti dua orang berbeda yang sedang berebut kendali dalam tubuhku,” jawab Elena jujur.

Nathan menatapnya lembut. “Aku tidak akan memaksamu, Elena. Tapi aku datang karena aku peduli. Aku tahu kamu tak pernah janji apa pun padaku, tapi kamu juga tak pernah menolak saat aku mendekat.”

Elena mengangguk pelan. “Karena aku nyaman bersamamu, Nathan. Karena kamu aman. Tapi sekarang… aku kembali ke tempat yang pernah kuanggap rumah. Dan semuanya... berantakan.”

Nathan menggenggam tangannya di atas meja. “Kamu bukan gadis sembarangan, Elena. Kamu punya masa lalu, dan aku hormati itu. Tapi kamu juga punya masa depan. Kita bisa bangun itu bersama.”

Kalimat itu indah. Rasional. Terstruktur.

Tapi justru karena itu, ia terasa jauh.

---

Sore harinya, Elena berjalan ke bengkel tempat Liam bekerja. Ia tak berniat bicara panjang—ia hanya ingin melihatnya. Mendengar nadanya. Mencari tahu apakah masih ada yang tersisa di antara mereka.

Bengkel itu masih seperti dulu: ramai, penuh suara mesin, dan bau oli.

Liam sedang memperbaiki motor besar, kaosnya penuh noda, tangan kotor. Saat melihat Elena, ia berhenti sejenak. Tapi tak mengatakan apa-apa.

“El?” tegur salah satu mekanik. “Kau Elena, kan? Dulu sering ikut Liam naik motor ke danau.”

Elena tersenyum canggung. “Iya, itu aku.”

Liam mendekat, menyeka tangannya dengan lap kotor.

“Datang untuk lihat aku kerja?” tanyanya datar.

“Aku hanya… lewat.”

Liam menatapnya sesaat. Lalu mengangguk. “Kamu terlihat bingung.”

“Karena aku memang bingung.”

Liam menghela napas. “Aku nggak akan minta kamu memilih sekarang. Tapi aku juga nggak bisa berdiri diam dan lihat kamu tergantung di antara dua dunia.”

“Jadi kamu mau aku pilih hari ini?”

“Tidak. Aku mau kamu jujur pada dirimu sendiri.”

Elena menunduk.

“Kalau kamu memang sudah bukan bagian dari tempat ini, dari aku… maka pergilah. Tapi jangan bertahan hanya karena rasa bersalah, atau karena kenangan.”

Mata Elena mulai basah.

“Tapi kalau kamu masih merasakan yang sama… walau setitik… aku akan tunggu. Bahkan jika itu artinya menunggu selamanya.”

---

Malam itu, Elena kembali ke rumah, lalu duduk di ruang tamu. Ia membuka kotak kayu tua di bawah tangga—tempat neneknya biasa menyimpan surat dan foto lama. Di dalamnya, ia menemukan surat terakhir dari nenek Rose yang belum dibacanya.

> “Sayangku Elena,

Aku tahu kamu akan berada di persimpangan jalan. Tapi kau tidak sendiri. Cinta sejati tak selalu sempurna, tapi selalu tahu jalan pulang.

Kau bebas memilih. Tapi pilihlah dengan jujur, bukan karena takut atau terpaksa.

Karena kebahagiaan sejati bukan tentang siapa yang kau sayangi paling dalam, tapi siapa yang membuatmu memilih untuk tinggal, bahkan ketika kamu punya alasan untuk pergi.”

Surat itu menamparnya pelan.

Ia menatap api kecil dari perapian. Lalu menutup matanya.

Mungkin jawabannya tidak datang hari ini. Tapi satu hal pasti:

Ia tak akan lari lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel