CHAPTER 4 : BAYANGAN KOTA BESAR
Pagi itu hujan telah reda, menyisakan tanah yang lembap dan embun di jendela kaca. Matahari mencoba menerobos gumpalan awan, memberikan cahaya redup ke seluruh kota Willow Bay.
Elena terbangun dengan kepala berat. Malam itu terlalu panjang, pikirannya terus dipenuhi oleh suara Liam, tatapan matanya, dan kata-kata terakhirnya sebelum meninggalkan rumah.
> “Selama itu bukan untuk lari lagi.”
Ia menarik napas dalam, lalu bangkit dan menatap pantulan dirinya di cermin. Rambutnya kusut, mata sedikit sembab. Tapi lebih dari itu, ia bisa melihat ketakutan di dalam matanya sendiri—ketakutan akan pilihan yang mungkin harus ia buat.
Pagi itu, ia memutuskan untuk pergi ke kantor notaris kota, untuk mengecek status rumah peninggalan neneknya. Ia perlu memastikan semua dokumen warisan bisa segera diproses. Semakin cepat selesai, semakin cepat ia bisa kembali ke Boston.
Namun, ketika ia kembali dari kantor notaris dan memarkir mobil di depan rumah, sebuah mobil sedan hitam yang asing sudah lebih dulu terparkir di sana.
Jantungnya berdetak lebih cepat saat ia melihat seseorang keluar dari mobil tersebut. Seorang pria dengan setelan rapi, rambut disisir ke belakang, dan ekspresi terkejut begitu melihatnya.
“Elena? Akhirnya aku menemukanmu.”
Nathan.
Mantan rekan kerja, sekaligus pria yang belakangan ini cukup dekat dengannya di Boston. Sosok yang selalu bersikap profesional, namun perlahan menunjukkan perhatian lebih. Elena tak pernah benar-benar membuka hati, tapi ia tahu Nathan tertarik. Dan lebih dari itu—dia tahu Nathan mewakili "kehidupan" yang ia tinggalkan di kota.
“Nathan? Apa yang kamu…? Bagaimana kamu tahu aku di sini?”
Nathan mendekat, menatapnya dengan serius. “Kamu pergi tanpa kabar. Kantormu bilang kamu cuti karena urusan keluarga. Tapi kamu tidak mengangkat telepon. Aku… khawatir. Jadi aku cari tahu dari kantor notaris yang pernah kerja sama dengan perusahaanmu. Mereka menyebut Willow Bay.”
Elena tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa bersalah, sekaligus terganggu. Dunia lamanya—dunia modern yang rapi, cepat, dan terstruktur—baru saja menyusulnya ke dunia kecil yang sunyi dan berantakan ini.
“Aku… butuh waktu, Nathan. Hanya itu,” katanya pelan.
Nathan menatap ke arah rumah tua di belakangnya. “Ini tempat kamu tumbuh?”
Elena mengangguk.
“Kamu tampak… berbeda di sini. Lebih alami. Lebih tenang.”
Elena tidak menjawab.
Lalu Nathan menatapnya langsung. “Aku tidak datang untuk menekanmu. Aku hanya ingin tahu… apakah kamu masih akan kembali? Ke Boston. Ke pekerjaanmu. Ke kehidupan kita yang—ya, belum jelas, tapi sedang kita bangun bersama.”
Elena membuka mulutnya, tapi tak sempat bicara karena sebuah suara lain muncul dari samping rumah.
“Elena?”
Ia menoleh. Liam. Berdiri dengan kaos dan jaket lusuh, tampaknya baru saja membantu seseorang di bengkel atau menjemput sesuatu yang tertinggal malam sebelumnya.
Matanya langsung jatuh ke sosok Nathan. Raut wajahnya berubah dalam sekejap. Tegang. Dingin.
Nathan menyipitkan mata. “Teman lama?”
Elena merasa dunia runtuh dalam sekejap.
“Iya,” katanya cepat. “Nathan, ini Liam. Liam, ini Nathan. Dia… teman dari Boston.”
“Kau lupa sebutkan bahwa dia pakai jas dan menyusulmu ke kota kecil.” Nada suara Liam terdengar tajam.
Nathan tidak tinggal diam. “Dan kau lupa sebutkan bahwa teman lamamu ini masih sering muncul tiba-tiba.”
Ketegangan memuncak. Elena berdiri di antara dua dunia—masa lalu dan masa kini—dan ia tahu, cepat atau lambat, ia harus memilih.
“Aku butuh bicara dengan Elena. Sendiri,” kata Nathan.
“Terlambat,” jawab Liam. “Dia sedang membangun kembali sesuatu yang lama.”
“Yang sudah lama ditinggalkan, maksudmu?” balas Nathan dengan nada tenang tapi menusuk.
“Cukup!” seru Elena akhirnya. “Kalian berdua… aku nggak bisa urus ini sekarang. Kalian tidak tahu apa yang sedang aku alami. Aku belum memutuskan apa pun.”
Suasana hening. Bahkan angin pun seolah berhenti sejenak.
Nathan menarik napas panjang. “Baik. Aku akan menginap di hotel dekat pelabuhan. Aku akan menunggu, Elena. Tapi jangan terlalu lama.”
Ia menatap Elena sekali lagi, lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi.
Liam tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Elena, lalu berjalan pergi—tanpa menjelaskan apa pun. Tidak marah. Tidak juga menuntut.
Dan justru itu yang paling menyakitkan.
---
Malamnya, Elena duduk di ruang tamu sendirian. Lampu redup. Cangkir teh yang tidak disentuh. Dan surat nenek yang kini terasa seperti panduan yang tak cukup memberi arah.
> “Jangan biarkan rasa sakit menjauhkanmu dari kebenaran dan kesempatan.”
Tapi bagaimana jika kesempatan datang dari dua arah?
Dan kebenaran… ternyata bukan hanya satu?
