Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

CHAPTER 6 : HUJAN YANG TAK BISA DI TEBAK

Langit Willow Bay kembali diselimuti mendung saat pagi datang. Tapi kali ini, bukan hanya cuaca yang terasa berat — melainkan juga hati Elena.

Ia belum memberi jawaban kepada siapa pun. Tidak kepada Nathan, yang menunggunya di hotel. Dan juga tidak kepada Liam, yang mengaku siap menunggu seumur hidup, tapi jelas menyimpan luka yang semakin dalam.

Hari itu, Elena memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan sejak kembali ke kota ini — mengunjungi makam neneknya.

Ia membawa setangkai mawar putih, mengenakan mantel panjang, dan berjalan kaki ke pemakaman kecil di bukit. Angin bertiup pelan, langit berwarna kelabu pucat, dan aroma tanah basah menguar di udara.

Batu nisan dengan ukiran halus bertuliskan:

> Rose Rivers

“She lived in love, and left with grace.”

Elena berlutut, meletakkan mawar itu di atas rumput.

“Nenek,” bisiknya, “aku tidak tahu harus bagaimana. Semua ini terasa seperti mimpi lama yang bangkit lagi, tapi dengan bentuk baru. Aku ingin tinggal… tapi aku juga takut. Aku takut kehilangan diriku lagi.”

Ia mengusap air mata yang mulai mengalir. Tak ada jawaban dari langit, hanya desir angin yang lembut menyentuh pipinya.

---

Siangnya, Elena berjalan ke tepi danau. Tempat paling penuh kenangan. Di sana, di antara rerumputan tinggi dan pohon-pohon pinus, ia melihat seseorang duduk sendirian di dermaga kayu.

Liam.

Ia tampak termenung, memandangi air yang tenang. Mendengar langkah Elena, ia tak menoleh, hanya berkata:

“Aku tahu kamu akan datang ke sini.”

Elena duduk di sampingnya.

“Aku belum bisa beri jawaban, Liam.”

“Aku nggak minta jawaban sekarang,” katanya pelan. “Aku cuma pengen kamu tahu… meski kamu pilih pergi, aku akan tetap hidup. Tapi kalau kamu pilih tinggal, aku akan hidup… dengan utuh.”

Elena menggigit bibir bawahnya. Ia ingin menyentuh tangannya, tapi menahan diri.

“Kadang aku berpikir... kalau saja aku tidak pergi dulu, mungkin semuanya akan lebih mudah.”

Liam tertawa kecil, tanpa humor. “Kalau kamu tidak pergi, mungkin aku yang pergi. Kita terlalu muda waktu itu. Terlalu keras kepala. Tapi sekarang kita punya pilihan.”

Mereka duduk dalam diam beberapa menit, hingga ponsel Elena bergetar. Sebuah pesan dari Nathan:

> “Aku di depan rumahmu. Aku ingin bicara. Terakhir kali.”

Elena berdiri perlahan.

“Aku harus pergi.”

Liam mengangguk, meski jelas ia ingin menahan. Tapi kali ini, ia membiarkan Elena membuat keputusannya sendiri.

---

Di depan rumah, Nathan berdiri di bawah gerimis yang mulai turun. Ia mengenakan mantel panjang dan membawa koper kecil.

“Kau mau pergi?” tanya Elena saat membuka pagar.

Nathan mengangguk. “Ya. Aku pikir jawabannya sudah jelas. Kau mungkin belum mengatakannya… tapi sikapmu sudah cukup.”

Elena menghela napas. “Aku… belum bisa memilih. Tapi aku juga tidak ingin memberi harapan palsu.”

Nathan tersenyum pahit. “Itu sudah cukup, El. Aku datang ke sini bukan untuk bersaing. Aku datang untuk tahu apakah kamu ingin pulang.”

“Dan aku sadar…” lanjutnya, “mungkin rumah untukmu bukan lagi di Boston.”

Mereka berdiri dalam diam, gerimis membasahi rambut dan bahu. Nathan membuka jaketnya, menyerahkan sebuah amplop.

“Ini tiket pesawat kembali ke Boston. Berlaku tiga hari ke depan. Kalau kamu datang, aku akan tunggu di bandara. Tapi kalau tidak… aku akan mengerti.”

Elena menerima amplop itu tanpa berkata-kata.

Nathan tersenyum, lalu memutar tubuhnya dan berjalan ke arah mobil sewa. Sebelum masuk, ia menoleh sekali lagi.

“Kamu pantas bahagia, Elena. Dengan siapa pun. Asal kamu yakin, bukan karena takut.”

Mobilnya melaju perlahan, menghilang di tikungan jalan. Elena berdiri diam di tengah gerimis, menggenggam amplop itu seperti benda paling berat di dunia.

---

Malam itu, rumah nenek Rose sunyi seperti biasa. Tapi kali ini, Elena merasakan sesuatu yang berbeda. Ia tidak lagi terjebak antara dua pria. Ia mulai sadar bahwa pilihan bukan hanya tentang cinta — tapi tentang siapa dirinya, dan hidup seperti apa yang ia inginkan.

Ia menyalakan lilin kecil di kamar, lalu membuka laptop tuanya. Hal pertama yang ia buka adalah… laman pengunduran diri dari kantor penerbitan di Boston.

Tapi ia tidak langsung menulis apa pun. Ia hanya menatap layar.

Kemudian, ia membuka file dokumen kosong, dan mulai menulis…

> “Willow Bay. Kota kecil tempat aku lahir… dan mungkin, tempat aku akan menulis kisahku sendiri.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel