Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

CHAPTER 3 : RETAKAN YANG MASIH ADA

Setelah hampir satu jam duduk bersama di Willow Café, Elena dan Liam hanya membicarakan hal-hal ringan—tentang pekerjaan, kota yang tak banyak berubah, dan kenangan masa kecil yang menggantung seperti potongan film tua di dinding ingatan mereka.

Namun ketika mereka keluar dari kafe, langit mulai menggelap pelan, seolah cuaca pun ikut membaca ketegangan yang belum terselesaikan.

“Aku bisa antarkan kamu pulang,” kata Liam saat mereka sampai di depan pintu kaca kafe.

Elena mengangguk ragu, lalu memutuskan menolak halus. “Terima kasih, tapi aku masih ingin jalan sedikit. Rasanya aneh kembali ke tempat ini dan tidak menyusuri jalan yang dulu aku lewati tiap sore.”

Liam mengangguk, walau dari sorot matanya, Elena tahu ia ingin tetap tinggal. Mungkin sama bingungnya seperti dirinya—antara ingin dekat dan tetap menjaga jarak.

“Kalau begitu, sampai nanti.”

“Sampai nanti.”

Elena berjalan perlahan di trotoar kota, menyusuri jalan kecil yang dipenuhi toko-toko tua. Sebagian besar sudah tutup atau berpindah tangan. Tapi ada satu toko yang tetap sama—Toko Musik Daniels, tempat ia dan Liam pernah mencuri waktu hanya untuk mendengarkan lagu dari headphone yang dipasang di dinding. Lagu pertama yang mereka dengar bersama masih teringat jelas di benaknya. Lagu yang menemani ciuman pertama mereka.

Ia menghela napas dan berjalan lebih cepat. Ini bukan saatnya untuk bernostalgia.

Saat ia tiba di rumah, angin mulai bertiup lebih kencang. Hawa lembap pertanda hujan. Ia masuk ke dalam rumah tua itu dan kembali ke kamar. Di sana, ia duduk di atas ranjang dan menatap selembar foto yang baru saja ia temukan pagi tadi—foto dirinya dan Liam, duduk di atap rumah saat malam prom, mengenakan pakaian formal, tertawa, terlihat seolah dunia milik mereka berdua.

Elena memegang foto itu erat-erat. Lalu, entah karena dorongan rasa bersalah atau kerinduan, ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan.

> "Kalau kamu tidak sibuk malam ini, mau datang ke rumah? Aku ingin bicara soal nenek."

Balasan datang tak lama kemudian.

> "Jam tujuh. Bawa teh kalau kamu punya."

Elena tersenyum kecil. Ia bangkit, membuat teh chamomile hangat dan menyiapkan ruang tamu seperti dulu neneknya biasa melakukannya saat tamu datang—taplak meja, bantal tambahan di sofa, dan lampu kuning hangat di sudut ruangan.

Pukul tujuh tepat, suara ketukan lembut terdengar.

Ia membuka pintu, dan Liam berdiri di sana—membawa dua kantong kertas berisi kue dari toko roti kecil yang mereka suka dulu.

“Aku ingat kamu suka cinnamon roll,” katanya, menatapnya dengan senyum kecil yang sulit dijelaskan. Bukan senyum bahagia, tapi bukan juga senyum asing.

Elena mempersilakan masuk. Mereka duduk, minum teh, dan mengunyah kue dalam keheningan yang anehnya terasa akrab.

“Aku masih belum percaya dia benar-benar pergi,” kata Elena akhirnya, memandangi cangkir teh di tangannya. “Rumah ini rasanya seperti masih menyimpan suaranya.”

Liam mengangguk. “Dia selalu jadi penghubung segalanya, ya? Bahkan sekarang, dia masih memaksa kita duduk bersama.”

“Dia selalu tahu caranya,” bisik Elena.

Lalu, tanpa sadar, mereka mulai berbicara. Tentang masa lalu, tentang luka yang pernah terbentuk, dan tentang bagaimana keduanya mencoba menjalani hidup setelah semuanya runtuh.

Liam bercerita tentang pekerjaan di bengkel motor ayahnya, tentang adiknya yang kini menikah dan tinggal di kota sebelah. Ia juga sempat menjalin hubungan, tapi tidak bertahan lama.

“Dia baik,” kata Liam tentang mantannya. “Tapi dia bukan kamu.”

Elena tidak menjawab. Kata-kata itu terlalu berat untuk dibiarkan mengambang begitu saja.

Liam melanjutkan, “Kamu sendiri? Ada seseorang?”

Elena menggeleng pelan. “Ada. Dulu. Tapi aku tidak pernah bisa benar-benar mencintai siapa pun setelah…”

Liam menatapnya dalam. “Setelah kita?”

Elena mengangguk perlahan, menahan nafas. “Kamu pernah membenciku?”

Liam butuh waktu untuk menjawab. Ia menatap cangkir tehnya seolah jawaban ada di dasar gelas.

“Pernah,” katanya akhirnya. “Tapi lebih sering aku merindukanmu daripada membencimu.”

Hening.

Lalu, Elena bicara. “Aku pikir kalau aku kembali, semuanya akan terasa asing. Tapi ternyata... kamu masih sama.”

“Kamu juga,” sahut Liam. “Masih rumit, keras kepala, dan cantik seperti dulu.”

Elena tertawa, namun matanya mulai berkaca.

Tiba-tiba, petir menyambar di luar. Hujan turun deras. Liam berdiri dari kursi dan melangkah ke jendela.

“El, aku tahu kamu bilang datang ke sini hanya untuk beresin rumah ini. Tapi… apa kamu yakin tidak ingin tinggal sedikit lebih lama?”

“Untuk apa?” bisiknya, hampir tak terdengar.

“Untuk lihat apakah masih ada ‘kita’ yang tersisa.”

Pertanyaan itu membuat Elena berdiri. Ia menatap Liam, mata mereka saling terhubung dalam keheningan yang hanya dipenuhi suara hujan.

“Liam… kita bukan remaja lagi. Dunia kita sudah berbeda. Aku punya hidup di kota. Karier. Komitmen.”

“Tapi kamu juga punya kenangan. Dan rumah ini. Dan aku.”

Elena menggigit bibirnya. Ia ingin menjawab, tapi suaranya tak keluar. Emosi yang selama ini ia tekan mendesak ke permukaan. Ia berbalik, berjalan ke dapur, pura-pura sibuk dengan cangkir teh. Tapi Liam tak tinggal diam. Ia menyusul, berdiri di belakangnya.

“Elena,” bisiknya. “Kalau kamu minta aku pergi sekarang, aku akan pergi. Tapi kalau kamu masih menyisakan sedikit tempat untukku di hatimu… aku akan tinggal.”

Elena memejamkan mata.

Hening.

Detik berlalu seperti menit. Lalu...

“Aku… butuh waktu,” ucapnya lirih.

Liam mengangguk. Tak memaksanya. Ia mengambil jaketnya, lalu berjalan menuju pintu.

“Waktu itu cukup,” katanya. “Selama itu bukan untuk lari lagi.”

Pintu tertutup perlahan. Elena berdiri di dapur, memandangi cangkir teh yang sudah dingin, dan matanya basah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel