CHAPTER 2 : AROMA KOPI DAN KENANGAN
Udara pagi di Willow Bay terasa lebih tenang dari biasanya, seakan seluruh kota ikut menahan napas menunggu apa yang akan terjadi. Kabut tipis masih bergelantungan di udara saat Elena melangkah keluar dari rumah neneknya. Ia mengenakan mantel cokelat tua dan syal abu yang sudah lama tak dipakainya—barang-barang yang masih tersimpan rapi di lemari kamar, seolah nenek Rose tahu bahwa ia akan kembali suatu hari nanti.
Di tangannya, ia menggenggam surat yang telah ia baca berulang kali semalam. Kata-kata sang nenek masih bergema di kepalanya, mendorongnya untuk melangkah. Menuju kafe yang dulu menjadi tempat pelarian, tempat tawa, tempat jatuh cinta… dan tempat luka bermula.
Willow Café.
Bangunan kecil bergaya rustic di pojok jalan utama kota. Dinding luarnya ditumbuhi tanaman merambat dan jendela kacanya dipenuhi stiker menu harian. Aroma kopi yang khas menyambut Elena bahkan sebelum ia membuka pintu. Tapi bukan itu yang membuat jantungnya berdebar—melainkan ketakutan akan siapa yang mungkin menunggunya di dalam.
Ia membuka pintu dengan hati-hati. Denting lonceng kecil di atas pintu menandakan kedatangannya.
Suasana kafe tidak banyak berubah. Masih ada rak buku tua di pojok ruangan, meja kayu dengan taplak kotak-kotak merah-putih, dan barista paruh baya dengan apron cokelat—Mrs. Harding—yang langsung menoleh saat melihatnya.
“Elena Rivers?” wanita itu menyipitkan mata, lalu tersenyum hangat. “Astaga… aku hampir tak mengenalimu. Sudah lama sekali.”
Elena membalas senyum kecil. “Pagi, Mrs. Harding. Senang melihatmu lagi.”
“Aku lebih senang lagi melihatmu. Duduklah, duduk. Mau pesan sesuatu? Masih ingat latte vanilla favoritmu?”
Elena mengangguk pelan. “Boleh. Sekali lagi.”
Saat ia mencari tempat duduk, matanya tanpa sadar menatap meja paling belakang di dekat jendela—tempat favoritnya dan Liam dulu. Dan di sanalah dia.
Liam.
Sudah duduk di sana, dengan secangkir kopi di depannya. Ia mengenakan kemeja biru gelap yang digulung di lengan, dan jas tipis abu-abu yang menggantung di sandaran kursi. Pandangannya tertuju padanya. Tak ada senyum, hanya tatapan dalam yang tak bisa Elena artikan.
Ia bisa saja memilih meja lain. Ia bisa saja berpura-pura tak melihatnya. Tapi sesuatu dalam dirinya—mungkin surat neneknya, atau mungkin luka yang tak pernah benar-benar sembuh—membuat kakinya melangkah mendekat.
“Boleh duduk?” tanyanya pelan.
Liam mengangguk. “Tentu.”
Ia duduk perlahan. Hening menyelimuti mereka selama beberapa detik yang terasa sangat lama.
“Aku nggak yakin kau benar-benar datang,” kata Liam, akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar, tapi Elena bisa merasakan ketegangan di balik nada itu.
“Aku juga nggak yakin,” balas Elena jujur. “Tapi… nenekku menyuruhku.”
Liam mengangkat alis. “Dalam surat?”
Elena mengangguk, lalu menarik amplop dari saku mantelnya dan meletakkannya di meja. Liam menatapnya sejenak, lalu menghela napas.
“Dia selalu tahu cara mendorong orang agar melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan.”
“Kau juga dapat surat darinya?”
“Bukan surat. Pesan. Dia menyuruhku ke sini hari ini... saat terakhir kali aku menemuinya di rumah sakit.” Liam menggeser gelasnya pelan. “Dia bilang, ‘Kalau Elena pulang, jangan biarkan dia lari lagi’.”
Elena terdiam. Kata-kata itu menusuk seperti sembilu. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang mulai merangkak naik.
“Aku nggak lari…” katanya, hampir berbisik. “Aku cuma… memilih pergi.”
“Tanpa bicara? Tanpa penjelasan? Tanpa pamit?” Suara Liam meninggi sedikit, tapi segera ditekan. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan satu tangan. “Kau tahu, aku menghabiskan waktu bertahun-tahun bertanya kenapa.”
Elena mengangkat wajahnya. “Aku takut. Waktu itu… semuanya terasa terlalu cepat. Kita masih muda, Liam. Aku mendapat beasiswa ke luar kota, dan kau bilang ingin tetap di sini. Aku takut jika aku memilih tetap bersamamu, aku akan kehilangan impian… dan kalau aku pergi, aku kehilangan kamu.”
Liam menggeleng pelan. “Kita bisa mencari jalan, Elena. Kita bisa berjuang. Tapi kau bahkan tidak memberiku kesempatan.”
Sakit. Rasanya seperti membuka luka lama yang belum pernah dijahit dengan benar.
“Aku minta maaf,” katanya akhirnya. “Maaf karena pergi. Maaf karena membiarkan kau bertanya-tanya. Aku pikir aku kuat. Tapi ternyata… aku pengecut.”
Liam menatapnya. Untuk sesaat, tak ada kata. Hanya dua pasang mata yang saling berusaha memahami luka yang berbeda tapi saling terhubung.
Mrs. Harding datang membawa latte vanilla dan menaruhnya di depan Elena. “Minumlah sebelum dingin. Kau butuh itu,” ujarnya, lalu pergi tanpa menunggu jawaban.
Elena mengambil cangkir itu, memejamkan mata, dan menyeruput perlahan. Rasa manis, sedikit pahit, dan hangat menyentuh tenggorokannya. Rasa yang sama seperti dulu, tapi dengan kenangan yang berbeda.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” ucap Liam. “Tapi aku juga nggak ingin menyimpan dendam seumur hidup.”
Elena menatapnya. “Kau mau bicara? Tentang semua yang terjadi setelah aku pergi?”
Liam tersenyum miris. “Kau siap mendengar?”
“Aku datang karena aku ingin tahu,” katanya pelan. “Bukan hanya soal rumah ini. Tapi… soal kita.”
Liam menatap ke luar jendela. Matahari mulai menembus kabut, menghangatkan kota perlahan.
“Kalau begitu… kita mulai dari awal,” katanya. “Dari tempat di mana semuanya dulu berakhir.”
Elena mengangguk. Untuk pertama kalinya sejak ia menginjakkan kaki di kota ini, ia merasa napasnya tidak seberat tadi.
Dan mungkin… ini bukan tentang menyelesaikan masa lalu.
Tapi memberi ruang bagi masa depan.
