CHAPTER 1 : PULANG YANG TAK PERNAH DIRENCANAKAN
Udara pagi di Willow Bay menyambut dengan kabut tipis yang menggantung di antara pohon-pohon mapel yang mulai menggugurkan daunnya. Angin laut membawa aroma asin dan dingin yang menyeruak ke daratan, menyatu dengan wangi tanah basah dan daun yang mulai lapuk. Kota kecil itu masih sama seperti sepuluh tahun lalu—sunyi, lambat, dan menyimpan terlalu banyak kenangan yang enggan dikubur waktu.
Elena Rivers mematikan mesin mobilnya perlahan. SUV hitam sewaan itu berhenti di depan rumah tua yang pernah menjadi tempat paling ia cintai… dan tempat yang kemudian ia benci karena terlalu banyak luka yang tersimpan di dalamnya. Rumah milik neneknya, Rose Rivers.
Beranda rumah itu masih ditumbuhi tanaman ivy yang menjalar bebas, lebih liar dari yang ia ingat. Cat putih di kusen jendela mulai memudar, dan ayunan kayu di samping rumah itu masih menggantung, berdecit pelan ditiup angin—seperti menyambut kepulangannya dengan suara hantu masa lalu.
Dengan langkah pelan, Elena turun dari mobil. Boots kulit hitamnya menjejak dedaunan kering yang berserakan. Ia menarik kerah mantelnya yang panjang dan merapatkannya ke leher. Udara bulan Oktober menusuk, tapi bukan udara dingin yang membuatnya menggigil—melainkan bayangan kenangan yang kembali membanjir dalam kepalanya. Tawa. Suara musik dari pemutar kaset tua. Suara pintu yang dibanting. Suara seseorang yang memanggil namanya untuk terakhir kali.
“Jangan terlalu lama, Elena,” gumamnya pada diri sendiri, menenangkan. “Hanya beberapa hari. Kemas barang-barang, urus surat jual rumah, lalu kembali ke Boston.”
Ia menarik napas dalam, mencoba menyuntikkan keberanian. Tapi langkahnya terhenti ketika suara dari masa lalu menyapanya begitu nyata.
“Elena?”
Suara itu menghantamnya lebih kuat dari yang ia perkirakan. Suara yang ia kenal bahkan dalam tidur. Suara yang pernah membuat jantungnya berdetak lebih cepat… dan kemudian hancur berkeping-keping.
Perlahan, Elena berbalik.
Liam Hart.
Ia berdiri tak jauh dari pagar rumah, tubuh jangkungnya kini tampak lebih dewasa dari versi terakhir yang ia ingat. Rambutnya lebih pendek, sedikit acak, dan jaket kulit yang ia kenakan tampak usang tapi pas di tubuhnya. Tapi matanya—mata abu-abu gelap yang dulu membuat Elena merasa seperti satu-satunya orang di dunia—masih sama. Dan sekarang, mata itu menatapnya dengan campuran keterkejutan dan rindu yang tertahan.
Liam tidak bergerak. Ia seperti seseorang yang tak yakin apakah harus mendekat atau menjauh.
“Aku nggak percaya ini benar-benar kamu…” katanya pelan.
Elena menegakkan bahu. “Halo, Liam.”
Suara mereka bertemu di udara yang dingin dan basah, seperti dua gelombang yang bertabrakan tanpa sempat saling memahami.
“Aku… dengar soal nenekmu,” ucap Liam, melangkah pelan mendekat. “Aku… turut berduka.”
“Terima kasih,” jawab Elena singkat. Ia menunduk, lalu mengalihkan pandangan.
“Dia orang yang hebat,” lanjut Liam. “Suka bercerita tentangmu. Katanya kamu bekerja di penerbit besar di Boston. Jadi editor sekarang?”
Elena menatapnya sesaat, sedikit terkejut. “Dia bilang begitu?”
Liam tersenyum tipis. “Setiap minggu ke gereja, dia pasti bilang ke semua orang bahwa cucunya itu lebih pintar dari dosen Harvard.”
Elena tak bisa menahan senyum kecil yang muncul. Nenek Rose memang seperti itu—penuh kebanggaan dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan. Tapi senyumnya segera pudar saat ia mengingat alasan mengapa ia meninggalkan semua ini.
“Aku cuma datang sebentar,” katanya. “Urus rumah, lalu pergi.”
“Ya… kuduga begitu.”
Hening kembali melingkupi mereka. Angin berembus membawa daun-daun jatuh di antara mereka berdua. Elena merasa jantungnya berdegup keras, bukan karena Liam—tapi karena semua kenangan yang ia kubur tiba-tiba bangkit begitu saja. Seakan waktu di kota ini tak pernah bergerak.
“Liam…” ucapnya, mencoba tegas. “Aku nggak datang untuk membuka masa lalu.”
“Aku nggak minta itu,” jawab Liam cepat. Tapi matanya berkata lain.
Elena mengangguk, lalu melangkah menuju pintu. Ia tidak menoleh lagi, meski ia bisa merasakan mata Liam masih memandanginya. Seperti dulu, saat mereka bertengkar untuk terakhir kalinya. Seperti dulu, saat ia meninggalkan kota ini tanpa pernah melihat ke belakang.
---
Rumah itu tak berubah banyak di dalam. Masih ada bau lavender kering dan kayu tua. Ruang tamu dipenuhi perabotan lama dan tumpukan buku-buku tua yang sebagian besar adalah novel-novel roman klasik. Di atas meja kopi, masih ada cangkir teh dengan pola bunga mawar yang menjadi favorit neneknya. Elena mengelus punggung kursi kayu tempat neneknya biasa duduk sambil merajut.
Ia berjalan menyusuri lorong rumah dan berhenti di depan kamar lamanya. Pintu kamar masih sama—dengan gantungan kerang yang ia buat sendiri saat umur sepuluh tahun. Saat ia membuka pintu, aroma nostalgia menghantamnya.
Dinding kamar masih dicat biru muda. Rak bukunya masih penuh dengan novel favorit: Jane Eyre, Wuthering Heights, Little Women. Bahkan poster kecil band favoritnya saat SMA masih tertempel di pintu lemari.
Elena duduk di atas ranjang, lalu menunduk menahan sesak yang tiba-tiba muncul. Ia tak menyangka kembali ke rumah ini akan begitu berat.
Tangannya terulur secara refleks ke laci kecil di samping tempat tidur. Ia membuka laci itu, dan di dalamnya, terselip sebuah buku tua. Wuthering Heights—salinan yang diberikan neneknya saat ia ulang tahun ketiga belas.
Saat membalik halaman, sesuatu jatuh ke pangkuannya.
Sebuah surat.
Amplop cokelat tua dengan tulisan tangan yang khas.
> Untuk Elena, jika kau pernah kembali.
Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Ia membaca perlahan, setiap kata menampar sisi hatinya yang paling lembut.
> Elena sayang,
Jika kau membaca ini, berarti aku sudah pergi. Dan itu berarti kau sudah cukup kuat untuk kembali ke tempat yang pernah begitu berarti bagimu.
Aku tahu, ada banyak luka yang belum sembuh. Tapi jangan biarkan rasa sakit menjauhkanmu dari kebenaran dan kesempatan.
Kadang, yang kita butuhkan hanyalah duduk di tempat yang tepat, minum secangkir teh, dan membiarkan hati bicara sendiri.
Datanglah ke Willow Café besok pagi. Mungkin kau akan menemukan sesuatu yang tak kau sadari telah lama kau rindukan.
Dengan cinta, selamanya,
Nenek Rose
Air mata mengalir tanpa permisi. Elena menutup mata dan membiarkan dirinya tenggelam dalam suara surat itu. Dalam suara neneknya.
Ia tak tahu apakah ia siap menghadapi apa yang akan ia temukan. Tapi sesuatu dalam dirinya—sesuatu yang selama ini ia tekan—mulai berbisik lembut.
Mungkin ini saatnya.
---
Besok pagi. Willow Café.
Tempat di mana segalanya pernah dimulai.
Dan tempat yang mungkin… bisa jadi tempat ia mulai lagi.
