Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. MAIN SABUN AHH

“Bu … bukan itu kok, Bu. Maksudnya bukan tetek Bu Elsa yang besar. Ehh!” Rendi terbelalak dan cepat-cepat menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.

“Hahaha.” Bu Elsa tertawa kecil mendengar ucapan Rendi yang keceplosan itu.

“Nggak apa-apa, Rendi. Kamu bilang aja. Lagian ibu juga suka kalau kamu bicara jujur. Bagaimana menurut kamu? Apa tetek ibu ini besar?” Bu Elsa bertanya dengan nada menggoda.

Rendi menelan saliva yang serasa tercekat di tenggorokan. Perlahan ia mengangguk, sambil berusaha mengalihkan pandangannya dari kedua dada Bu Elsa yang membusung padat di balik pakaiannya.

“I … iya, Bu. Tetek Bu Elsa sangat besar, sangat montok,” akui Rendi akhirnya.

Akan tetapi, entah kenapa wajah Bu Elsa tak terlihat marah sedikit pun. Wanita itu bahkan nampak tersenyum tipis, sambil menatap Rendi dengan sorot mata yang sedikit tak biasa.

"Terima kasih sudah jujur, Reni,” ucap Bu Elsa, sambil berdiri dan merapikan berkas-berkas di mejanya.

“Oh iya, kebetulan suami Ibu sedang di luar kota. Apa nanti kamu bisa antar Ibu pulang? Ibu agak kurang enak badan."

Rendi kaget mendengarnya, tapi ia tak menolak dan hanya bisa mengangguk patuh. Ia seperti mendapat jackpot yang tak selalu bisa didapat orang lain.

“Wah! Rejeki nomplok nih. Sepertinya hoki seumur hidup sudah aku pakai sekali.” Rendi terkekeh dalam hatinya.

Menjelang sore hari, Rendi pun mengantar Bu Elsa pulang dengan mengendarai motor sport miliknya.

---

Rumah Bu Elsa tidak terlalu besar, tapi rapi dan wangi. Aroma lavender menyambut Rendi saat masuk, membuatnya agak canggung melangkah. Bu Elsa mempersilakan Rendi untuk duduk, lalu ia pun masuk ke dapur.

“Kamu suka ayam goreng, Ren?” tanya wanita itu dari balik pintu dapur.

“Suka, Bu,” jawab Rendi cepat.

Tak butuh lama, Bu Elsa muncul dengan dua piring nasi dan ayam goreng hangat. Mereka duduk di meja makan kecil, dan mulai mengobrol tentang hal-hal ringan. Tentang sekolah, tentang cuaca, bahkan tentang makanan favorit.

Suasana menjadi lebih hangat. Tawa Rendi mulai terdengar, gugupnya perlahan mencair. Ia bahkan mulai menikmati obrolan mereka.

"Ibu dulu juga bandel waktu SMA," kata Bu Elsa sambil tersenyum kecil.

“Hah? Masa sih, Bu?”

“Iya, Rendi. Tapi hidup mengajarkan banyak hal.”

Rendi tersenyum kikuk.

“Saya nggak nyangka Ibu bisa sebaik ini sama saya.”

Bu Elsa hanya tertawa pelan mendengar pujian Rendi.

Setelah makan, Bu Elsa mengipas-ngipas leher dengan telapak tangannya. Ia juga mengibaskan kerah baju, membuat leher jenjangnya yang putih mulus itu terekspose sempurna.

“Di sini gerah banget, Ren. Padahal udah nyalain AC. Sebentar ya, ibu mau ganti baju dulu.”

“Iya, Bu.”

Bu Elsa pun masuk ke kamar, dan beberapa menit kemudian ia sudah keluar dengan mengenakan tank top berbahan tipis yang ketat hingga mencetak jelas bagian tubuhnya. Buah dada Bu Elsa tampak menyembul dan terlihat jelas belahannya, dipadu dengan pinggang ramping yang aduhai.

Tanktop tipisnya itu ia padukan dengan hotpants ketat berwarna hitam yang mengekspose jelas paha mulusnya. Mata Rendi sampai terbelalak dibuatnya. Bahkan kedua bibirnya sudah setengah terbuka, tercengang menatap benda cembung tembam di antara kedua pangkal paha Bu Elsa.

Rambutnya yang sebelumnya diikat, kini dibiarkan terurai begitu saja, menambah kesan santai sekaligus menggoda.

Rendi membeku. Matanya spontan mengikuti lekuk tubuh Bu Elsa, tapi buru-buru ia menunduk. Wajahnya sudah panas dan memerah.

Bu Elsa tampak menyadarinya, tapi ia hanya tersenyum samar. Wanita itu malah duduk di sofa dan menyilangkan kaki dengan santai.

“Rendi, kenapa kamu gugup begitu?”

“Nggak … nggak kenapa-kenapa, Bu,” sahut Rendi terbata-bata.

“Kalau kamu masih gugup, berarti Ibu gagal bikin kamu nyaman,” kata Bu Elsa lembut, lalu menyalakan televisi.

“Sini deh, duduk lebih deket. Kita nonton televisi aja biar nggak tegang.”

Rendi semakin tercengang, tapi ia tak mungkin menolak. Dirinya berpindah duduk agak mendekat, sangat dekat hingga kini kakinya dan kaki Bu Elsa sudah saling menempel.

“Celana kamu bagus juga ya, Ren. Bahannya bagus,” ucap Bu Elsa yang kini tiba-tiba membelai paha Rendi dari luar celana.

“Bu Elsa,” lirih Rendi, berusaha menahan hasrat yang sudah membuncah.

Tubuhnya menegang karena pahanya disentuh oleh Bu Elsa. Namun, wanita itu hanya tersenyum. Ia bahkan kini duduk menyilangkan kaki tepat di depan Rendi, seolah sedang menyodorkan paha mulusnya.

“Duh! Kok masih saja gerah ya, Ren? Kamu nggak gerah?” tanya Bu Elsa sambil mengipas-ngipas lehernya.

Tubuhnya sedikit membungkuk, hingga buah dadanya nyaris tumpah keluar dari balik tanktop. Belahan dadanya terlihat sangat sempurna dan menantang. Mata Rendi semakin melebar.

Uhh!

Ingin sekali rasanya dia membantu Bu Elsa menopang TT nya itu dengan tangannya.

“Ahh!” Rendi mulai berfantasi, yang membuat bagian bawahnya kini semakin mengeras.

Rendi mengalami ereksi, apalagi Bu Elsa seperti sengaja melakukan gerakan yang membuat Rendi semakin tidak tahan. Ia pun akhirnya minta izin ke kamar kecil.

“Boleh izin ke toilet, Bu? Saya kebelet.”

“Lurus aja, Ren. Lalu belok kiri.”

“Oke, Bu.”

Rendi cepat-cepat berlari ke toilet. Di sana, ia cepat-cepat menuntaskan hasratnya. Terpaksa ia harus coli, daripada batang tegangnya tak mendapat pelepasan.

“Oh! Ah! Enak banget, Bu Elsa. Terus jepit punyaku di tetek ibu.” Rendi terus memainkan batangnya sambil membayangkan sedang dijepit di dada Bu Elsa.

Tanpa diketahui oleh Rendi, Bu Elsa diam-diam membuka pintu kamar mandi sedikit dan mengintip di dalam sana. Wanita itu sampai ternganga saat melihat Rendi crot sambil melenguh menyebut namanya.

“Ahhh! Enak banget.” Rendi membuka mata lebar-lebar dan segera memakai celananya kembali.

Ia pun buru-buru kembali menemui Bu Elsa di ruang tamu. Sesampainya di sana, Bu Elsa sudah lebih dulu tiba di ruang tamu agar tak dicurigai oleh Rendi.

“Kamu ngapain aja di kamar mandi, Ren? Lama banget,” tanya Bu Elsa dengan tatapan sayu.

“Ah itu … anu, Bu. Tadi ada kecoa di kamar mandi, jadi saya bereskan dulu. Nanti saya khawatir kalau Bu Elsa takut sama kecoa,” jawab Rendi berdusta.

“Kamu yakin? Kamu nggak lagi berbohong sama ibu?” Bu Elsa mengedipkan sebelah matanya dengan nakal.

Tubuh seksinya mendekat. Kedua kakinya kini sudah naik ke sofa. Ia menarik dasi Rendi dan menjepit kedua kaki Rendi di antara kedua kakinya.

“Bu Elsa, apa yang …?”

“Nggak usah bohong, Ren. Ibu tahu apa yang kamu lakukan.” Bu Elsa meraba dada Rendi dari balik baju seragam.

“Bu … Bu Elsa, maaf. Tapi aku … aku nggak kuat lihat Bu Elsa berpakaian seperti itu. Belahan tetek Bu Elsa sangat besar, aku sangat tergoda, Bu. Aku ereksi.” Rendi menjawab dengan takut-takut.

“Haha! Nggak usah takut begitu, Rendi. Justru ibu senang kalau kamu jujur. Ibu tahu kalau pengen ini kan?”

Tiba-tiba saja Bu Elsa meraih tangan Rendi dan meletakkan tangan laki-laki itu di buah dadanya.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel