
Ringkasan
( BERISI ADEGAN DEWASA ++ ) Guru cantik yang berbody aduhai, ternyata dia hyper. Dia tidak merasa terpenuhi oleh suaminya, sehingga dia memanfaatkan dirinya sebagai guru, dia mencari kepuasan dari murid-muridnya yang dia sukai. Lalu bagaimana dengan suaminya jika tahu kelakuan istrinya? Bagaimana nasib Bu guru Elsa nantinya? [[[ IKUTI CERITANYA SAMPAI SELESAI ]]]
1. BU GURU YANG MENGGODA
“Rendi, kamu tahu ini sudah keberapa kali kamu terlambat minggu ini?” tanya Bu Elsa, nada suaranya tenang namun penuh tekanan.
Rendi menggaruk tengkuknya, tak sanggup menjawab. Ia tahu jawabannya, lima kali. Bahkan hari ini ia datang nyaris satu jam setelah bel masuk.
“Kamu pikir sekolah ini tempat kamu datang sesuka hati? Ibu sudah cukup sabar. Tapi kalau kamu terus begini, Ibu khawatir kamu akan terbiasa dengan sikap tidak bertanggung jawab.” lanjut Bu Elsa
Kemudian Bu Elsa berdiri dari kursinya. Posturnya yang tinggi dan penampilannya yang rapi membuat suasana makin menekan. Meski wajahnya cantik dan tutur katanya halus, ada sorot tajam di matanya yang membuat Rendi berkeringat dingin. Namun di dalam hati, Rendi merasa senang karena bisa berdekatan dengan Bu guru yang cantik dan semok juga montok.
“Ibu tidak mau menghukummu dengan cara lama,” ucapnya sambil menyilangkan tangan.
“Kali ini, kamu harus belajar menghargai waktu.”
“Iya, Bu. Aku salah. Tapi...” Rendi menegakkan tubuh.
“Tidak ada tapi. Hukumanmu hari ini, kamu harus berdiri di lapangan basket, menghadap tiang bendera, dan hormat hingga bel pulang berbunyi. Berdiri dengan benar, tanpa duduk, tanpa istirahat. Ini bukan untuk mempermalukanmu, tapi untuk menyadarkan kamu bahwa disiplin itu penting.”
Rendi menelan ludah. Matahari di luar sangat terik. Tapi melihat kesungguhan di wajah Bu Elsa, ia tahu tak ada ruang untuk protes.
“Saya paham, Bu,” ucapnya pelan.
“Bagus. Ibu harap ini jadi yang terakhir kalinya kamu datang terlambat," balas Bu Elsa, tersenyum tipis.
Rendi pun berjalan ke lapangan, sementara dari balik jendela ruang guru, Bu Elsa memperhatikannya. Ada kekhawatiran di matanya, tapi juga harapan bahwa anak itu akan berubah.
Matahari siang menggantung tinggi, menebar panas yang menyengat kulit. Di tengah lapangan basket yang kosong, Rendi berdiri tegak menghadap tiang bendera, tangan kanannya terangkat hormat. Keringat membasahi dahinya, mengalir turun ke leher dan punggungnya yang sudah basah kuyup oleh panas.
Beberapa siswa yang lewat ke kantin atau menuju kelas tertawa dan menunjuk ke arahnya.
“Wah, Rendi jadi patung bendera!”
“Hormat terus, komandan!”
“Jangan lupa napas, Ren!”
"Air.. air... Haha..."
Mendengar suara teman-temannya Rendi menggertakkan gigi, menahan amarah yang mendidih di dadanya. Wajah Bu Elsa terbayang jelas di kepalanya, tatapan tegas itu, suara lembut yang memerintah tanpa bisa dibantah.
“Kenapa sih harus sekeras ini? Untung aja dia cantik, semok dan aku suka. Jadi gak apa-apa aku lakukan ini, yang penting aku bisa deket sama dia,” pikirnya
Namun, dia tahu benar. Semua ini bukan soal malu, tapi soal harga dirinya. Kalau dia menyerah sekarang, Bu Elsa akan menganggapnya tak sanggup menerima konsekuensi. Dan itu yang tidak bisa ia terima.
Sementara itu, dari balik kaca jendela ruang kelas, Bu Elsa sedang mengajar. Di tangannya ada spidol, di papan tulis tertulis materi pelajaran. Tapi sesekali, matanya melirik keluar. Ia melihat Rendi yang tetap berdiri tegak di bawah sengatan matahari.
Dia tahu ini berat. Tapi dia juga tahu, Rendi adalah anak cerdas yang keras kepala. Kadang, didikan lembut saja tak cukup untuk membuat anak seperti Rendi mengerti.
**
Waktu berlalu. Bel sekolah akhirnya berbunyi, menandakan pelajaran telah selesai. Suara siswa-siswa bersorak riang, bersiap pulang. Namun tidak untuk Rendi.
Bu Elsa kembali duduk di ruangannya. Tak lama kemudian, pintu diketuk.
“Masuk,” ucap Bu Elsa dengan suaranya yang khas.
Lalu Rendi kemudian masuk dengan seragam yang kusut dan basah karena keringat. Wajahnya merah karena panas dan lelah, tapi sorot matanya tetap tajam. Ia menatap Bu Elsa, tak berkata apa-apa.
“Duduklah, Ren.” Bu Elsa tersenyum kecil
Namun, Rendi tetap berdiri saja.
“Bu, kalau ini soal hukuman, aku sudah selesai. Kalau Ibu mau marahin aku lagi, silakan. Tapi jujur aja, Bu. Aku nggak suka dipermalukan di depan teman-teman.”
Bu Elsa menghela napas.
“Rendi. Ibu tidak berniat mempermalukan kamu. Tapi kamu perlu belajar, bahwa disiplin itu penting!"
Rendi mengalihkan pandangan dan diam.
“Ibu tahu kamu pintar. Tapi kepintaran tanpa disiplin hanya akan membuatmu jadi beban, bukan pemimpin. Paham kamu?!"
Suara Bu Elsa tetap tenang, tapi tegas. Kata-katanya menusuk, bukan karena keras, tapi karena benar. Meski ada emosi di dalam hatinya, tetapi entah kenapa Rendi justru semakin suka berlama-lama di dekat Bu Elsa. Matanya sesekali melihat ke bagian dada Bu Elsa yang memang tampak kerat dan besar.
Setelah beberapa saat, Rendi akhirnya bicara pelan.
“Aku ngerti, Bu. Mungkin aku memang perlu diingetin dengan cara seperti ini.”
Bu Elsa tersenyum. Kali ini lebih hangat.
“Besok datang lebih pagi yah? Ibu ingin lihat kamu jadi contoh, bukan sekadar murid yang duduk di bangku belakang dan datang telat.”
“Baik, Bu.” Rendi mengangguk.
Pada sat seperti itu, Bu Elsa sepertinya menyadari pergerakan mata muridnya itu yang sesekali tertuju pada area dadanya.
"Hmm, Rendi. Kalo ibu ngomong lihat sini, kamu tuh lihatin apa?" tegur Bu Elsa. Tapi nada suaranya pelan.
"Owh iya, Bu. Maaf ... Besar yah, Bu," ucap Rendi seolah tidak sadar mengatakan itu. Dia pun buru-buru menutup mulutnya.
"Apa? Kamu bilang apa tadi? Apa yang besar, Ren?" Bu Elsa mendekatkan wajahnya, ada senyuman di bibirnya meski nada suaranya terdengar menekan.
Saat itu Rendi hanya menundukkan kepalanya.
"Enggak, Bu. Gak ada kok, aku salah bilang tadi," jawab Rendi mencoba mengalihkan pertanyaan Bu gurunya.
Di situ Bu Elsa tertawa pelan, wangi parfumnya begitu tercium harum. Dia seolah sengaja mendekatkan tubuhnya pada Rendi, sehingga mata Rendi seperti susah untuk diajak kompromi, dalam situasi seperti itu pun, matanya masih sesekali melihat ke arah gunukan gunung kembar Bu Elsa yang ada di balik bajunya yang terlihat begitu besar.
"Busset, bener-bener gede nih tetek. Duh... Mana wangi banget nih orang," ucap Rendi dalam hatinya.
Tiba-tiba Bu Elsa kembali melayang pertanyaan yang sama, dia sepertinya ingin tahu betul apa yang dikatakan oleh Rendi.
"Rendi, jawab! Kamu tadi bilang besar, apa yang besar?"
"Eh, bukan besar, Bu. Maksudku berat. Hukumanya berat gitu." Rendi berusaha berdalih.
"Hmm... Ibu tau kok, apa yang sebenarnya kamu maksud," ucap Bu Elsa. Suaranya pelan dan nyaris seperti berbisik.
Deg! Deg! Deg!
Degup jantung Rendi semakin tidak karuan, berlebih lagi ketika Bu Elsa bicara seperti itu. Dia takut jika akan mendapatkan hukuman yang lebih berat atau bahkan dilaporkan pada orang tuanya. Namun yang membuat Rendi heran, Bu Elsa justru seperti sengaja menggoda.
"Yang kamu maksud tadi. Ini kan?" Bu Elsa lebih dekat menyodorkan buah dadanya yang besar itu dengan suara yang terdengar manja.
Meski tertutup bajunya yang rapih, namun gunukan daging kenyal itu jelas dan begitu ketat. Sontak saja, Rendi kaget mendengar perkataan Bu Elsa, dia coba mengalihkan pandanganya karena masih ada ketakutan akan mendapatkan hukuman atau bahkan dilaporkan.
"Sumpah, Bu. Bukan itu maksudnya," ucap Rendi sambil memalingkan wajahnya.
"Rendi... Lihat sini. Kamu tidak usah takut. Ibu minta kamu jujur aja, yang tadi kamu bilang besar itu. Maksudnya tetek ibu kan?" Tangan Bu Elsa yang lembut mencoba membuat Rendi kembali menatapnya.
*****
