tengah badai
Hari-hari setelah perbincangan penting itu terasa lebih tenang bagi Arga dan Shara. Mereka mulai merasa lebih nyaman satu sama lain, menjalani hubungan mereka dengan penuh pengertian. Walaupun masih ada ketegangan di antara mereka, keduanya tahu bahwa mereka sedang berusaha untuk saling memahami. Namun, seiring berjalannya waktu, bayang-bayang masa lalu mulai kembali menghantui mereka.
Shara merasa ada sesuatu yang belum bisa ia ungkapkan sepenuhnya kepada Arga. Sebuah bagian dari dirinya yang ia sembunyikan selama ini, sesuatu yang berkaitan dengan keluarganya—dengan ayahnya yang tak pernah benar-benar ada untuknya. Shara tumbuh dalam bayang-bayang perasaan kesepian, dan meskipun ia merasa diterima oleh Arga, kadang-kadang ada rasa cemas yang mengganggunya.
Satu malam, setelah mereka menghabiskan waktu bersama di taman seperti biasa, Shara merasa ada sesuatu yang perlu ia bicarakan. Ia menunggu saat yang tepat untuk berbicara, namun semakin lama, semakin ia merasa bahwa perasaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.
“Arga…” Shara memulai, suaranya pelan namun serius. “Aku perlu menceritakan sesuatu. Sesuatu yang… mungkin kamu belum tahu.”
Arga menoleh, wajahnya tampak serius. “Kamu bisa cerita apa saja padaku, Shara. Apa pun itu.”
Shara menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku… aku nggak selalu punya kehidupan yang mudah, Arga. Keluargaku nggak seperti yang kamu kira. Ayahku, dia… dia nggak pernah ada untukku. Sejak kecil, aku sering merasa kesepian. Dia lebih memilih bekerja, dan aku merasa nggak ada tempat untukku di rumah.”
Arga menatap Shara, merasa ada berat yang sedang dipikul oleh gadis itu. Ia meraih tangan Shara, menggenggamnya erat. “Aku nggak tahu harus berkata apa, tapi aku bisa merasakan betapa sulitnya itu. Kamu nggak sendirian, Shara. Aku ada di sini, kamu tahu itu, kan?”
Shara menatap Arga, matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku cuma… aku cuma takut kalau hubungan kita jadi semakin rumit. Aku takut kalau aku nggak bisa memberikan apa yang kamu butuhkan, Arga. Aku takut kalau perasaan ini nggak akan cukup.”
Arga menggeleng, tidak setuju dengan perasaan Shara. “Shara, hubungan kita bukan tentang memberi atau menerima hal yang sempurna. Kita nggak perlu menjadi orang yang sempurna. Kita cuma perlu saling menerima kekurangan satu sama lain dan mendukung apapun yang terjadi. Aku nggak butuh sesuatu yang sempurna, aku cuma butuh kamu.”
Shara terdiam, mencoba mencerna kata-kata Arga. Meskipun ada banyak luka di masa lalunya, mendengar kata-kata itu membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa Arga benar. Mungkin hubungan mereka tidak sempurna, namun selama mereka saling mendukung, itu sudah cukup.
“Terima kasih, Arga,” katanya pelan, suaranya penuh dengan rasa terima kasih. “Aku cuma perlu merasa diterima, dan kamu sudah memberikan itu padaku.”
Malam itu, mereka duduk bersama lebih lama dari biasanya. Tidak ada kata-kata besar, hanya kehadiran mereka satu sama lain. Arga memandang Shara, merasa hatinya penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Di tengah semua ketidakpastian dan kekhawatiran, mereka berdua masih bisa saling percaya.
Namun, meskipun mereka merasa lebih dekat satu sama lain, Arga juga merasakan adanya beban di dalam dirinya yang belum ia ungkapkan kepada Shara. Di luar hubungan mereka yang mulai berkembang, Arga juga harus menghadapi realitas yang lebih rumit. Teman-teman di sekolah mulai memperhatikan hubungan mereka, dan ada tekanan dari berbagai sisi yang membuat Arga merasa semakin tertekan.
Pagi-pagi setelah perbincangan malam itu, Arga terbangun dengan perasaan cemas. Ia tahu bahwa hubungan mereka sedang berjalan dengan baik, tetapi di dalam dirinya ada sesuatu yang mengganggu. Hubungannya dengan Shara semakin kuat, namun ia harus menghadapi kenyataan bahwa dunia di luar hubungan mereka tidak selalu ramah. Teman-teman, terutama Faisal, sahabatnya yang selalu berada di sampingnya, mulai bertanya-tanya tentang hubungan Arga dan Shara.
Saat mereka sedang makan siang di kantin sekolah, Faisal duduk di sebelah Arga dengan ekspresi yang tidak bisa disembunyikan.
“Jadi, kamu serius sama Shara?” tanya Faisal, suaranya terdengar penasaran namun sedikit mencemaskan.
Arga menatap Faisal, mencoba menahan kegugupan di dalam dirinya. “Ya, aku serius, Fais. Kenapa?”
Faisal mengangkat alisnya, terlihat tidak yakin. “Kamu tahu kan kalau hubungan kamu dengan Shara bisa mengubah banyak hal? Orang-orang mulai membicarakan kalian berdua. Kalau sampai ada masalah, kamu yang akan susah.”
Arga menarik napas dalam, merasa beban yang ia rasakan semakin berat. “Aku tahu, Fais. Tapi ini bukan soal orang lain. Ini soal aku dan Shara. Aku nggak peduli apa yang orang lain pikirkan, yang penting kita bahagia.”
Faisal menggelengkan kepala, tampak kecewa. “Kamu nggak paham, Arga. Kita hidup di dunia yang nggak semudah itu. Kalian berdua masih muda, dan banyak hal yang bisa terjadi. Aku cuma nggak mau kamu terluka.”
Arga merasa ada rasa sakit di dadanya mendengar kata-kata Faisal. Ia tahu sahabatnya hanya ingin melindunginya, tapi ia juga tahu bahwa hidup tak bisa diprediksi. Dan hubungan dengan Shara adalah salah satu hal yang ingin ia perjuangkan, apapun yang terjadi.
“Aku paham apa yang kamu maksud,” jawab Arga pelan. “Tapi, aku ingin mencoba, Fais. Aku ingin ini berhasil. Aku nggak akan mundur begitu saja.”
Faisal terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Oke, kalau itu yang kamu inginkan. Tapi kamu harus siap dengan segala konsekuensinya.”
Arga mengangguk perlahan, merasa hatinya semakin berat. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari kenyataan. Hubungannya dengan Shara memang indah, tapi di dunia yang penuh dengan tekanan, mereka berdua harus siap menghadapi apapun yang datang.
Malam itu, Arga kembali bertemu dengan Shara di taman sekolah. Ia tahu, saat-saat seperti ini adalah yang paling berharga—mereka hanya berdua, jauh dari pandangan orang lain, dan bebas untuk berbicara tentang apapun.
“Shara,” Arga memulai, “aku ingin kita terus berjuang bersama. Aku nggak peduli apa yang orang lain katakan, aku cuma ingin kita bisa melewati semua ini, apapun yang terjadi.”
Shara menatapnya, matanya penuh dengan keyakinan. “Aku juga, Arga. Aku ingin kita tetap berjalan bersama.”
Dan malam itu, mereka saling berjanji untuk terus berjalan di jalan yang penuh dengan ketidakpastian, namun yakin bahwa selama mereka bersama, mereka bisa menghadapi apapun yang datang.
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Hubungan Arga dan Shara semakin erat, meskipun tantangan terus berdatangan. Dunia mereka terasa seperti sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan rintangan, namun setiap rintangan itu mengajarkan mereka sesuatu yang baru tentang satu sama lain. Mereka belajar untuk saling menguatkan, meskipun kadang perasaan takut dan keraguan tetap hadir.
Satu pagi, setelah liburan panjang, Arga dan Shara kembali bertemu di sekolah dengan semangat yang baru. Namun, tidak lama setelah mereka tiba di kelas, Arga merasakan ada sesuatu yang berbeda. Beberapa teman-temannya mulai berbisik di belakang, menatapnya dengan tatapan yang sulit ia tafsirkan.
Di jam istirahat, Faisal mendekati Arga, wajahnya serius. “Arga, kamu harus hati-hati. Ada rumor yang mulai berkembang tentang kamu dan Shara. Mereka bilang hubungan kalian hanya sekedar untuk mencari perhatian. Ada yang nggak suka, dan itu bisa merugikan kalian berdua.”
“Rumor apa lagi ini?” tanya Arga, suaranya tertekan.
Faisal menggelengkan kepala, wajahnya tampak cemas. “Aku nggak tahu pasti, tapi ada beberapa orang yang mulai memperkatakan hubungan kalian. Dan kamu tahu kan, kalau ada yang nggak suka, mereka bisa saja mulai membuat masalah.”
Arga merasa perasaan gelisah mulai menguasai dirinya. Ia tahu bahwa di dunia yang penuh dengan spekulasi ini, tak ada yang lebih menakutkan daripada rumor yang bisa merusak hubungan mereka. Namun, ia juga tahu bahwa ia tak bisa mundur. Ia sudah berkomitmen untuk berjuang bersama Shara, apapun yang terjadi.
“Mungkin kita bisa tetap tenang dulu,” kata Arga akhirnya, menahan rasa cemas yang mulai menguasainya. “Aku akan bicara dengan Shara.”
Setelah sekolah berakhir, Arga menemui Shara di tempat yang sama di taman sekolah. Shara tampak gelisah, seolah bisa merasakan ada yang tidak beres.
“Ada apa, Arga? Kamu kelihatan cemas,” kata Shara, khawatir melihat ekspresi wajah Arga.
Arga duduk di sampingnya, menghela napas panjang. “Rumor mulai beredar tentang kita, Shara. Beberapa orang mulai memperkatakan hubungan kita. Mereka bilang kita hanya mencari perhatian. Aku nggak tahu harus bagaimana menghadapi ini.”
Shara terdiam, wajahnya terlihat bingung dan terluka. “Kenapa mereka harus melakukan itu? Apa mereka nggak tahu betapa pentingnya hubungan kita?”
Arga memandang Shara dengan penuh pengertian. Ia tahu betapa sulitnya bagi Shara untuk menerima kenyataan ini. Namun, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa dunia luar tidak selalu ramah terhadap mereka.
“Kita nggak bisa mengontrol apa yang orang lain pikirkan, Shara. Tapi yang terpenting adalah kita tahu apa yang kita inginkan. Kita nggak bisa biarkan rumor merusak apa yang kita punya,” kata Arga dengan tegas.
Shara menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Aku takut, Arga. Aku takut kalau ini benar-benar merusak hubungan kita. Apa yang harus kita lakukan?”
Arga menggenggam tangan Shara, memberikan kehangatan yang ia harapkan bisa menenangkan. “Shara, kita sudah berjanji untuk menghadapi apapun bersama. Rumor itu hanya akan kuat jika kita membiarkannya menguasai kita. Kita harus tetap teguh, terus berjalan bersama, dan biarkan apa yang orang lain katakan tidak mempengaruhi kita.”
Shara memandang Arga dengan mata penuh keyakinan, meskipun ia merasa hatinya terbeban. Ia tahu Arga benar. Mereka tidak bisa membiarkan orang lain menentukan arah hubungan mereka. Meskipun jalan yang mereka pilih tidak mudah, ia yakin mereka bisa melewatinya.
“Kamu benar, Arga,” jawab Shara, suaranya mulai lebih mantap. “Kita harus lebih kuat dari ini. Kita nggak bisa biarkan orang lain merusak apa yang kita bangun.”
Mereka saling tersenyum, meskipun rasa cemas masih menggelayuti hati mereka. Arga dan Shara tahu bahwa hubungan ini tidak akan mudah. Namun, mereka berdua sudah memilih untuk melangkah bersama. Tidak peduli apa yang orang lain katakan, mereka akan tetap berdiri bersama, berjuang untuk menjaga apa yang telah mereka bangun.
