Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

jalan yang salah

Hari-hari setelah pengakuan perasaan itu terasa berbeda. Arga dan Shara kini menjalani hubungan mereka dengan cara yang lebih intim, meskipun tidak selalu terbuka di depan teman-teman mereka. Mereka mulai merasakan kenyamanan yang baru, sebuah kedekatan yang tumbuh tanpa perlu banyak kata-kata. Setiap kali mereka bersama, dunia di sekitar mereka seakan menghilang, hanya ada keduanya dalam ruang yang penuh dengan ketenangan dan kehangatan.

Namun, meskipun hubungan mereka berkembang dengan cara yang indah, ada perasaan yang tidak bisa mereka hindari—rasa takut yang perlahan mulai menyusup. Rasa takut akan perubahan, ketakutan akan apa yang akan terjadi jika dunia mereka, yang selama ini sederhana, mulai terguncang.

Pada suatu sore, mereka duduk di bawah pohon besar di taman sekolah, tempat yang sering mereka kunjungi. Angin sepoi-sepoi berhembus, membuat dedaunan bergoyang pelan, dan di sana mereka duduk berdampingan, saling berbagi senyuman.

“Arga,” Shara memulai pembicaraan, suara lembutnya menyiratkan keraguan. “Kamu merasa ini semua terlalu cepat, nggak? Aku nggak tahu… aku takut kalau kita nggak siap.”

Arga menoleh, matanya penuh perhatian. “Apa maksudmu? Kita selalu berbicara tentang ini, kan? Kita saling percaya, kita bisa menghadapi apa pun.”

Shara menggigit bibir, memandang ke tanah sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang bisa menjelaskan apa yang ia rasakan. “Aku… aku hanya takut, Arga. Takut kalau hubungan kita akan mengubah segalanya, dan aku nggak tahu apakah kita siap untuk itu. Aku nggak ingin kehilangan apa yang sudah kita punya sekarang.”

Arga menghela napas panjang. Ia bisa merasakan kekhawatiran yang ada dalam diri Shara. Memang, hubungan mereka terasa baru dan penuh dengan ketidakpastian. Namun, ada satu hal yang ia yakini—ia ingin berada di sisi Shara, menjalani perjalanan ini bersama-sama.

“Shara, aku paham kalau kamu merasa seperti itu. Tapi kita nggak bisa menghindari kenyataan bahwa hidup terus berjalan. Kita nggak bisa terus terjebak di zona nyaman kita. Kalau kita saling percaya dan berusaha, kita pasti bisa menghadapinya,” ujar Arga, suara penuh keyakinan. “Aku ingin berjuang bareng kamu. Kita nggak akan tahu apa yang akan terjadi kalau kita nggak mencobanya, kan?”

Shara menatap Arga, merasakan ketulusan yang terpancar dari matanya. Mungkin, selama ini ia terlalu takut untuk menghadapi perasaan ini, terlalu ragu untuk benar-benar mempercayai bahwa segala sesuatu bisa berjalan dengan baik. Tapi kata-kata Arga membangkitkan semangat dalam dirinya. Mungkin ia perlu berhenti takut dan mulai mempercayai bahwa mereka bisa melewati semuanya bersama.

“Aku juga ingin berjuang, Arga,” jawab Shara, matanya mulai bersinar. “Tapi aku hanya… nggak ingin merusak apa yang sudah kita bangun.”

Arga tersenyum lembut, menatapnya dengan penuh pengertian. “Jangan khawatir. Kita berdua akan menjaga apa yang kita punya. Kita hanya perlu terus berjalan bersama, langkah demi langkah.”

Di saat itu, Arga meraih tangan Shara dan menggenggamnya dengan erat. Shara merasa hangat, dan jantungnya berdegup lebih cepat. Meskipun perjalanan ini penuh dengan ketidakpastian, ia merasa lebih yakin dari sebelumnya. Selama mereka bersama, mereka bisa menghadapi apa pun yang datang.

“Arga…” Shara mulai berbicara, suaranya sedikit tergetar. “Aku senang kamu ada di sini. Aku nggak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Aku takut, tapi aku juga nggak ingin kehilangan ini.”

Arga memandang Shara dengan penuh kehangatan, matanya lembut. “Kamu nggak akan kehilangan aku, Shara. Aku janji, aku akan selalu ada di sini.”

Mereka duduk berdua, menyusuri keheningan taman yang damai. Di dunia yang penuh dengan kebingungan dan tekanan, mereka menemukan kenyamanan di dalam kebersamaan. Walaupun dunia luar terus berputar, mereka tahu bahwa selama mereka saling memegang tangan, mereka tak akan pernah terpisah.

Namun, kenyataan tak selalu sesederhana itu. Kehidupan di luar hubungan mereka tetap penuh tantangan. Arga masih harus menghadapi tekanan dari teman-temannya, yang mulai menebak-nebak tentang hubungannya dengan Shara. Sementara itu, Shara juga harus menghadapi rasa cemas yang datang dari dalam dirinya sendiri, ketakutan bahwa hubungan mereka mungkin tak akan bertahan lama.

Suatu sore, setelah latihan basket yang melelahkan, Arga duduk di pojokan ruang ganti, mengusap wajahnya dengan tangan. Hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Ia merasa ada banyak hal yang harus ia hadapi, baik di sekolah maupun dalam dirinya sendiri. Ketegangan antara perasaan dan kenyataan mulai menekan dadanya.

Saat itu, telepon di saku Arga bergetar. Ia menariknya keluar dan melihat nama Shara tertera di layar.

“Halo?” jawab Arga, suaranya sedikit lelah.

“Arga, kita perlu bicara,” suara Shara terdengar serius. “Ada sesuatu yang aku pikirkan. Bisa kita bertemu di tempat biasa?”

Arga terdiam, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam nada suara Shara. “Tentu, aku akan ke sana sekarang.”

Arga melangkah keluar dari ruang ganti, perasaan cemas mulai menghantuinya. Apa yang sedang terjadi? Apa yang Shara ingin bicarakan? Ia tak tahu, tapi yang pasti, ia harus siap untuk apapun yang akan datang.

----

Arga berjalan cepat menuju taman sekolah, tempat yang sudah menjadi tempat favorit mereka. Langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Perasaan cemas yang menggelayuti dadanya tak bisa ia hilangkan. Apa yang ingin Shara bicarakan? Ia berpikir banyak hal—apakah Shara merasa hubungan ini terlalu berat? Atau ada hal lain yang mengganggunya?

Sesampainya di taman, Arga melihat Shara sudah duduk di bangku yang biasa mereka gunakan. Wajah Shara tampak lebih serius dari biasanya, dan itu membuat Arga semakin khawatir. Ia duduk di sampingnya, mencoba tersenyum meski perasaan di dalam dirinya semakin kacau.

“Shara, ada apa? Kamu kelihatan nggak biasa,” tanya Arga, mencoba membuka percakapan dengan lembut.

Shara menatapnya sejenak, lalu menunduk, menarik napas panjang. Ia tampak ragu, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” katanya, suara sedikit bergetar. “Tapi aku rasa kita perlu bicara tentang kita, Arga. Tentang hubungan ini.”

Jantung Arga berdegup lebih cepat. “Shara, jika kamu merasa hubungan ini terlalu cepat atau ada yang salah, kita bisa bicara. Aku nggak akan memaksakan apapun.”

Shara menggeleng pelan. “Bukan itu, Arga. Aku… aku merasa hubungan ini semakin berat, bukan karena kita nggak saling percaya atau apa, tapi karena aku takut kamu merasa tertekan dengan semua ini. Aku takut kita nggak siap menghadapi semuanya.”

Arga terdiam, mencoba mencerna kata-kata Shara. Ia tahu Shara merasa cemas, namun ia tak ingin hubungan mereka berakhir hanya karena ketakutan. “Shara, aku nggak merasa tertekan. Aku memang nggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu aku ingin melaluinya bersamamu. Aku ingin kita berjuang bersama.”

Shara menatapnya, matanya penuh keraguan. “Tapi aku merasa aku semakin menarik kamu ke dalam masalah yang mungkin nggak bisa kamu selesaikan. Aku terlalu banyak memiliki beban, Arga. Aku… aku nggak mau kamu merasa kesulitan hanya karena aku.”

Arga meraih tangan Shara dengan lembut, menggenggamnya erat. “Kita semua punya beban, Shara. Aku nggak akan lari hanya karena itu. Aku ada di sini, dan aku akan selalu ada, nggak peduli apa pun yang terjadi. Jadi jangan khawatir tentang itu.”

Namun, meskipun kata-kata Arga terdengar penuh keyakinan, Shara bisa merasakan kekhawatiran yang terpendam di dalam dirinya. Ia tahu betul betapa sulitnya menjalani hubungan ini, apalagi dengan segala keraguan yang ada dalam dirinya. Meskipun Arga tampak tegar, Shara bisa merasakan betapa beratnya beban yang ia pikul dalam diam.

“Aku… aku nggak tahu bagaimana kalau semuanya semakin rumit,” kata Shara pelan. “Aku takut, Arga. Aku takut kalau hubungan ini akan mengubah segalanya, dan aku nggak siap untuk itu.”

Arga menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa apa yang Shara rasakan adalah ketakutan yang wajar. Tetapi, dia juga tahu bahwa mereka tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan ini. Mungkin perjalanan mereka tidak akan mudah, tapi ia yakin mereka bisa menghadapi segalanya jika bersama.

“Kita nggak bisa hidup hanya dengan rasa takut, Shara,” kata Arga dengan lembut, namun penuh ketegasan. “Kita nggak akan tahu apa yang terjadi kalau kita nggak mencoba. Aku percaya sama kita, sama hubungan ini. Aku tahu kita bisa melalui semuanya, asal kita saling mendukung.”

Shara menatap Arga, merasa hati kecilnya mulai mereda. Mungkin Arga benar. Mungkin, jika mereka berdua saling mendukung, mereka bisa menghadapi semua ketakutan itu bersama. Ini bukan hanya tentang mereka berdua—ini tentang bagaimana mereka bisa saling menguatkan untuk melewati segala halangan yang ada di depan.

“Aku takut, tapi aku juga ingin mencoba, Arga,” kata Shara, suara semakin tegas. “Aku nggak mau kehilangan apa yang sudah kita punya, dan aku nggak mau hidup dengan ketakutan selamanya. Jadi, ayo kita coba. Kita hadapi semuanya bersama.”

Arga tersenyum, lega mendengar kata-kata Shara. Ia menggenggam tangan Shara lebih erat, merasakan bahwa mereka sedang berada di titik yang sama. Titik di mana ketakutan mereka mulai digantikan dengan keberanian.

“Aku janji, kita nggak akan pernah berhenti berjuang, Shara,” jawab Arga, matanya penuh keyakinan. “Kita akan melalui segala halangan ini bersama. Apa pun yang terjadi, aku akan ada di sampingmu.”

Mereka duduk berdua, saling berpegangan tangan, membiarkan keheningan itu mengalir di antara mereka. Malam semakin larut, namun tak ada satu pun di antara mereka yang ingin pergi. Dunia mereka mungkin tak sempurna, dan masa depan mungkin penuh dengan ketidakpastian. Namun, di bawah langit yang dihiasi bintang-bintang, mereka tahu bahwa selama mereka bersama, apapun yang datang, mereka akan menghadapinya dengan hati yang teguh.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel