pertarungan cinta
Keesokan harinya, saat mereka berjalan menuju kelas, Arga dan Shara merasakan perubahan kecil di sekolah. Beberapa teman mulai memandang mereka dengan lebih serius, meskipun masih ada bisikan-bisikan yang tidak mereka dengar. Namun, mereka berdua sudah tidak peduli lagi. Mereka tahu bahwa dunia luar tidak akan menentukan kebahagiaan mereka.
Hari demi hari berlalu, dan meskipun tekanan dari luar semakin terasa, hubungan Arga dan Shara tetap bertahan. Mereka mulai lebih fokus pada apa yang mereka miliki, bukan pada apa yang orang lain pikirkan. Mereka belajar untuk lebih saling mendukung, menguatkan satu sama lain, dan menghadapinya bersama.
Namun, meskipun hubungan mereka semakin kuat, ada satu hal yang mulai mengganggu pikiran Shara. Ia merasa ada sesuatu yang belum ia ungkapkan kepada Arga, sebuah perasaan yang ia pendam jauh di dalam hatinya. Shara tahu bahwa ia harus berbicara tentang hal itu, tapi ia tidak tahu bagaimana caranya.
Suatu malam, ketika mereka duduk di bangku taman yang biasa mereka kunjungi, Shara akhirnya memutuskan untuk membuka diri. “Arga, ada hal yang aku belum ceritakan padamu. Aku… aku takut kalau aku nggak cukup baik untuk kamu. Aku takut kalau suatu saat nanti kamu akan merasa kecewa dengan aku.”
Arga menatap Shara, matanya penuh perhatian. “Shara, kamu nggak perlu khawatir. Kamu nggak akan pernah mengecewakan aku. Kita ini tim, ingat? Selama kita saling mendukung, nggak ada yang bisa membuat kita terpisah.”
Shara merasa lega mendengar kata-kata Arga, namun di dalam hatinya, ia tahu masih ada banyak hal yang harus ia hadapi. Dan meskipun mereka sudah berjanji untuk tetap bersama, dunia ini penuh dengan ketidakpastian. Namun, satu hal yang pasti—selama mereka saling memiliki, mereka bisa menghadapi apapun yang datang.
---
Hari-hari di sekolah semakin sulit. Meskipun Arga dan Shara berusaha untuk tetap tenang, tekanan dari lingkungan sekitar semakin besar. Beberapa teman mulai menjauh, sementara yang lain mulai mencoba untuk mencampuri hubungan mereka. Rumor-rumor tentang hubungan mereka yang penuh kontroversi semakin berkembang. Setiap tatapan yang mereka terima semakin terasa seperti beban. Namun, mereka berdua tahu, untuk melawan semua itu, mereka harus tetap bersama.
Pada suatu sore, saat jam istirahat, Arga dan Shara duduk di bangku taman yang sepi. Mereka berdua merasa aman di tempat ini, jauh dari bisikan dan tatapan orang-orang. Namun, ada sebuah ketegangan yang tak bisa disembunyikan dari wajah mereka.
“Arga,” kata Shara pelan, suaranya penuh dengan keraguan. “Aku merasa semakin sulit untuk bertahan dengan semua ini. Setiap hari ada saja orang yang berusaha mengganggu kita. Rasanya kita nggak punya tempat yang aman.”
Arga menggenggam tangan Shara, berusaha memberikan ketenangan. “Shara, kita sudah melalui banyak hal bersama, dan ini bukan akhir dari perjalanan kita. Kita hanya perlu lebih kuat. Rumor itu hanya sementara, yang penting kita tahu apa yang kita inginkan.”
Shara menundukkan kepalanya, merasa cemas. “Tapi, bagaimana jika kita nggak bisa bertahan? Bagaimana jika suatu saat nanti kita mulai saling menjauh? Aku takut, Arga.”
Arga menarik napas panjang, mencoba meredakan kecemasannya sendiri. “Aku juga takut, Shara. Tapi aku percaya pada kita. Aku nggak ingin menyerah begitu saja. Kita harus melawan ini bersama. Kita harus percaya pada cinta yang kita punya.”
Shara menatap Arga dengan mata yang penuh keraguan, namun ada secercah harapan di dalamnya. “Aku ingin percaya itu. Aku ingin kita tetap bersama, Arga.”
Namun, perasaan Shara tidak sepenuhnya tenang. Ia tahu bahwa perjuangan mereka tidak akan mudah. Ada begitu banyak faktor yang bisa merusak hubungan mereka. Bahkan orang-orang terdekat mulai memberi tekanan, mempersoalkan keputusan mereka untuk tetap bersama.
Hari-hari di sekolah semakin tidak nyaman. Faisal, yang selama ini menjadi sahabat Arga, mulai bertanya-tanya apakah hubungan ini benar-benar sehat untuk Arga. Ia khawatir jika semua tekanan ini akan membawa Arga pada pilihan yang salah.
Suatu sore, Faisal mengundang Arga untuk berbicara di luar sekolah, di sebuah kafe kecil yang sering mereka kunjungi. Faisal tampak serius, wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
“Arga, aku cuma mau kamu tahu kalau aku peduli sama kamu. Kamu nggak bisa terus-menerus menahan semuanya sendirian. Aku nggak ingin kamu jadi korban dari hubungan ini,” kata Faisal, suaranya lembut namun penuh tekanan.
Arga menatap Faisal, merasa sakit hati mendengar kata-kata itu. “Faisal, aku paham apa yang kamu maksud, tapi ini bukan tentang aku atau Shara, ini tentang apa yang kami rasakan. Aku nggak bisa mundur sekarang. Kami sudah berjanji untuk berjuang.”
Faisal menundukkan kepalanya, tidak bisa berkata apa-apa. “Aku cuma nggak ingin kamu menyesal, Arga. Aku tahu kamu baik-baik saja sekarang, tapi aku takut kalau ada sesuatu yang buruk terjadi.”
Arga terdiam, merasa bingung dan terluka. Ia tahu bahwa Faisal hanya ingin melindunginya, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah pilihan hidupnya. Ia tidak bisa terus hidup di bawah bayang-bayang kekhawatiran orang lain.
“Kita harus membuat pilihan kita sendiri, Faisal. Aku nggak bisa terus hidup dalam ketakutan. Aku tahu ada risiko, tapi aku harus memilih, dan aku memilih Shara,” kata Arga dengan suara yang penuh keyakinan.
Faisal mengangguk perlahan, walaupun ekspresinya menunjukkan rasa kecewa. “Oke, kalau itu yang kamu inginkan. Tapi aku tetap berharap yang terbaik untuk kamu.”
Ketika Arga pulang ke rumah malam itu, perasaan cemas semakin menghantui dirinya. Meski ia merasa yakin dengan pilihannya, ada bagian dari dirinya yang merasa takut. Takut jika hubungan ini benar-benar akan berakhir buruk. Takut jika akhirnya mereka akan terluka satu sama lain.
Namun, keesokan harinya, ketika Arga bertemu dengan Shara, ia tahu bahwa ia harus tetap kuat. Ia tahu bahwa ini adalah pertaruhan terbesar dalam hidupnya. Jika mereka bertahan, maka mereka akan lebih kuat dari sebelumnya. Jika mereka gagal, maka itu adalah konsekuensi dari keputusan yang telah mereka buat.
“Shara, aku nggak bisa berhenti memperjuangkan kita,” kata Arga, matanya penuh dengan tekad. “Apa pun yang terjadi, aku ingin kita terus berjalan bersama. Kita akan melewati ini bersama, apapun yang orang katakan.”
Shara memandangnya, matanya dipenuhi dengan air mata yang hampir jatuh. “Arga, aku juga ingin itu. Tapi aku takut. Aku takut kita nggak cukup kuat untuk menghadapi semuanya.”
Arga meraih tangan Shara, menggenggamnya erat. “Kita sudah cukup kuat, Shara. Kita punya satu sama lain. Itu yang terpenting. Aku nggak akan pernah menyerah pada kamu.”
Shara menatap Arga dengan penuh harapan. Ia merasa bahwa meskipun mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, mereka berdua memiliki satu hal yang tidak bisa dihancurkan—cinta mereka.
Hari-hari selanjutnya menjadi semakin penuh dengan pertarungan batin. Di luar hubungan mereka, segala sesuatu tampak semakin tidak menentu. Teman-teman mulai menghindari mereka, dan rumor terus berkembang. Namun, Arga dan Shara bertekad untuk tidak membiarkan itu mempengaruhi mereka. Mereka tahu bahwa dunia ini penuh dengan ketidakpastian, tetapi satu hal yang mereka yakini—mereka tidak akan pernah menyerah pada satu sama lain.
Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Arga dan Shara berdiri bersama, memandang langit yang indah.
“Apapun yang terjadi, aku janji akan selalu ada untukmu,” kata Arga, suaranya penuh dengan keyakinan.
Shara menatapnya, matanya bersinar. “Aku juga janji, Arga. Kita akan melewati semuanya bersama, dengan keadaan apapun, walau ada badai aku tetap ada disismu"
Di bawah bintang yang bersinar, mereka berdua tahu bahwa meskipun perjalanan ini penuh dengan tantangan, mereka akan selalu saling mendukung. Karena cinta mereka lebih kuat dari segala rumor dan rintangan yang datang.
