Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

diujung harapan

Ketika mereka mulai kembali merasakan kedamaian di hati, badai lain datang menguji kekuatan hubungan Arga dan Shara. Di sekolah, sebuah kejadian tak terduga mulai menggerakkan tanah di bawah kaki mereka. Hari itu dimulai seperti hari-hari biasa, dengan matahari yang terik menyinari halaman sekolah, namun langit yang cerah itu segera berganti dengan awan gelap yang mengancam.

Shara baru saja keluar dari ruang kelas ketika ia melihat sekelompok teman-temannya berkumpul di depan kantin, wajah mereka serius dan tampak terkejut. Saat Shara berjalan lebih dekat, ia bisa mendengar sebagian dari percakapan mereka.

“Aku dengar Arga ngelakuin hal yang nggak bener sama Shara,” suara seseorang terdengar jelas di antara kerumunan.

Shara terhenti sejenak, dadanya berdegup kencang. Apa yang mereka katakan? Shara tidak yakin apakah ia harus mendekat atau mundur, tetapi suara itu terdengar begitu jelas, seolah-olah ia sudah tahu ke mana arah rumor itu akan mengarah.

“Serius? Katanya mereka lagi putus, deh. Tapi yang aneh, kok Shara masih diem aja, nggak ngomong apa-apa?” suara lain bergema.

Shara menggigit bibirnya, hatinya terpecah. Ia tahu, sudah pasti ada yang mulai mencoba merusak hubungan mereka lagi. Apakah ini waktunya Arga untuk menghadapi ujian terbesar dalam hidupnya?

Dengan langkah cepat, Shara menuju ke arah kantin dan mencari Arga di antara kerumunan siswa yang mulai berdatangan. Saat matanya bertemu dengan mata Arga, ia melihat ada sesuatu yang berbeda—sebuah ekspresi yang sulit diartikan. Arga, seperti biasa, mencoba menampilkan senyum, namun ada kekhawatiran yang tersembunyi di baliknya.

“Arga, ada apa?” tanya Shara, suara herannya tak bisa disembunyikan. “Kenapa semua orang mulai membicarakan kita?”

Arga memandangnya dengan cemas, raut wajahnya berubah serius. “Shara, aku… aku nggak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Ada seseorang yang menyebarkan berita bohong tentang aku. Mereka bilang aku selingkuh, dan itu membuat orang-orang mulai berpikir kalau hubungan kita nggak serius.”

Shara merasa dunia seperti runtuh seketika. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa orang-orang begitu mudah mempercayai rumor tanpa mencari tahu kebenarannya? Seperti biasa, ia mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.

“Jadi mereka pikir kita bohong tentang semua yang terjadi di antara kita?” tanya Shara dengan suara pelan, namun dipenuhi rasa sakit. “Kenapa, Arga? Kenapa kita selalu jadi sasaran orang lain?”

Arga menarik Shara ke samping, di tempat yang lebih sepi, jauh dari telinga yang ingin mendengarkan. “Aku nggak tahu, Shara. Aku nggak bisa kontrol apa yang orang lain katakan. Tapi yang aku tahu adalah, aku nggak pernah melakukan apa yang mereka tuduhkan. Kamu percaya kan?”

Shara menatapnya dalam-dalam. Meskipun hatinya sakit, ia merasa tidak bisa ragu pada Arga. Ia mengenal Arga lebih dari siapa pun. “Aku percaya kamu, Arga. Tapi ini nggak bisa terus berlanjut seperti ini. Kita harus buktikan kalau hubungan ini nyata.”

Arga mengangguk, memegang tangan Shara dengan erat. “Aku janji, Shara, kita nggak akan biarkan apa pun menghancurkan kita. Aku nggak peduli apa kata mereka. Kita akan buktikan kalau hubungan kita lebih kuat dari sekadar omongan orang.”

Namun, meskipun Arga berusaha untuk tetap tenang, Shara bisa melihat ketegangan yang ada di dalam dirinya. Ia tahu bahwa rumor ini bisa jadi titik balik dari semua yang mereka jalani bersama.

Hari-hari berikutnya terasa semakin sulit. Di setiap sudut sekolah, bisikan tentang mereka semakin menyebar. Di ruang kelas, teman-teman mulai menjauhkan diri. Di kantin, tatapan sinis mulai menggantikan senyuman hangat yang biasa mereka terima. Seakan-akan, semua orang mulai percaya pada kebohongan yang beredar. Semua yang mereka bangun seolah runtuh begitu saja.

Namun, yang membuat Shara semakin bingung adalah perasaan Arga yang tampaknya semakin jauh. Setiap kali mereka berbicara, ada jarak yang tak terkatakan di antara mereka. Arga mulai lebih sering menghindari kontak mata, dan meskipun ia selalu berusaha untuk membuat semuanya baik-baik saja, Shara bisa merasakan kekhawatiran yang terpendam dalam dirinya.

Suatu malam, saat mereka berdua duduk di bangku taman seperti biasa, Shara memutuskan untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. “Arga, aku merasa kamu mulai menjauh. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu jadi seperti ini?”

Arga terdiam lama, matanya menatap kosong ke depan, seolah merenungi pertanyaan Shara. “Aku nggak ingin kamu merasa terbebani, Shara. Aku cuma… aku cuma takut. Takut kalau semuanya akan hancur begitu saja. Aku takut kalau aku nggak bisa melindungi kamu dari semua ini.”

Shara merasa hati herannya bergejolak. Ia menyentuh tangan Arga dengan lembut. “Kita sudah janji untuk tidak menyerah, kan? Kamu nggak bisa terus menghindari masalah ini sendirian, Arga. Kita harus hadapi bersama. Kalau kamu merasa takut, aku akan ada di sini untuk kamu. Jangan pernah ragu untuk berbicara dengan aku.”

Arga menatapnya dengan tatapan yang penuh emosi, namun ada kelegaan di wajahnya. “Aku cuma nggak ingin membuat kamu terluka, Shara. Tapi aku juga nggak bisa kehilanganmu.”

Shara tersenyum lemah, “Kamu nggak akan kehilangan aku. Kita ini tim. Ingat, nggak ada yang bisa memisahkan kita, kecuali kita sendiri yang membiarkan itu terjadi.”

Malam itu, mereka berbicara panjang lebar tentang kekhawatiran dan ketakutan mereka. Tanpa mereka sadari, bintang-bintang yang bersinar di langit malam menyaksikan mereka membuat janji baru—janji untuk tidak pernah menyerah, untuk selalu bersama, dan untuk melawan segala halangan yang datang.

Keesokan harinya, setelah banyak pertimbangan, Arga dan Shara akhirnya memutuskan untuk menghadapi rumor itu secara langsung. Mereka akan berbicara dengan seluruh teman sekelas mereka dan membersihkan nama mereka. Mereka tahu bahwa ini adalah langkah yang berisiko, namun mereka juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri keraguan yang ada di antara mereka dan orang-orang yang mereka cintai.

---

Hari itu, Arga dan Shara berdiri di depan kelas, memandang sekeliling dengan rasa cemas yang tak bisa disembunyikan. Mereka tahu, keputusan untuk berbicara di depan teman-teman mereka adalah langkah yang berani, namun sangat penting. Semua yang mereka hadapi—rumor, tekanan, dan bisikan—harus dihentikan. Mereka harus menunjukkan bahwa cinta mereka adalah nyata, bukan sekadar cerita yang dibuat-buat.

“Shara, kamu siap?” tanya Arga, suara berat namun penuh keteguhan.

Shara menatapnya, mencoba menguatkan diri. “Aku siap, Arga. Kita harus buktikan ini, bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk semua yang mempercayai kita.”

Dengan langkah yang mantap, mereka berdua melangkah ke depan kelas. Beberapa teman-teman mereka sudah duduk di bangku, berbicara dengan bisik-bisik. Ketika Arga dan Shara muncul, suasana seketika menjadi sunyi. Semua mata tertuju pada mereka, seolah menunggu penjelasan yang akan mereka berikan.

Arga menghela napas dalam-dalam, kemudian berbicara dengan suara yang kuat. “Teman-teman, kami datang untuk menjelaskan sesuatu. Kami tahu ada banyak rumor yang beredar tentang kami, tentang hubungan kami. Semua itu adalah kebohongan.”

Shara berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat. “Kita nggak pernah melakukan apa yang orang-orang katakan. Kami hanya ingin hidup bersama dalam damai, tapi sejak berita bohong itu beredar, semuanya berubah. Kami tahu kalian semua mendengar cerita-cerita aneh tentang kita, tapi kami minta kalian percaya, itu nggak benar.”

Seisi kelas terdiam, wajah mereka masih penuh rasa ingin tahu. Ada beberapa yang tampak terkejut, sementara lainnya hanya diam, mencerna apa yang baru saja mereka dengar. Tak satu pun dari mereka mengeluarkan suara, tetapi ada ketegangan yang terasa begitu nyata di udara.

Faisal, yang sejak awal merasa cemas tentang keadaan ini, akhirnya berdiri. Ia memandang Arga dan Shara, lalu berbicara dengan suara pelan namun jelas. “Kalian tahu, aku sempat ragu dengan hubungan ini. Banyak yang bilang kalian cuma berusaha mencari perhatian. Tapi setelah melihat kalian berdua berdiri di sini, aku mulai memahami. Aku tahu kalian berdua tidak seperti yang dikatakan orang.”

Arga dan Shara menatap Faisal dengan rasa terima kasih yang mendalam. Faisal adalah teman yang selalu ada untuk Arga, dan pengakuan ini berarti lebih dari apa pun.

“Terima kasih, Faisal,” kata Arga dengan penuh rasa syukur.

Namun, tidak semua orang dalam kelas begitu mudah menerima penjelasan mereka. Seorang teman yang dikenal keras kepala, Dita, bangkit dari tempat duduknya dengan ekspresi penuh keraguan. “Tapi kenapa sekarang baru mengklarifikasi semuanya? Kenapa kalian nggak lakukan ini lebih cepat?”

Shara menatap Dita dengan tenang, meski ada rasa sakit di matanya. “Kami ingin menjalani hubungan ini dengan cara yang benar, Dita. Kami nggak ingin terburu-buru atau terbawa emosi. Kami butuh waktu untuk memahami perasaan kami. Tapi saat berita bohong itu mulai menyebar, kami merasa kami harus berbicara.”

Dita terdiam, lalu duduk kembali di tempatnya. Mungkin ia tidak sepenuhnya yakin, tetapi penjelasan Arga dan Shara cukup memadai untuk menenangkan sebagian besar teman-teman mereka.

Setelah beberapa detik, suara bisik-bisik perlahan menghilang. Satu per satu, beberapa teman mereka mulai memberikan dukungan. Ada yang mengangguk dengan tanda setuju, ada juga yang memberikan senyum simpul.

“Jadi kalian nggak selingkuh atau apa gitu?” tanya Jovan, teman dekat mereka yang selama ini lebih banyak diam.

“Tidak, Jovan,” jawab Arga tegas. “Kami tidak pernah saling menyakiti atau melakukan hal-hal yang tidak benar. Kami hanya ingin cinta kami diterima. Kalau ada yang nggak suka, kami bisa terima, tapi yang penting kita tahu ini adalah keputusan kami.”

Satu persatu, teman-teman mereka mulai menunjukkan dukungan. Mereka yang selama ini memandang sebelah mata akhirnya mulai menyadari bahwa cinta Arga dan Shara bukanlah hal yang harus dipermasalahkan. Beberapa dari mereka bahkan meminta maaf atas keraguan yang mereka sempat miliki.

Namun, ada satu orang yang tampak tidak setuju dengan apa yang baru saja mereka katakan. Rizal, seorang teman lama Arga, yang sejak awal sangat vokal tentang penolakannya terhadap hubungan ini, kini berdiri dengan tatapan tajam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel