perasaan yang terungkap
Bulan menggantung tinggi di langit malam, dan sinarnya yang redup menerangi atap sekolah, tempat Arga dan Shara duduk berdampingan. Udara dingin malam itu tak membuat mereka menjauh; sebaliknya, semakin erat mereka berbagi kehangatan yang tersisa di antara mereka. Shara memeluk buku pemberian Arga dengan erat, seolah itu adalah harta berharga yang tak ingin ia lepaskan.
“Bintang malam ini indah, ya?” bisik Shara, menatap langit yang bertabur gemerlap cahaya. Suaranya lembut, hampir seperti angin malam yang berbisik.
“Iya, tapi aku merasa mereka lebih bersinar malam ini karena kamu ada di sini,” jawab Arga tanpa ragu. Ucapannya keluar begitu saja, tanpa ia sadari, membuat Shara terdiam dan menatapnya dengan mata yang tak bisa menyembunyikan keterkejutan.
Sejenak keheningan jatuh di antara mereka. Shara hanya menatap Arga, terperangkap dalam sorot matanya yang penuh kehangatan. Ia merasa bahwa setiap kata yang diucapkan Arga bukan hanya sekadar basa-basi. Arga benar-benar membuatnya merasa istimewa, seperti seseorang yang berharga di dunia ini.
“Aku nggak pernah merasa seistimewa ini,” ujar Shara pelan, senyumnya penuh rasa haru. “Selama ini, aku selalu merasa nggak penting, seperti nggak ada yang benar-benar melihatku.”
Arga menggeleng pelan, meraih tangan Shara dengan lembut. “Kamu selalu penting, Shara. Kamu mungkin nggak sadar, tapi kamu adalah seseorang yang bisa membawa cahaya bagi orang lain. Kamu kuat, meski banyak yang nggak tahu apa yang kamu lalui.”
Shara menunduk, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Perasaannya pada Arga semakin sulit ia abaikan. Di setiap pertemuan, di setiap kata-kata tulus yang diucapkan Arga, ada perasaan hangat yang selalu memenuhi hatinya. Namun, Shara ragu untuk mengakui itu—takut bahwa jika ia terlalu berharap, semuanya akan hancur.
“Arga, kenapa kamu selalu baik padaku?” tanya Shara, matanya penuh keingintahuan sekaligus keraguan.
Pertanyaan itu membuat Arga terdiam sejenak. Ia mencari kata-kata yang tepat, mencoba memahami perasaannya sendiri. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu jawabannya. “Karena… kamu adalah seseorang yang berbeda. Di antara semua orang, kamu adalah orang yang membuatku merasa nyaman, membuatku ingin melindungi dan ada untukmu.”
Kata-kata Arga terdengar lembut dan tulus. Shara merasa matanya mulai berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar diterima, tanpa perlu menjadi seseorang yang sempurna. Arga menerima dirinya dengan segala kekurangan dan luka yang ia simpan.
Arga pun merasakan hal yang sama. Semakin lama ia mengenal Shara, semakin ia sadar bahwa gadis ini bukan sekadar teman pelarian dari tekanan hidupnya, tapi seseorang yang benar-benar membuatnya merasa hidup. Di setiap malam mereka duduk bersama, ia merasa seperti menemukan bagian dari dirinya yang selama ini hilang.
“Aku… juga merasa sama,” bisik Shara, suaranya sedikit bergetar. “Kamu membuatku merasa nggak sendirian, Arga. Aku nggak tahu apa jadinya aku kalau kamu nggak pernah muncul di atap ini.”
Arga tersenyum lembut. Tanpa berpikir panjang, ia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Shara dengan lembut. Wajah mereka semakin dekat, napas mereka hampir menyatu, seolah langit malam menyaksikan momen itu dalam keheningan yang sakral.
Di saat itu, Arga merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Perasaan hangat, damai, dan penuh keyakinan menyelimuti hatinya. “Shara, aku nggak janji bisa selalu ada untukmu. Tapi aku janji akan selalu berusaha. Selama aku masih bisa, aku akan ada di sini, di sampingmu.”
Shara tersenyum, air matanya akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Ia merasa perasaannya yang selama ini terpendam akhirnya menemukan tempatnya. “Aku juga, Arga. Aku janji nggak akan meninggalkanmu, apa pun yang terjadi.”
Keduanya terdiam, membiarkan keheningan malam menjadi saksi janji yang mereka buat. Mereka tahu bahwa perasaan ini tidak sederhana. Mungkin tak ada yang mengerti, mungkin dunia luar akan menganggapnya aneh. Namun, di bawah bintang-bintang yang menjadi saksi, mereka telah menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar persahabatan—sebuah perasaan yang menyatukan dua jiwa yang hancur, membuat mereka merasa utuh kembali.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Arga memberanikan diri menggenggam tangan Shara lebih erat. Mereka tahu bahwa dunia mereka mungkin tak akan pernah sempurna, tetapi selagi mereka memiliki satu sama lain, semua akan baik-baik saja
--------
Seminggu setelah malam itu, segala sesuatu mulai terasa berbeda. Di antara tawa yang terdengar lebih sering di sekitar Arga dan Shara, ada sebuah keheningan yang tak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata. Keheningan yang penuh dengan perasaan yang tumbuh perlahan, perasaan yang belum mereka definisikan sepenuhnya, namun tak bisa lagi disembunyikan.
Di sekolah, Arga masih sama seperti biasanya: aktif di tim basket, sering bergaul dengan teman-temannya, dan tetap menjadi sosok yang disukai banyak orang. Namun, sesuatu yang baru mulai menghinggapi pikirannya. Setiap kali ia melihat Shara di kelas, hatinya berdebar lebih cepat. Bahkan ketika mereka hanya saling bertukar pandang, ada perasaan yang sulit dijelaskan.
Shara, di sisi lain, juga merasakan perubahan yang sama. Ia tak bisa lagi mengabaikan perasaan yang tumbuh dalam dirinya. Setiap kali Arga ada di dekatnya, ia merasa ada kehangatan yang menyelimuti dirinya, dan saat mereka bersama, dunia seperti berhenti berputar. Namun, meskipun ada perasaan itu, Shara tak tahu apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan jika perasaan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
Pada suatu sore yang cerah, setelah latihan basket yang melelahkan, Arga memutuskan untuk menjemput Shara di taman sekolah. Mereka sudah terbiasa melakukan ini, namun hari itu terasa sedikit berbeda. Ada perasaan yang membuncah dalam diri Arga, perasaan yang tak bisa lagi ia sembunyikan.
Shara sedang duduk di bangku taman, membaca buku yang sudah menjadi teman setianya selama ini. Namun, saat ia mendengar langkah Arga mendekat, ia mengangkat kepalanya dan tersenyum. Senyuman yang membuat Arga merasa seolah semua beban yang ia bawa selama ini menjadi lebih ringan.
“Hai, kamu lagi sibuk sama buku itu?” tanya Arga sambil duduk di samping Shara.
Shara menutup bukunya dan menatapnya, seolah merasakan bahwa hari ini adalah hari yang tepat untuk berbicara tentang perasaan mereka. “Aku cuma nggak mau mikirin hal lain. Kadang buku ini yang bikin aku merasa punya tempat untuk bernafas.”
Arga mengangguk, mencoba memahami apa yang Shara rasakan. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang sudah terlalu lama ia pendam. Ia menatap Shara dengan penuh tekad.
“Shara,” katanya, suaranya penuh ketulusan, “aku nggak bisa terus-terusan seperti ini. Aku nggak bisa terus menganggap kita hanya teman biasa. Aku... aku mulai merasa lebih dari itu.”
Shara terdiam, matanya memandang Arga, mencoba mengerti apa yang sedang diungkapkan. Arga, yang biasanya tampak ceria dan penuh percaya diri, kini tampak ragu. Namun, hatinya sudah memutuskan. Perasaan ini sudah terlalu besar untuk disembunyikan.
“Apa maksud kamu?” tanya Shara pelan, suaranya sedikit bergetar. Meski ia merasa ada sesuatu yang sama dalam dirinya, ia takut jika perasaan itu hanya akan membuat segalanya menjadi rumit.
“Aku… aku mulai merasa kalau aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Shara. Aku selalu ingin ada di dekatmu, selalu ingin mendengar suaramu, selalu ingin tahu apa yang kamu pikirkan. Aku nggak tahu sejak kapan perasaan ini berubah, tapi aku nggak bisa lagi mengabaikannya.” Arga menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku suka padamu, Shara.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Shara terdiam, matanya membelalak, mencoba mencerna apa yang baru saja diucapkan Arga. Sesuatu di dalam dirinya, yang sejak lama ia rasakan, kini mulai menjadi jelas. Perasaan yang selama ini ia pendam, perasaan yang takut ia ungkapkan, ternyata ada di antara mereka berdua.
“Arga…” kata Shara, suaranya lembut namun penuh kebingungan. “Aku… aku juga merasa ada sesuatu yang lebih. Tapi, aku takut jika kita mulai seperti itu, semuanya akan berubah. Aku takut kehilanganmu, kehilangan apa yang sudah kita punya.”
Arga menatapnya dengan penuh pengertian. Ia tahu, perasaan yang mereka rasakan tak bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata. Ini adalah langkah besar yang harus mereka ambil bersama.
“Shara, aku nggak ingin kehilanganmu, apapun yang terjadi,” jawab Arga, matanya penuh keyakinan. “Kita bisa mencoba ini. Kita bisa berjalan bersama, menghadapi semuanya berdua. Kalau kita bersama, aku yakin kita bisa melalui apapun.”
Shara menatap Arga, merasa ketegangan di hatinya mulai sedikit mereda. Perasaan takut yang ia rasakan mulai tergantikan oleh rasa percaya. Percaya bahwa dengan Arga di sampingnya, ia bisa menghadapinya.
“Aku juga nggak mau kehilanganmu, Arga,” kata Shara, bibirnya tersenyum tipis. “Kalau kita berdua yakin, aku rasa kita bisa mencoba.”
Mereka saling berpandangan, dan dalam keheningan itu, dunia seperti berhenti berputar. Hanya ada mereka berdua, di bawah langit yang semakin gelap, dengan bintang-bintang yang menyaksikan janji yang baru saja mereka buat.
Hari itu, sebuah babak baru dalam hubungan mereka dimulai. Mereka tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tetapi mereka tahu satu hal—selama mereka bersama, mereka akan menghadapi segalanya, apapun itu.
