cahaya di tengah kesepian
Hari-hari berlalu, dan pertemuan di atap sekolah kini menjadi kebiasaan bagi Arga dan Shara. Setiap malam, mereka melarikan diri dari hiruk-pikuk sekolah, duduk di bawah langit malam, saling berbagi keheningan dan rahasia. Meski kata-kata yang mereka ucapkan sering kali terbatas, perasaan kedekatan itu justru tumbuh dalam keheningan. Tempat itu kini bukan hanya sekadar atap sekolah, melainkan ruang yang menyimpan kisah mereka.
Suatu malam, ketika Arga sudah terlebih dahulu tiba di atap, ia melihat Shara datang dengan langkah lebih pelan dari biasanya. Wajah Shara tampak lelah, seperti sedang memikul beban yang terlalu berat. Arga bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda malam ini.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya pelan saat Shara duduk di sampingnya.
Shara terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Namun, tatapan matanya jauh dari tenang. Setelah beberapa saat, ia menarik napas panjang, seolah sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. “Arga, kalau aku bilang ada sesuatu yang aku sembunyikan… apa kamu masih mau tetap berteman denganku?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, dan Arga hanya bisa menatapnya penuh kebingungan. Namun, ia tahu, apapun yang Shara sembunyikan, ia tak akan pergi begitu saja. “Apapun rahasiamu, Shara, aku nggak akan pergi. Kita sudah berjanji, bukan?”
Shara menunduk, berusaha mengumpulkan keberanian untuk membuka diri. Setelah hening yang panjang, ia akhirnya mulai bercerita, suaranya pelan dan dipenuhi kegetiran.
“Aku... nggak pernah benar-benar bahagia di rumah,” kata Shara, suaranya hampir seperti bisikan. “Orang tuaku bercerai saat aku masih kecil, dan sejak saat itu, hidupku seakan hancur berantakan. Ayah sibuk dengan keluarganya yang baru, sementara Ibu... dia sering kali mengabaikanku. Dia selalu pergi bekerja, seolah aku ini cuma beban yang tak diinginkan.”
Arga mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami kesedihan yang Shara simpan selama ini. Kata-kata Shara menusuk hati, membuatnya merasakan luka yang dalam yang dialami gadis itu. Shara yang selama ini terlihat tegar dan penuh senyum, ternyata menyimpan perasaan yang begitu sunyi dan perih.
“Kamu pasti lelah menanggung semua ini sendirian,” Arga bergumam, matanya menatap langit penuh bintang seolah mencari jawaban. “Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi... aku akan selalu ada di sini untukmu, Shara.”
Shara tersenyum kecil, meskipun ada air mata yang perlahan menggenang di matanya. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya dari pandangan Arga. “Kamu tahu, sejak aku bertemu kamu di atap ini, rasanya bebanku sedikit lebih ringan. Mungkin aku akhirnya menemukan seseorang yang benar-benar peduli, bukan hanya pura-pura peduli.”
Arga hanya tersenyum, hatinya tersentuh oleh kepercayaan yang diberikan Shara kepadanya. Di bawah langit malam itu, ia merasa ada tanggung jawab baru yang ia pegang—untuk menjaga Shara, untuk menjadi teman yang selalu ada di saat-saat sulit.
Malam itu, mereka berbicara lebih banyak daripada sebelumnya. Shara bercerita tentang kehidupannya, tentang kesepiannya, dan tentang mimpi-mimpi yang tak pernah ia wujudkan karena rasa ketidakberdayaan yang selalu menghantuinya. Sementara itu, Arga berbagi tentang tekanan yang ia rasakan dari keluarganya, tentang harapan yang selalu dibebankan padanya sebagai anak pertama, tentang cita-cita yang mungkin tidak sejalan dengan keinginan keluarganya.
Mereka berdua menemukan pelipur lara dalam cerita masing-masing, dan di bawah bintang-bintang malam itu, mereka membuat janji lain—janji untuk saling mendukung apa pun yang terjadi.
“Aku nggak tahu ke mana hidup ini akan membawa kita,” kata Shara pelan, “tapi aku berharap kita bisa terus saling ada, setidaknya sampai kita menemukan jalan kita masing-masing.”
Arga mengangguk. “Janji. Sampai saat itu tiba, kita punya tempat ini… dan bintang-bintang yang selalu jadi saksi.”
------
Malam-malam berikutnya, janji yang terucap di antara Arga dan Shara mulai membangun sebuah ikatan yang tak kasatmata namun begitu kuat. Mereka tak lagi bertemu sekadar untuk saling menyembunyikan diri dari dunia, tetapi juga untuk berbagi kekuatan dan keberanian dalam menghadapi hari-hari yang sulit.
Di sekolah, kehidupan mereka tampak seperti biasa. Arga tetap dengan kesibukannya sebagai anggota tim basket dan aktivitasnya sebagai siswa populer, sementara Shara menjalani hari-harinya dengan tenang dan cenderung menyendiri. Tak ada yang mengetahui rahasia pertemuan mereka di atap; tempat itu adalah dunia kecil yang hanya mereka miliki, jauh dari tatapan dan penilaian orang lain.
Namun, ada kalanya Arga tak bisa menahan diri untuk tak memandang ke arah Shara di sela-sela kelas. Setiap kali ia melihatnya duduk sendirian di pojok kelas atau di bawah pohon besar di taman sekolah, hatinya merasa iba sekaligus penuh kehangatan. Ia ingin melindungi Shara dari segala hal yang membuatnya terluka.
Sore itu, Shara terlihat duduk sendirian di perpustakaan. Arga yang sedang lewat pun berhenti sejenak, memperhatikan dari kejauhan. Di antara rak-rak buku, Shara sedang membaca, wajahnya terlihat damai. Sejenak Arga ragu untuk menghampirinya, khawatir perhatian yang ia berikan akan membuat Shara merasa canggung di depan orang lain. Namun, sebelum ia bisa mengambil keputusan, Shara sudah menyadari kehadirannya.
“Kamu sedang apa di sini?” tanya Shara dengan nada terkejut, namun bibirnya membentuk senyuman kecil.
Arga tersenyum, merasa sedikit salah tingkah. “Aku cuma lewat. Tapi kalau nggak keberatan, boleh aku duduk sebentar?”
Shara mengangguk, memberi tempat di sampingnya. Mereka duduk dalam hening, di tengah keheningan perpustakaan yang dipenuhi aroma buku-buku tua. Sekali lagi, keheningan itu terasa begitu nyaman, seolah tak ada yang perlu mereka katakan untuk saling mengerti.
“Kamu suka membaca?” tanya Arga setelah beberapa saat, mencoba memecah kesunyian.
Shara mengangguk. “Buku-buku ini membuatku merasa lebih dekat dengan dunia. Di dalamnya, aku bisa menemukan kehidupan yang berbeda, cerita yang membuatku merasa nggak sendirian.”
Arga mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia merasa bahwa Shara adalah sosok yang sangat dalam, seseorang yang mampu menemukan ketenangan dalam kesunyian. “Apa ada buku yang kamu suka lebih dari yang lain?”
Shara tersenyum tipis, matanya menerawang. “Ada sebuah buku yang mengajarkan aku tentang harapan. Katanya, sekalipun dunia terasa berat, selalu ada cahaya yang bisa ditemukan di tengah kegelapan. Aku ingin percaya pada cahaya itu, meskipun kadang sulit.”
Arga menatapnya, kagum dengan kedalaman pikiran Shara. “Kalau kamu sulit menemukannya, aku akan menjadi cahaya itu buatmu.”
Kata-kata Arga yang sederhana namun tulus membuat Shara terdiam sejenak. Ia menunduk, merasa sedikit tersipu, namun di balik wajahnya yang tenang, ada rasa haru yang tak mampu ia sembunyikan. Di saat semua orang di sekitarnya tampak hanya memikirkan diri sendiri, Arga muncul sebagai seseorang yang bersedia hadir untuknya.
“Terima kasih, Arga,” ucap Shara pelan, namun penuh makna. “Kamu nggak tahu betapa berartinya itu untukku.”
Sejak saat itu, mereka semakin sering berbagi waktu di luar pertemuan mereka di atap. Mereka mulai saling menemani di perpustakaan, bertukar cerita tentang hal-hal kecil dalam hidup mereka, dan kadang, berbagi mimpi yang tampak mustahil bagi mereka. Arga mulai menyadari bahwa ia memiliki keinginan kuat untuk selalu ada di samping Shara, untuk menjadi teman yang bisa ia andalkan di saat-saat sulit.
Di malam berikutnya, ketika mereka bertemu lagi di atap, Arga membawa sesuatu yang ia tahu akan membuat Shara tersenyum—sebuah buku tentang harapan yang pernah ia sebutkan di perpustakaan. Ia telah mencarinya ke beberapa toko buku hingga akhirnya menemukannya.
“Ini buat kamu,” katanya sambil menyodorkan buku itu. “Aku ingat kamu bilang suka buku yang mengajarkan tentang harapan.”
Shara menatapnya penuh haru. “Kamu ingat…”
“Tentu saja. Setiap kata yang kamu ucapkan selalu berarti buatku,” jawab Arga, suaranya tulus. “Aku berharap buku ini bisa jadi teman yang selalu menemani kamu, meskipun aku nggak selalu ada di sampingmu.”
Shara mengambil buku itu dengan tangan gemetar. Ia tak tahu bagaimana mengungkapkan rasa terima kasih yang begitu dalam. “Terima kasih, Arga. Kamu adalah salah satu cahaya yang selama ini aku cari.”
Malam itu, mereka duduk berdekatan di bawah langit berbintang, berbagi kehangatan yang tak pernah mereka temukan di tempat lain. Mereka merasa bahwa di bawah bintang-bintang ini, mereka telah menemukan lebih dari sekadar tempat pelarian—mereka menemukan seseorang yang mampu mengerti, seseorang yang mengisi kekosongan yang selama ini ada dalam hati mereka.
