Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

pertemuan di atap

Malam di SMA Harapan Bintang begitu sunyi. Hanya derit angin yang menerpa jendela tua dan gemerisik daun-daun di taman sekolah yang sesekali terdengar. Langit malam itu bertabur bintang, seolah mengundang siapa pun yang memandangnya untuk hanyut dalam kedamaian.

Arga menaiki tangga menuju atap sekolah dengan hati-hati, agar tak menimbulkan suara yang bisa menarik perhatian. Ia sudah sering ke sini sejak semester lalu—tempat yang ia temukan secara tak sengaja saat sedang mencari tempat untuk menyendiri. Atap ini menjadi tempatnya mengasingkan diri dari hiruk pikuk sekolah dan tekanan yang terus membebani pikirannya.

Begitu mencapai atap, Arga langsung duduk di tepi, menghadap hamparan kota yang berkilau di kejauhan. Satu napas panjang ia hela, mencoba melepaskan segala beban yang menumpuk di dadanya. Di sanalah ia duduk, hanya berteman dinginnya malam dan cahaya bintang yang redup.

Namun, malam itu ada yang berbeda. Langkah kecil terdengar mendekati pintu atap, membuat Arga menoleh waspada. Siapa pun yang datang ke sini, mungkin menganggapnya aneh—seorang siswa populer, duduk sendiri di atap pada malam hari. Tapi, yang muncul bukanlah teman sekelasnya, melainkan seorang gadis yang tak pernah ia kenal dengan rambut terurai dan tatapan yang suram.

Gadis itu terkejut melihat Arga, tampaknya tak menyangka ada orang lain di tempat yang juga sering menjadi pelariannya.

Arga dan gadis itu saling memandang dalam hening. Gadis itu tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya melangkah masuk dengan sikap canggung. Meskipun sedikit terkejut, Arga hanya menatapnya dengan tenang, berharap kehadirannya takkan membuat gadis itu berbalik dan pergi.

Gadis itu duduk tak jauh dari Arga, tetap menjaga jarak, seolah tempat itu memiliki batasan tak kasatmata yang tak boleh dilewati. Mereka duduk di bawah langit berbintang, tak satu pun dari mereka yang membuka percakapan. Kesunyian itu terasa nyaman—keduanya hanyut dalam pikirannya masing-masing, seolah berbagi keheningan tanpa perlu banyak kata.

Arga mencuri pandang, memperhatikan gadis itu dalam diam. Wajahnya tampak sayu, matanya menerawang jauh ke langit malam, seolah ada sesuatu yang begitu berat menghimpit hatinya. Sesekali, ia menarik napas panjang, dan sejenak Arga merasa bahwa mungkin, mereka datang ke tempat yang sama ini karena alasan yang serupa—untuk mencari kedamaian di antara kerumitan hidup mereka.

“Aku nggak akan bilang siapa-siapa kalau kamu khawatir,” ucap Arga tiba-tiba, suaranya lembut namun cukup jelas. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bukanlah ancaman bagi gadis itu. “Biasanya nggak ada orang yang tahu soal tempat ini.”

Gadis itu tersenyum tipis, namun tatapannya tetap jauh, seolah enggan untuk benar-benar membuka diri. “Aku sering ke sini,” jawabnya singkat. “Tempat ini... membuat aku merasa tenang.”

Arga mengangguk, memahami maksudnya. “Aku juga,” katanya sambil mengalihkan pandangan ke hamparan langit berbintang. “Terkadang dunia di bawah sana terlalu ribut. Atap ini seperti tempat pelarian.”

Sejenak keheningan kembali mengisi udara di antara mereka. Gadis itu tampak berpikir sejenak, lalu akhirnya membuka suara, “Kamu sering ke sini?”

“Setiap kali butuh waktu sendiri,” jawab Arga. “Jadi, kamu... murid kelas berapa?” tanyanya, berusaha mencairkan suasana.

“Kelas sebelas,” jawab gadis itu singkat. “Namaku, Shara.”

“Arga,” ia mengenalkan diri sambil tersenyum kecil. Meski sudah setahun di sekolah ini, Arga tak pernah benar-benar menyadari keberadaan Shara sebelumnya. Mungkin karena perbedaan kelas, atau mungkin karena ia terlalu sibuk dengan lingkaran pertemanan dan aktivitasnya sendiri.

Mereka kembali diam, namun kali ini, suasana terasa lebih nyaman. Seolah-olah mereka telah menemukan teman dalam keheningan, seseorang yang memahami keperluan untuk sejenak melarikan diri dari segalanya.

“Apa kamu percaya... setiap bintang di langit punya cerita?” tanya Shara tiba-tiba, suaranya lembut, seolah bertanya pada dirinya sendiri.

Arga mengangkat bahu. “Mungkin. Setiap orang punya cerita. Mungkin setiap bintang di langit adalah saksi cerita yang pernah ada.”

Shara tersenyum kecil, kali ini tatapannya sedikit melembut. “Aku berharap bintang-bintang bisa menyimpan cerita dan janji yang tak bisa kita sampaikan pada orang lain.”

“Seperti rahasia?” Arga mencoba menerka.

Shara mengangguk. “Rahasia yang hanya bisa kita titipkan pada langit, karena kalau kita ceritakan pada orang lain, mungkin rasanya akan hilang. Atau malah menjadi lebih menyakitkan.”

Kata-kata Shara membuat Arga termenung. Ia belum pernah memikirkan perasaan seperti itu sebelumnya, tapi kini, di bawah bintang-bintang dan di samping Shara, ia merasa bahwa tempat ini bukan hanya atap sekolah biasa. Tempat ini adalah saksi rahasia dan harapan mereka, tempat mereka bisa bebas dari tuntutan dunia.

Shara menatapnya sejenak, lalu tersenyum samar. “Mungkin kita bisa berbagi janji di sini, seperti bintang-bintang.”

Arga mengangguk setuju. “Janji untuk menjaga rahasia tempat ini?”

“Dan janji untuk datang ke sini setiap kali butuh waktu sendiri,” tambah Shara.

Keduanya saling bertatapan sejenak, tanpa kata. Di tengah gemerlap bintang malam itu, mereka membuat janji sederhana—janji yang mungkin hanya dimengerti oleh mereka berdua. Mereka tak tahu apakah mereka akan terus datang ke tempat ini, atau apakah janji itu akan bertahan lama, tapi untuk malam itu, janji mereka terasa nyata dan begitu berarti.

----

Hari-hari setelah pertemuan pertama mereka di atap terasa berbeda bagi Arga. Ia selalu menantikan malam-malam sunyi di mana ia bisa melarikan diri dari tuntutan sekolah dan kesibukan lainnya, lalu bertemu dengan Shara di bawah langit malam. Meskipun mereka jarang berbicara banyak, ada rasa tenang yang selalu menyelimuti setiap kali mereka duduk berdampingan di atap, seolah semua masalah dan kekhawatiran mereka hilang begitu saja

Pada suatu sore, Arga duduk di bangku taman sekolah, menunggu waktu hingga hari beranjak gelap. Ia melamun, memikirkan malam-malam sunyi bersama Shara, saat sekelompok temannya menghampiri. Seorang dari mereka, Dimas, yang dikenal sebagai sahabat terdekat Arga, menyadari keanehan di wajahnya.

“Ga, ngelamunin apa sih?” goda Dimas sambil duduk di sebelahnya. Teman-temannya yang lain ikut tertawa, menganggap Arga sedang memikirkan hal yang romantis.

Arga tersenyum kecil, namun dalam hatinya ada sedikit ketegangan. Ia tak ingin siapa pun tahu soal pertemuannya dengan Shara di atap. Itu adalah rahasia mereka berdua, rahasia yang membuatnya merasa memiliki sesuatu yang berbeda dari kehidupannya sehari-hari yang ramai dan terkadang penuh tekanan.

“Cuma lagi mikir soal latihan basket nanti malam,” Arga beralasan. “Aku ada latihan tambahan, jadi harus fokus.”

Dimas mengangguk mengerti. “Semangat, lah! Jangan lupa besok malam ada acara makan bareng anak kelas kita.”

Arga hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Pikirannya kembali melayang ke langit malam yang bertabur bintang dan janji yang ia buat bersama Shara.

Malamnya, seperti biasa, Arga menaiki tangga menuju atap sekolah. Saat ia membuka pintu, Shara sudah ada di sana, duduk menyandarkan punggungnya ke dinding, tatapannya tertuju ke bintang-bintang. Ia mengenakan sweater abu-abu dan syal kecil yang melingkar di lehernya, membuatnya terlihat sedikit lebih rapuh namun penuh pesona di bawah sinar rembulan.

“Kamu datang lagi,” ucap Shara begitu ia menyadari kehadiran Arga. Suaranya lembut, hampir seperti bisikan.

“Ini tempat kita, kan?” jawab Arga sambil tersenyum kecil. “Aku nggak punya tempat lain buat lari dari dunia.”

Shara tersenyum samar, lalu mengalihkan pandangannya ke langit. “Terkadang, aku berharap waktu bisa berhenti. Seandainya dunia nggak pernah berubah, dan kita bisa tetap seperti ini, di tempat yang tenang tanpa perlu memikirkan hari esok.”

Kata-kata Shara membuat Arga merasa sedikit tersentuh. Ia selalu merasa bahwa Shara menyimpan banyak rahasia, rahasia yang mungkin tak pernah bisa ia bagi pada siapa pun. Tapi malam ini, ia ingin lebih mengenal gadis ini, lebih dari sekadar teman yang berbagi tempat.

“Shara, apa yang sebenarnya kamu lari dari dunia?” tanya Arga dengan suara lembut. Ia tahu pertanyaan itu mungkin terdengar terlalu pribadi, tapi ia merasa perlu bertanya.

Shara terdiam sejenak, seolah sedang menimbang-nimbang apakah ia akan menjawab atau tidak. Setelah beberapa detik, ia menarik napas dalam, dan suara lembutnya terdengar lagi, penuh kegetiran. “Aku nggak lari dari dunia. Aku hanya… merasa dunia terlalu berat untuk kutanggung sendirian.”

Arga menatapnya dalam diam, tak ingin memaksa. Ia tahu rasa kesepian itu, perasaan bahwa semua beban hidup harus dipikul sendirian tanpa ada tempat berbagi. Dalam keheningan malam itu, Arga mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Shara dengan lembut.

“Kamu nggak sendirian, Shara,” bisik Arga. “Mulai sekarang, kamu nggak perlu menanggung semuanya sendirian. Kita punya tempat ini, dan kita bisa menghadapi dunia bersama.”

Shara menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya, ada kilatan rasa terharu di matanya. “Terima kasih, Arga,” jawabnya pelan. “Mungkin aku belum bisa cerita banyak, tapi... terima kasih sudah mau berbagi tempat ini denganku.”

Keduanya duduk dalam hening, tangan mereka masih saling menggenggam, merasakan kehangatan dan kenyamanan di bawah langit malam. Mereka tahu bahwa tempat ini, janji ini, akan selalu menjadi pengingat bahwa ada seseorang yang peduli, seseorang yang mau mendengarkan dan menemani mereka, meski dunia di luar sana terasa terlalu berat.

Malam itu, mereka membuat janji baru—janji untuk saling ada di saat-saat sulit, untuk menjadi teman yang akan selalu bisa dipercaya di tengah ketidakpastian dunia.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel