13. Angkasa Menyebalkan
Pagi yang cerah. Kami sekeluarga tengah menikmati sarapan, lengkap dengan Papa yang sudah mulai bekerja di perusahaan pusat dan Kak Andro yang belum kembali ke Bandung. Sejak malam itu, keadaan kembali seperti semula. Maksudku, dengan aku yang berusaha tegar dan tidak terpengaruh oleh sikap Papa. Dan juga sikap kakak laki-lakiku yang berubah ubah, di mana dia akan baik saat hanya sedang bersamaku, tapi akan dingin di depan banyak orang.
"Bi, kemaren Bunda nemuin botol obat yang udah kosong di kamar kamu. Itu obat apa?"
Sontak aku langsung tersedak hingga terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Bunda barusan. Ternyata benar kata Bu Rini kalau Bunda akan menanyakan perihal botol obat itu.
"Pelan-pelan dong Bi, makannya." Kak Viny menyodorkan segelas air putih.
Aku segera meminumnya cepat hingga menghabiskan setengah gelas. "Cuma vitamin kok, Bun."
Kak Viny menyenggol lenganku, dan menyipitkan mata setelah aku menoleh padanya. Aku membuang muka, kembali menyantap makanan.
"Kamu sakit, Bi?"
Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah Kak Andro yang barusan bertanya. Dari ekor mataku, tampak Papa terkejut mendengar Kak Andro bertanya dengan nada khawatir yang sangat jelas seperti itu. Namun kemudian ekspresi Papa berubah tidak peduli lagi, seperti biasa. Dan aku sudah sangat terbiasa, meski rasa sakit hati itu tetap tidak bisa hilang.
"Enggak kok, Kak. Aku baik-baik aja, nggak sakit apa-apa. Itu cuma vitamin aja."
"Oh, kalo kamu sakit atau apa kasih tau Bunda atau yang lainnya, ya? Jangan ada yang dirahasiakan."
"Iya, Bun." Aku tersenyum kecut. Ini sudah lebih dari lima tahun aku merahasiakan hal ini dari keluargaku, tapi aku baik-baik saja. Jadi kurasa tidak masalah kalau aku tetap akan merahasiakannya, entah sampai kapan.
"Kamu hutang penjelasan sama Kakak, Bi." Kak Viny berbisik pelan.
***
"Bintang?"
Aku tengah membereskan buku-buku yang masih berserakan di meja, menoleh pada Deni yang berdiri di depan meja guru. "Kenapa?"
"Boleh minta tolong nggak?"
Aku menghela napas sambil memasukkan buku-buku tadi ke dalam tas. "Tuh kan, udah gue duga. Kenapa sih lo kalau minta tolong selalu ke gue? Heran, deh."
"Soalnya cuma lo yang paling baik dan penolong di kelas ini." Cowok berkacamata itu menyengir.
Bibirku tercebik. "Minta tolong apa?"
"Tolong kembaliin buku paket ini ke perpus." Deni menunjuk setumpuk buku paket matematika yang digunakan Pak Daniel untuk mengajar jam pelajaran tadi.
"Kan itu tugasnya yang giliran piket hari ini."
"Yang giliran piket hari ini pada kabur semua."
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan benar juga kata Deni bahwa hanya kami berdua yang masih tertinggal di kelas ini. Bel istirahat sudah berbunyi sekitar lima menit yang lalu, semua siswa sudah keluar untuk mengisi perut mereka ke kantin. Bahkan Intan pun sudah meninggalkanku karena sedari tadi cacing-cacing di perut Intan sudah berdemo untuk diberi makan.
"Lagian abis ini lo pasti juga mau ke perpus, kan? Sekalian tolongin gue napa sih? Itung-itung dapet pahala. Emang lo nggak kasian sama ketua kelas yang banyak kerjaannya kayak gue ini? Gue juga abis ini mau fotokopi tugas dari Bu Anjani, jadi gue minta tolong elo deh."
"Iya-iya, gue bantuin." Kasihan juga Deni, semenjak dia jadi ketua kelas semua tugas yang berhubungan dengan kelas ini selalu dilimpahkan kepadanya. Resiko jadi ketua kelas memang begitu, ya?
"Ya udah gue cabut dulu ke fotokopian depan sekolah. Thanks udah mau bantuin."
"Iya. Udah sana pergi."
Sepeninggal Deni, aku langsung mengambil setumpuk buku paket di meja guru itu. Aku melangkahkan kaki keluar dari kelas menyusuri koridor menuju perpustakaan yang berada satu lantai dengan kelasku. Tiba-tiba aku merasa apa yang kulakukan ini seperti de javu. Maksudku, aku pernah melakukan hal yang sama. Memang benar sih, karena belum lama ini aku juga pernah membantu Deni membawa buku paket seperti saat ini. Tapi saat itu semuanya kacau dan jadi hari yang sial untukku karena kelakuan gila Angkasa. Semoga saja niat baikku membantu Deni kali ini tidak berujung pada kesialan, lagi.
Brukk!
Aku meringis, merasakan sakit pada lutut yang barusan terantuk lantai karena tertabrak seseorang, entah siapa itu. Dan aku sekarang dalam posisi tersungkur. Dalam hati aku berharap semoga yang menabrakku kali ini bukan Angkasa. Tidak lucu kan kalau aku harus mengalami de javu sebanyak tiga kali? Aku jadi ragu untuk mendongak sekarang.
"Eh, Bintang, kan?"
Aku mulai sedikit lega. Tidak mungkin kan suara Angkasa selembut dan seramah itu?
"Bintang, lo nggak apa-apa? Sorry gue nggak sengaja."
Spontan aku mendongak setelah mendengar pertanyaan untuk kedua kalinya. Cowok itu tersenyum tipis padaku. Kak Tama. Aku membalas senyumnya dengan senyum singkat. "Enggak apa-apa kok, Kak."
"Ayo, berdiri." Kak Tama mengulurkan tangan kanannya padaku. Namun aku membalasnya dengan menggeleng dan tersenyum sambil menunjuk buku-buku yang sudah berserakan di lantai. "Berdiri aja dulu."
Dengan sedikit bingung, aku menerima uluran tangan itu dan bangkit berdiri.
"Rok lo kotor, bersihin gih. Biar gue yang pungutin buku-buku ini."
Tanpa sadar aku malah bengong menatap Kak Tama. Dia kenal denganku baru sehari, kan? Kenapa sudah baik begini? Ah kurasa hari ini aku tidak sial, tapi malah beruntung bisa bertemu dengan cowok sebaik Kak Tama.
"Hei, malah bengong." Kak Tama terkekeh pelan.
Aku meringis malu, kemudian membersihkan lutut yang kotor karena debu.
"Nih." Kak Tama memberikan buku paket yang sudah ditumpuknya jadi satu.
"Makasih." Aku menerima setumpuk buku itu. "Kalo gitu aku ke perpus dulu ya, Kak. Makasih udah bantuin mungutin buku-buku ini."
Kak Tama tertawa kecil. "Kan gue yang bikin buku lo jatoh."
Aku menyengir. Iya juga, ya? "Ya udah aku pergi dulu, Kak."
Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung berbalik dan meneruskan langkah menuju perpustakaan.
"Tunggu, Bintang."
Aku mengernyit heran saat Kak Tama sudah menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. "Kenapa?"
Kak Tama tidak menjawab, namun malah mengambil sebagian buku yang kubawa. "Gue bantuin."
"Aku bisa sendiri kok. Udah taruh sini lagi." Aku menunjuk buku yang kubawa dengan dagu.
"Nggak apa-apa. Gue nggak bisa ngeliat cewek kesusahan." Aku tersenyum tipis. "Apalagi cewek manis kayak elo."
Aku langsung memalingkan wajah ke arah lain. Jangan sampai kak Tama melihat wajahku yang mungkin sudah semerah tomat sekarang. Sial, aku tidak bisa menampik perasaan terharu karena kebaikan cowok ini. Beberapa detik kemudian kami sudah sampai di depan perpustakaan. Kupikir Kak Tama akan langsung memberikan buku yang dibawanya kepadaku, tapi ternyata Kak Tama mengikutiku masuk ke dalam dan meletakkan buku itu di meja petugas.
"Gue balik dulu, ya. Nggak perlu ditemenin kan?" canda Kak Tama.
"Enggaklah. Makasih, Kak."
Kak Tama mengacungkan jempol kemudian keluar dari perpustakaan.
"Mas Afdhal, ini buku paket yang tadi dipinjam kelas sebelas IPS-3." Aku menyerahkan setumpuk buku itu di atas meja.
Mas Afdhal, petugas di perpustakaan ini tersenyum dan menghitung jumlah buku itu. "Ini jumlahnya pas. Kamu tanda tangan di sini."
Aku segera menandatangani kertas yang ditunjuk Mas Afdhal.
"Mau nongkrong di sini dulu?" tanya Mas Afdhal dengan nada bercandanya. Dari seluruh pengunjung perpustakaan yang notabene hanya sedikit ini, hanya aku yang cukup dikenal Mas Afdhal. Mungkin karena aku sudah sering datang ke sini.
"Mungkin pinjem aja, deh. Nanggung bentar lagi udah mau bel."
"Oke."
Aku langsung berjalan menuju rak bertuliskan kesehatan dan menelusuri setiap buku yang berjejer rapi di rak yang cukup tinggi itu. Aku mendongak ke arah rak nomor dua dari atas dan pandanganku langsung jatuh ke sebuah buku berjudul 'Khasiat Lidah Buaya'. Sebenarnya aku ingin meminjam novel, tapi aku ingat bahwa aku punya tugas bahasa Indonesia untuk membuat resensi sebuah buku. Karena itu aku memilih meminjam buku itu. Kakiku berjinjit, mencoba menggapai buku itu dengan tangan kananku. Agak sulit memang, karena posisi buku itu cukup cukup tinggi untuk badanku yang hanya 150 cm. Aku berdecak kesal karena usahaku tak kunjung membuahkan hasil juga.
"Oke, sekali lagi, Bi."
Aku pun menjinjit lebih tinggi lagi dan mencoba menggapai buku itu. Namun aku tersentak saat sebuah tangan yang lebih tinggi mengambil buku itu dengan mudahnya. Segera kubalikkan badan untuk melihat siapa orang mengambil buku yang berusaha kuambil sejak tadi itu. Mataku membulat seketika melihat orang yang sekarang berada tepat di depanku. Bahkan saking kagetnya, aku sampai refleks mundur hingga punggungku terantuk rak.
Cowok itu, Angkasa mengamati judul buku yang dipegangnya. "Lo anak IPS kan? Kenapa baca buku kayak gini?"
Tanpa menjawab apa-apa, aku menengadahkan tangan bermaksud meminta buku yang dipegangnya. Dia mengangkat sebelah alisnya. "Mau ini?"
"Sini." Aku mengulurkan tangan untuk mengambil buku itu darinya. Tapi apa yang dia lakukan? Dia malah mengangkat tinggi-tinggi tangannya yang memegang buku itu. "Apa sih? Turunin tangan lo."
"Jawab dulu pertanyaan gue."
Aku berdecak pelan. "Nggak usah main-main deh. Cepetan turunin tangan lo."
Dia malah semakin meninggikan tangannya itu. "Enggak sebelum elo jawab pertanyaan gue."
"Ya udah, mau tanya apa?" tanyaku, mulai kesal.
"Kenapa tadi lo ke sininya sama Tama?"
"Enggak penting banget sih pertanyaan lo." Aku berjinjit hendak merebut buku itu dari tangannya.
Namun Angkasa mengangkat satu tangannya lagi dan memindah-mindahkan buku itu dari tangan kanan ke tangan kiri, dari tangan kiri ke tangan kanan, begitu seterusnya hingga aku kesal setengah mati karena tidak berhasil-berhasil merebut buku itu. Tentu saja aku kesulitan, tinggi badannya sekitar 175 cm, sungguh tidak sesuai kan? Meskipun aku berjinjit sekalipun, tinggi badan kami tetap tidak bisa setara.
"Dasar pendek."
Tuh kan dia mencibirku? "Siniin nggak bukunya!"
"Jawab dulu pertanyaan gue."
"Emang pentingnya apa buat elo? Nggak usah kepo."
"Tinggal jawab apa susahnya sih?"
Sumpah, ini Angkasa kenapa jadi sangat menyebalkan sekali, sih? "Tadi Kak Tama bantuin gue bawa buku paket dari kelas."
"Kenapa bantuin segala?"
"Karena Kak Tama baik. Enggak kayak elo!" sahutku kesal.
Dan tampaknya tatapan matanya berubah tajam sekarang. "Kalo lo mau buku ini, gue tunggu di parkiran pulang sekolah."
Dia langsung pergi melewatiku begitu saja. Aku hanya mampu memandangi punggungnya yang semakin menjauh, sambil menerka-nerka apa maksud ucapannya barusan. Butuh waktu setidaknya dua menit untukku memahaminya, dan setelah menyadari bahwa dia menahan buku itu emosiku langsung naik sampai ubun-ubun. "Angkasa!"
"Bintang, ini perpustakaan, bukan ruang musik."
"Maaf, Mas." Angkasa sialan!
***
