12. Dugaan
"Sudah, Mbak Bi. Biar nanti Bu Rini aja yang lipat baju-bajunya. Kan Bu Rini udah sering bilang, kalo Mbak Bi ndak perlu bantu Bu Rini segala."
Aku menghentikan gerakan tanganku melipat baju, kemudian menoleh pada Bu Rini yang tengah menyetrika baju di meja. "Kan Bi juga sering bilang kalo Bi enggak berniat bantu Bu Rini, tapi karena Bi seneng aja ngelakuin ini, Bu."
"Mbak Bi ini ya, memang ndak pernah ilang sifat keras kepalanya." Bu Rini menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku melempar cengiran lebar kemudian melanjutkan aktivitasku melipat baju-baju yang sudah disetrika oleh Bu Rini. Saat ini kami tengah berada di ruang setrika yang terletak di sebelah ruang cuci baju. Tadi setelah makan malam, aku segera menyusul Bu Rini ke ruangan ini. Sejak kecil, aku memang sudah terbiasa menemani Bu Rini mengerjakan pekerjaannya. Entah itu sambil belajar atau dengan iseng-iseng membantunya seperti sekarang ini. Itu semua karena Bu Rini adalah orang terdekat yang kupunya sejak kecil. Hanya dia yang mengerti dan memahami segala hal tentangku, dan hanya dia yang selalu ada untukku. Bu Rini dan Pak udin, suaminya memang tidak bisa mempunyai anak sehingga selain menganggapku sebagai putri dari majikannya, mereka juga menganggapku seperti putri mereka sendiri.
"Mbak Bi?"
"Ya, Bu?" sahutku, tanpa mengalihkan pandangan dari baju-baju yang kulipat.
"Mbak Bi baik-baik saja kan?"
Pertanyaan Bu Rini itu membuatku menoleh pada wanita yang usianya sepuluh tahun di atas Papa itu. "Kayak yang Ibu liat, Bi baik-baik aja." Bu Rini menoleh padaku dan menghela napas berat. Entah kenapa mendengar helaan napasnya membuat perasaanku tidak enak. "Emang kenapa, Bu?"
"Kemaren Bu Mona masuk ke kamar Mbak Bi, terus menemukan botol obat di meja Mbak Bi."
Kedua mataku membulat seketika. Bagaimana aku bisa seceroboh itu meninggalkan botol obat di atas meja? "Terus gimana, Bu?"
"Bu Mona tanya sama Ibu."
"Bu Rini jawab apa?" Aku benar-benar takut Bunda mengetahui obat apa itu sebenarnya.
"Ya Bu Rini cuma bisa bilang kalau obat itu vitaminnya Mbak Bi."
Aku mendesah lega. Untung Bu Rini bisa diandalkan untuk menutup-nutupi rahasiaku ini. "Terus Bunda percaya kan sama Bu Rini?"
"Bu Mona katanya mau tanya sendiri sama Mbak Bi."
"Ya udah deh ntar Bi jawabnya kayak jawaban Bu Rini aja." Aku tersenyum lega. "Makasih ya, Bu."
Bu Rini mengelus kepalaku. "Tapi Mbak Bi, itu pasti bukan cuma vitamin kan?"
"Itu obat yang kayak dulu, Bu." Entahlah aku selalu tidak bisa berbohong pada asisten rumah tangga yang sudah merawatku sejak kecil ini.
"Mbak Bi sakit lagi? Mbak Bi kambuh lagi? Kenapa ndak kasih tahu Bu Rini? Kita bisa periksa ke rumah sakit kan? Gimana kalau Mbak Bi–"
"Bi?"
Cecaran pertanyaan Bu Rini terpotong oleh suara Kak Viny yang memanggil namaku. Sedetik kemudian gadis berambut sebahu itu sudah masuk ke ruangan ini, membuat aku dan Bu Rini menoleh bersamaan.
Kak Viny menatapku kikuk. "Kakak mau ngomong bentar."
Tercenung, aku segera mengangguk. Bangkit lalu menoleh pada Bu Rini, "Bu, Bi ke kamar dulu, ya."
Bu Rini mengangguk. "Jangan malam-malam tidurnya ya, Mbak?"
Aku mengangguk. Lalu berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, diikuti Kak Viny. Sampai di kamar, aku langsung merebahkan tubuh di ranjang. Sedangkan kakakku itu duduk bersandar di kepala ranjang sambil memeluk bantal.
"Kamu masih marah sama Kakak?"
Aku mengerutkan kening. "Marah?"
Dia mengangguk. "Kamu aneh sejak tadi pagi."
Aku tersenyum. "Bukan marah, Kak. Ngapain juga aku marah? Emang Kakak ada salah sama aku?"
"Terus? Kenapa kamu jadi pendiam? Kakak telepon pas di sekolah, tapi kamu reject. WhatsApp juga nggak dibalas."
Sebenarnya aku agak tersentil. Tapi kututupi dengan cengiran lebar. "Lagi PMS, Kak. Tahu sendiri kan gimana aku kalau lagi PMS?"
Seolah percaya dengan alasanku, Kak Viny cemberut sambil mencubit pipiku. "Nggak harus jadi aneh gitu, kan? Kakak khawatir banget kalau-kalau ada salah yang nggak Kakak sadari."
Aku tersenyum datar. Begini saja sudah paham kan kalau Kak Viny memang tidak sadar akan sikapnya kemarin? Tapi kenapa aku tidak bisa marah dan mendiamkannya dalam waktu lama?
"Kakak nyuruh kembarannya Kak Bisma buat jagain aku di sekolah, ya?" Ya, aku baru ingat hal itu dan harus menanyakannya langsung ke Kak Viny.
Kak Viny menyengir. "Kan biar Kakak sama Bunda nggak khawatir."
"Tapi dia nyebelin, Kaak!" Aku merengek sebal.
"Tapi ganteng kan, Bi?"
Aku bergidik jijik dan memilih memunggungi Kak Viny yang tertawa geli.
***
"Lo mau jalan sama Galang?" Intan bertanya penuh ketidaksukaan setelah mengintip isi pesanku dengan Galang.
Aku mengangguk, membereskan buku-buku di atas meja ke dalam tas. "Gue nggak bisa marah terlalu lama sama dia, Tan."
"Karena itu juga lo ngasih nomor lo ke dia?"
"Dia dapat nomor gue lagi dari Kak Viny. Bukan gue yang ngasih."
Intan berdecak. Mulutnya menggembung penuh kekesalan. "Sebulan loh, Bi. Sebulan dia ninggalin lo, ngejauhin lo seolah-olah lo bukan orang yang penting buat dia. Lo masih mau maafin dia?"
Aku menghela napas. Merangkul bahu dia dan mengajaknya keluar dari kelas. "Sebulan nggak ada apa-apanya dibanding keberadaan dia di hidup gue bertahun-tahun ini, Tan. Itu yang gue pikirin setelah berusaha ngilangin kecewa gue. Lo tahu, cuma dia dan Iqbal yang mau terima gue tanpa syarat. Mereka bikin gue mikir, kalau masih ada alasan keberadaan gue di dunia ini. Satu kesalahan aja nggak bikin semua kebaikannya hilang gitu aja, kan?"
"Tapi kenapa lo bisa yakin kalau nanti dia bakal minta maaf atau apalah itu yang bikin kalian baikan lagi?"
Aku termenung mendengar pertanyaan Intan. Lalu bahuku terkedik. "Insting seorang sahabat?"
Intan menatapku dengan cemberut. Ekspresinya seperti tidak terima. "Gue juga sahabat lo. Tapi lo nggak pernah punya insting sama gue!"
Lalu dia berjalan cepat, setengah berlari menuruni anak tangga tanpa menungguku. Aku terkekeh. Gadis itu memang selalu cemburu karena aku yang katanya berasa pilih kasih antara dia dan Galang. Padahal, tentu saja itu tidak benar.
"Tan, tunggu dong!" Dengan tawa pelan, aku menyusulnya. Dan langsung merangkul bahunya saat sudah berhasil menyejajarkan langkah.
Dia menepis, sok sinis. "Sana sama 'sahabat' lo itu!"
Tergelak, aku menjawil-jawil dagunya. "Cemburu, ciee!"
"Apaan cemburu sama cowok itu. Sana ah ketemu dia." Dia bergerak menjauh. "Lo kan cinta dia. Sana!"
Kali ini tawaku berubah jadi senyum jengkel. "Nggak asyik lo ungkit-ungkit itu lagi. Gue kan udah tiga per empat jalan buat move on. Hargai dong!"
Cemberutnya berubah tawa mengejek. "Makanya jangan terjebak friendzone!"
"Siapa yang friendzone?"
Aku dan Intan menoleh pada seseorang yang barusan bertanya Tampak dari arah belakang, Kak Bisma dan salah satu temannya berjalan keluar dari kantin menghampiri kami berdua. Aku memang tidak terlalu mengenali apalagi sampai tahu nama dari teman-teman Kak Bisma, meskipun beberapa kali pernah melihat atau berpapasan dengan mereka.
"Apaan sih, Kak? Kepo!" Aku menjulurkan lidah pada pacar Kak Viny itu.
"Hai Kak Bisma." Intan memasang senyum manis pada Kak Bisma. "Jangan dengerin omongan Bi. Dia emang gitu, judes."
Kak Bisma tertawa. "Judes-judes manis, kok."
Aku bergidik, pura-pura memasang ekspresi jijik. Mereka semua tertawa.
"Nggak ngapelin penunggu perpus dulu?" Kak Bisma menatapku sambil terkekeh pelan.
"Enggak, soalnya ada yang nunggu aku di gerbang."
"Makhluk astral atau Pak Dirman?"
Aku mengangkat bahu, mengibaskan rambut dengan sombong. "Cowok beneran, duong."
"Wah, udah berani deket sama cowok, nih? Gue laporin Viny sama Tante, loh."
"Idih, sana. Orang Bunda aja ngijinin aku buat punya pacar, kok."
"Tapi adik gue enggak."
"Apa hubungannya? Nggak ada, kali!" Sial, aku benar-benar sebal kalau dikait-kaitkan dengan kembaran Kak Bisma itu.
Kak Bisma tertawa mendengar sahutanku, namun terhenti saat lengannya disenggol oleh temannya, yang memakai tas punggung berwarna coklat itu. "Kenalin, ini temen gue. Tama, namanya."
"Tama." Cowok itu mengulurkan tangannya padaku.
Kusambut uluran tangan itu singkat. "Bintang, Kak."
"Woy, Bisma sama Tama kenapa ninggalin Romi sama Angkasa?"
Sontak, kami yang berada di sana menoleh bersamaan ke arah suara yang melengking itu. Kedua mataku membulat melihat dua orang cowok yang baru keluar dari kantin. Bukan cowok yang berjalan di depan, yang barusan berbicara dengan nada kecewek-cewekan yang dibuat-buat itu yang membuatku tertegun. Tapi cowok di belakangnya yang berjalan dengan tatapan sulit diartikan ke arahku, dengan satu tali tas punggung menggantung di bahu kiri.
"Kak Angkasa keren ya, Bi?" bisik Intan.
Aku hanya mengedikkan bahu kemudian mengalihkan pandangan ke sembarang arah agar tidak bertemu pandang dengan Angkasa. Ingatanku melayang pada kejadian dua hari lalu di mana aku menangis terisak di perpustakaan. Sejak kejadian itu, aku selalu merutuki kecerobohan yang tak bisa menahan tangis di depannya. Untung saja saat itu petugas perpustakaan sedang tidak ada di tempat. Kalau petugas perpustakaan yang notabene seorang pria berusia dua puluhan itu juga ada di sana, rasa maluku pasti akan bertambah berkali-kali lipat.
"Dia kayaknya maho deh, Bi?" Bisikan Intan tepat di telinga, membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum geli mengikuti arah pandang Intan yang bergidik ke arah cowok yang ternyata bernama Romi itu.
"Rom, lo dikatain maho tuh sama junior," celetuk Kak Tama pada cowok yang barusan datang itu, yang ternyata namanya adalah Romi.
"Emang kedengaran banget ya suara gue?" bisik Intan. Dasar Intan. Dia tidak tahu apa kalau suaranya sudah seperti toa berjalan?
"Siapa yang ngatain gue maho, Tam?" tanya Kak Romi menoleh pada Kak Tama. Suara Kak Romi sudah berubah menjadi suara cowok lagi. Tama tersenyum geli lalu mengedikkan bahu ke arah Intan yang sudah memeluk lenganku erat. "Abang enggak maho kok, Dek. Abang cowok tulen. Suer deh."
Mau tak mau aku tersenyum geli menyadari Intan yang seolah jijik pada tingkah Kak Romi.
"Nama Adek siapa?" tanya Kak Romi, sementara Intan mundur satu langkah.
Aku, Kak Bisma dan Kak Tama tertawa geli melihat tanggapan Intan yang terang-terangan digoda oleh Romi. Tawaku terhenti saat ponsel di saku rok seragam identitas bermotif kotak-kotak yang kupakai bergetar singkat. Segera kuambil ponselku itu. Galang memberitahu kalau dia menungguku di pintu gerbang sekolah. Ah, aku melupakan tujuan awalku untuk segera menuju ke pintu gerbang gara-gara keasyikan mengobrol dengan Kak Bisma dan teman-temannya.
"Kak, aku duluan ya. Udah ditunggu soalnya."
Kak Bisma tersenyum miring, melirik Angkasa. "Oke, Bintang. Hati-hati, ya."
Aku mengangguk pelan sebelum berbalik dan hendak menarik Intan meninggalkan tempat itu. Tapi lenganku lebih dulu dicekal seseorang. Menoleh, aku mendesis kesal. "Lepas!"
"Jangan jalan sama sembarangan cowok."
Meniup poni, aku menimpali, "Siapa elo?"
Angkasa melotot. Tapi aku lebih dulu melepaskan cekalannya, dan segera pergi dari sana. Bisa kudengar Kak Romi dan Kak Bisma tertawa, entah karena apa.
"Kak Angkasa cemburu, tuh."
Aku menoleh heran. "Maksud lo?"
"Soalnya Kak Angkasa ngiranya lo mau jalan beneran sama cowok." Intan terkekeh.
"Dugaan lo aneh."
"Ya kali aja Kak Angkasa naksir gitu sama lo."
Aku tertawa skeptis. Memilih untuk tidak menanggapi, dan berlari menghampiri Galang yang duduk di kap mobil, melambaikan tangan ke arah kami. Intan yang menyusul, mengeluarkan aura tidak bersahabat. Sedangkan Galang memasang ekspresi tanpa dosa. Aku menghela napas, bersiap menjadi penonton dari setiap perdebatan mereka yang tidak ada habisnya. Seperti biasa.
***
