14. Obat
Aku langsung turun begitu motor Angkasa berhenti di depan pintu gerbang rumahku. Lalu kuserahkan helm ke arahnya, yang sedang melepas helmnya sendiri.
Dia menerimanya tanpa melepas tatapan dari wajahku. "Kenapa mukanya gitu?"
"Kenapa mukanya gitu?" Aku mengikuti gaya bicaranya dengan tambahan ejekan sebal. "Pikir aja sendiri!"
"Lo marah?"
"Menurut lo?!"
Dia hanya terkekeh. Kalau bisa, rasanya ingin kuulek muka innocent cowok ini. Semua kekesalan ini berawal dari aku yang sepulang sekolah, berniat meminta buku dan kartu perpustakaan yang dibawa olehnya. Dia memberi syarat agar aku mau diantar pulang olehnya. Intan yang menemaniku menemuinya, malah dengan rela meninggalkanku. Mau tidak mau, aku ikut. Tapi ternyata alih-alih langsung mengantarku pulang, cowok ini malah mengajakku mampir kemana-mana. Mulai dari menemui mamanya di butik milik keluarga mereka, beli sepatu di mall, sampai nongkrong di kafe dengan teman-temannya. Kalau saja aku tidak mengancam akan pulang sendiri, mungkin aku masih di kafe itu.
"Jangan cemberut."
"Suka-suka gue!" Aku menjawabnya ketus. Lalu menadahkan tangan di depan wajahnya. "Balikin sekarang."
Dia berdecak. Mengambil dua benda itu dari tas, lalu meletakkannya di atas telapak tanganku. Aku tersenyum sinis, dan berniat untuk langsung meninggalkannya kalau dia tidak tiba-tiba menahan dengan menarik ujung jaketku. Dengan ekspresi datar, dia menyodorkan tangan di depan wajahku.
"Apaan?"
"Latihan."
"Latihan apa?"
"Cium tangan."
Mulutku menganga. Lalu detik selanjutnya, aku tergelak. Menatapnya angkuh sambil mengibaskan rambut. "Sorry ya, gue mau cium tangan tuh cuma sama suami gue di masa depan nanti."
Dia tidak menjawab apa-apa. Hanya tersenyum miring, lalu tiba-tiba menyalami tanganku. Belum sempat menghindar, dia menempelkan punggung tangannya di dahiku. Aku mendelik. Dia menyeringai, dan langsung tancap gas meninggalkanku yang bersiap untuk memaki.
"Angkasa!"
Aku mengentak-entakkan kaki dengan kesal. Lalu masuk ke dalam rumah secepatnya. Baru sampai di anak tangga teratas, menoleh pada Bu Rini yang baru saja keluar dari kamarku. Biasanya jam-jam segini Bu Rini sedang mengantarkan baju-baju yang disetrikanya ke dalam lemari masing-masing. Kulemparkan senyum manis pada wanita separuh baya itu.
"Yang antar Mbak Bi itu bukannya Mas Angkasa, ya? Adiknya Mas Bisma itu, loh."
"Kok ibu kenal Angkasa?" tanyaku, mendekat pada Bu Rini.
"Kan Mas Angkasa pernah ke sini nemenin Mas Bisma. Itu loh yang waktu Mbak Bi ndak mau turun karena udah ngantuk." Aku mengangguk dua kali. "Kok Mbak Bi bisa diantar Mas Angkasa?"
Aku menggigit bibir dalam, mencoba mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Bu Rini.
"Jangan-jangan Mas Angkasa itu pacarnya Mbak Bi, ya?"
"Ah, Bu Rini apaan sih? Ya enggaklah. Masak Bi pacaran sama cowok nyebelin kayak gitu?" elakku.
Bu Rini mengerutkan keningnya. "Kok nyebelin mbak? Kan Mas Angkasa itu baik, sama baiknya dengan Mas Bisma."
"Ya beda jauh lah, Bu. Angkasa sama Kak Bisma itu beda banget."
"Beda jauh gimana, Mbak? Orang murah senyum gitu kok. Sopan lagi. Cocok kok sama Mbak Bi."
"Kan Bi udah bilang kalo Bi sama dia enggak ada apa-apa, Bu."
Bu Rini malah tertawa, masih berusaha menggoda membuatku cemberut.
"Udah ah Bu, Bi mau mandi dulu. Gerah, nih. Enggak ada orang di rumah, ya Bu?" ucapku mengibas-ngibaskan tangan ke wajah.
"Iya. Bapak sama Ibu belum pulang. Mbak Vini sama Mas Andro lagi di kamar."
"Ya udah Bu, Bi ke kamar dulu." Aku langsung melangkahkan kaki menuju kamar. Tapi sampai di pintu, aku merintih pelan.
"Astaghfirullah, Mbak Bi kenapa?"
Kurasakan tangan Bu Rini yang menopang tubuhku yang hampir saja terjatuh. Tadi itu saat tanganku menyentuh gagang pintu, tiba-tiba serangan pada dada kiriku datang lagi tanpa diduga, secepat kilat. Rasanya sakit, nyeri dan seperti ada godam besar dan berat yang menghantam dadaku. Mungkin aku bisa terjatuh jika Bu Rini tidak segera menangkap tubuhku.
"Mbak Bi ndak apa-apa? Apa sakit sekali? Kita ke rumah sakit saja?"
Aku tertegun melihat wajah panik bercampur khawatir Bu Rini. Tidak, aku tidak suka melihat Bu Rini khawatir. Sudah hampir lima tahun aku membuat Bu Rini panik dan khawatir. Bu Rini sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.
"Enggak kok, Bu. Bi enggak papa." Aku berusaha berdiri dan menyeimbangkan tubuhku. Bu rini memegang bahuku, seolah takut aku akan ambruk lagi. "Cuma agak nyeri aja, Bu. Buat minum obat terus istirahat pasti langsung sembuh. Jadi enggak usah khawatir, ya?"
Aku meraih gagang pintu lagi, dan memutar kenopnya.
"Mbak Bi?""
Aku menoleh dan tersenyum pada Bu Rini. "Bi enggak apa-apa, Bu."
Setelah itu aku langsung masuk ke dalam kamar, dan membaringkan tubuh di atas ranjang. Rasa sakit teramat hebat yang sedari tadi kutahan di depan Bu Rini rasanya semakin menjadi-jadi dalam menyerangku.
***
Langit malam tampak sangat terang dihiasi bulan yang berbentuk seperti telur pecah, juga gemintang yang bertaburan semakin menghiasi langit yang hitam. Aku terduduk di lantai balkon, memeluk lutut dengan kepala bertumpu di atas lutut. Ini sudah tiga jam sejak rasa sakit dan sesak itu menyerangku, dan sejak itu pula aku sama sekali belum keluar dari kamar. Aku bahkan melewatkan makan malam karena rasa sakit itu menghilangkan rasa laparku seketika, padahal tadi saat menemani Angkasa makan aku sama sekali tidak makan. Reaksi obat yang kuminum baru terasa dan sekarang detak jantungku kembali normal. Karena itu rasa malas dan berat masih tertinggal di tubuhku.
"Bi, obat ini ...."
Aku langsung menoleh ke arah suara yang sepertinya tercekat di tenggorokan itu. Spontan aku berdiri, mendekati Kak Andro yang berdiri terpaku menatapku.
"Kak An–" Kalimat itu terhenti di ujung tenggorokan dan mataku membulat seketika melihat benda yang dipegang Kak Andro.
"Bi, kamu ... Ini ...,"
Dengan cepat, aku merebut dua buah botol obat yang berada di genggaman Kak Andro, menyembunyikannya di belakang tubuhku. "Ini ... ini cuma ... vitamin, Kak."
Kak Andro memasang ekspresi datar, maju satu langkah ke arahku. "Kamu bohong, Bi."
Aku terbelalak kaget, menggigit bibir bawahku. "Enggak, Kak. Bi nggak bo–"
"Kakak udah tau, Bi. Jadi kamu nggak perlu bohong lagi kayak gini."
"T-tau ap–"
"Jantung kamu enggak normal!"
Botol obat yang kugenggam erat terlepas dan jatuh ke lantai seiring dengan gerakan tanganku yang menutup mulut. Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan kedua mata membulat menatap kak Andro dengan tatapan tidak percaya. Aku menarik-embuskan napas berkali-kali, mencoba menenangkan emosi. Aku harus terlihat tidak tahu apa-apa dan tidak mengerti dengan ucapan Kak Andro.
"Kak Andro ngomong apa, sih? Jantung aku enggak normal? Enggak normal gimana sih? Kakak ngaco deh."
Tampak raut wajah kak Andro berubah sendu, tapi aku tidak tahu apa arti raut wajahnya itu. "Bi, kakak mohon ...."
"Kakak kenapa sih? Mohon ap–"
"Bintang!"
Aku tersentak, mundur selangkah karena bentakan Kak Andro barusan. Sejak sikapnya berubah baik padaku, belum pernah sekalipun Kak Andro membentakku apalagi memanggil namaku dengan panggilan 'Bintang'.
"Kakak udah tau kalo kamu sakit CHF. Jadi nggak perlu nutup-nutupin lagi dari Kakak. Sampai kapan kamu mau sembunyiin itu lagi? Sampe kamu kena serangan mati mendadak, gitu?!" suara Kak Andro meninggi, membuat rasa takut mendominasi hatiku.
Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat, menatap Kak Andro yang menatapku tajam dengan dada yang naik turun. Sejak kapan dia tahu? Darimana dia tahu? Kenapa dia bisa tahu? Selama hampir lima tahun ini aku sudah menutupinya rapat-rapat, agar jangan sampai Papa maupun Kak Andro tahu.
"Kak–"
"Bi ...." Kak Andro memegang kedua bahuku, menunduk menembus kedalaman mataku. "Kenapa kamu ngelakuin itu? Kenapa kamu harus nyembunyiin semuanya? Buat apa? Biar Kakak sama Papa ngerasa bersalah saat waktunya udah terlambat? Kamu mau hukum Papa sama Kakak atas perlakuan kita ke kamu?"
Pelupuk mataku mulai memanas. Aku tidak menyangka Kak Andro akan berpikiran seperti itu. Bagaimana bisa dia berpikiran kalau aku ingin menghukum mereka?
"Kalau itu yang kamu mau, selamat karena kamu udah berhasil. Kamu berhasil bikin Kakak tersiksa sama rasa bersalah Kakak ke kamu!"
Refleks, aku mundur dua langkah hingga tangan Kak Andro terlepas dari bahuku. Dua aliran sungai langsung mengalir deras saat mataku berkedip.
"Jadi ini alasan Kakak?" tanyaku dengan suara bergetar. Kak Andro menatapku bingung. "Alasan Kakak jadi baik sama aku, ternyata ini? Kakak ngerasa bersalah sama aku, jadi Kakak baik sama aku? Karena Kakak takut aku tiba-tiba mati kapan aja, Kakak jadi baik sama aku? Karena Kakak takut akan tersiksa dengan rasa bersalah seumur hidup, jadi Kakak baik sama aku?" .
Aku kecewa. Sangat kecewa. Kupikir selama hampir dua tahun ini Kak Andro merubah sikapnya menjadi baik dan menganggapku ada karena dua sudah sadar bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah atas kematian Mama. Kupikir masa hukuman yang dia berikan sudah berakhir, tapi ternyata tidak. Kak Andro melakukan itu semata-mata karena rasa bersalah, bukan kasih sayang yang dirasakannya padaku. Dia hanya merasa bersalah karena aku sakit, bukan karena menyayangiku. Dia hanya melindungi ketenangannya sendiri.
***
