Bab 6
Kyara menatap sekeliling ruangan, mencoba menenangkan dirinya meski hati dan pikirannya sedang bertarung dengan gelombang perasaan yang luar biasa. Ucapan-ucapan yang dilemparkan oleh beberapa orang di sekitarnya, termasuk sindiran tentang statusnya yang belum menikah, seakan membuat setiap inci tubuhnya merasakan getaran ketidaknyamanan yang semakin menekan.
“Tidak ada yang perlu dibahas lebih lanjut, Pak Kadis. Saya rasa semuanya sudah cukup jelas,” jawab Kyara dengan nada datar, berusaha keras untuk menjaga ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan sedikit pun gejolak yang tengah dirasakannya.
Namun, Aditya tidak begitu saja membiarkannya. Tatapannya tetap terfokus pada Kyara, menyorotinya dengan intensitas yang membuat jantungnya berdegup kencang. Meskipun Kyara berusaha untuk bersikap seprofesional mungkin, ia merasa seolah-olah ada beban berat yang menimpanya—beban dari masa lalu yang tak kunjung lepas.
Aditya, dengan sikapnya yang tampaknya tak bisa dipahami oleh Kyara, mengangguk perlahan, seakan mengerti apa yang ia rasakan. Namun, tatapan itu—tatapan yang penuh dengan ketenangan yang disamarkan—hanya membuat Kyara semakin terpojok. Seolah-olah, di balik matanya yang dalam dan misterius, ada sebuah cerita yang hanya ia yang bisa mengerti, sebuah cerita yang berhubungan dengan mereka berdua.
"Baiklah," ujar Aditya dengan nada yang tetap tenang, namun ada sedikit ketegangan yang terkandung di dalamnya. "Terima kasih, Kabid drh.Kyara. Saya rasa kita semua bisa melanjutkan perkenalan ini dengan lebih nyaman."
Kyara berusaha mengalihkan pandangannya dari pria itu. Namun, suara Lila yang kembali memanggil namanya, memaksanya untuk berhadapan dengan kenyataan.
"Kyara, ada apa denganmu?" bisik Lila pelan, tampaknya mulai curiga dengan sikap Kyara yang tiba-tiba berubah begitu drastis.
Kyara hanya menggelengkan kepala, berusaha untuk menenangkan dirinya. "Tidak ada, Lila. Aku hanya... sedikit lelah," jawab Kyara, meski ia tahu, jawabannya itu tidak sepenuhnya benar.
Di sisi lain, Aditya yang kembali duduk dengan tenang di kursinya, tampaknya tak bisa melepaskan pikirannya dari Kyara. Setiap gerak-gerik perempuan itu, setiap kata yang keluar dari bibirnya, selalu membangkitkan kenangan yang tak ingin ia ingat. Kenangan yang, meskipun telah lama terkubur dalam-dalam, selalu mampu muncul kembali ketika mereka berdua berada dalam jarak yang terlalu dekat.
Apakah aku masih bisa memperbaiki semuanya, Kyara? pikir Aditya dalam hati. Ia tahu, bahwa tidak mudah untuk bisa membalikkan keadaan, apalagi setelah semua yang telah terjadi antara mereka. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan yang tak pernah benar-benar hilang, meskipun ia berusaha keras untuk menguburnya.
Saat giliran Kyara selesai memperkenalkan diri, suasana kembali menjadi lebih santai. Moderator melanjutkan perkenalan para Kabid dan staf lainnya, sementara Kyara berusaha untuk menenangkan diri. Ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan melewati hari ini dengan kepala tegak, terlepas dari apa yang terjadi.
Namun, semakin lama, semakin sulit bagi Kyara untuk mengabaikan kenyataan bahwa Aditya—pria yang telah menghancurkan hatinya—berada di sana, begitu dekat dengan dirinya. Setiap kali ia menoleh ke arahnya, ada perasaan campur aduk yang datang: rasa marah, kecewa, dan mungkin sedikit harapan yang masih tersisa, meskipun ia tahu itu tak bisa lagi terwujud.
Lila yang duduk di sampingnya, menatap Kyara dengan penuh perhatian. "Kyara," bisiknya, "Kau yakin semuanya baik-baik saja? Aku bisa melihatmu gelisah."
Kyara hanya tersenyum tipis dan mengangguk. "Aku baik-baik saja, Lila. Hanya butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan diri dengan situasi ini."
Namun, di dalam hatinya, Kyara tahu bahwa situasi ini jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Berada di ruangan yang sama dengan Aditya, bertatap muka dengan pria yang dulunya begitu dekat dengannya—seseorang yang pernah ia percayai sepenuh hati—membuatnya merasa seperti ada yang tertinggal. Ada kenangan yang masih membekas, dan luka yang belum sembuh.
Di ujung perkenalan, Aditya berdiri kembali, kali ini untuk memberikan kata-kata penutupan. “Saya sangat senang bisa bertemu dengan kalian semua di Dinas ini. Saya percaya, bersama kalian, kita bisa membawa Dinas Peternakan ini ke arah yang lebih baik. Kita semua punya tanggung jawab yang besar, dan saya yakin kita bisa bekerja sama dengan baik. Terima kasih atas dukungannya.”
Setelah itu, ia melangkah menuju pintu keluar, diikuti oleh beberapa pejabat lain yang segera menyelesaikan acara tersebut. Kyara merasa sedikit lega karena acara itu akhirnya selesai, meskipun hatinya masih terasa berat.
Namun, tatapan terakhir Aditya yang tertuju padanya sebelum ia keluar dari ruangan itu, seakan meninggalkan bekas yang mendalam di dalam diri Kyara. Ada banyak kata yang ingin ia ucapkan—banyak hal yang ingin ia sampaikan kepada pria itu—namun entah mengapa, mulutnya terasa terkunci rapat. Ia hanya bisa menatapnya pergi, merasa seperti seorang perempuan yang kehilangan arah.
Setelah beberapa saat, Lila menepuk bahunya pelan. "Kyara, kamu pasti bisa melewati ini. Aku tahu kamu kuat.”
Setelah makan siang yang sederhana namun cukup menyegarkan, suasana di ruangan itu mulai berubah menjadi lebih santai. Beberapa pejabat telah kembali ke meja mereka, sementara yang lain tampak berbicara dengan rekan mereka tentang berbagai hal, dari pekerjaan hingga rencana masa depan. Kyara, meskipun masih merasa gelisah, berusaha untuk mengalihkan pikirannya dari Aditya yang terus menghantui. Ia tahu bahwa sekarang adalah waktunya untuk lebih fokus, untuk menunjukkan hasil kerja kerasnya selama enam bulan terakhir.
Moderator acara, yang sebelumnya hanya berfokus pada perkenalan, kini mulai melanjutkan agenda utama—pencapaian kinerja. Ia memulai dengan menyebutkan setiap Kabid dan prestasi mereka dalam enam bulan terakhir, dengan penekanan pada kontribusi yang telah mereka berikan untuk kemajuan Dinas Peternakan.
“Dan sekarang,” ujar moderator sambil melihat selembar catatan, “kita akan mendengarkan pencapaian dari Kabid drh. Kyara. Silakan, Bu Kabid Kyara.”
Kyara menarik napas dalam-dalam, mengingatkan dirinya untuk tetap profesional. Semua mata kini tertuju padanya, dan ia merasa sedikit lebih gugup, meskipun ia tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk menunjukkan kepada semua orang, terutama Aditya, bahwa ia mampu. Ia berdiri dengan tenang, menyusun kata-katanya, dan mulai berbicara.
"Terima kasih atas kesempatan ini. Dalam enam bulan terakhir, saya dan tim saya telah berhasil menyelesaikan beberapa proyek besar yang tidak hanya meningkatkan kualitas produksi peternakan, tetapi juga membantu petani lokal untuk lebih mengoptimalkan hasil mereka. Salah satunya adalah program pemberdayaan peternak kecil yang kami jalankan, yang telah meningkatkan pendapatan mereka hingga 30%."
Kyara melanjutkan dengan percaya diri, berbicara tentang inisiatif lain yang telah mereka lakukan. Setiap kata yang diucapkannya dipenuhi dengan keyakinan, menunjukkan dedikasi dan kerja kerasnya yang tak terlihat. Namun, di balik semua itu, ada sedikit rasa cemas yang menggerogoti dirinya. Seolah-olah ia merasa, meskipun semua pencapaian itu, tidak ada yang bisa membuatnya merasa cukup puas, terutama karena bayang-bayang Aditya yang terus mengikutinya.
Di sisi lain, Aditya mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari bibir Kyara. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya, meskipun ia berusaha untuk tetap terlihat fokus. Ada rasa kagum yang mendalam dalam dirinya saat melihat Kyara berbicara. Di hadapannya, bukan lagi gadis muda yang dulu pernah ia kenal dengan segala kerapuhannya, melainkan seorang wanita yang penuh dengan keberanian dan kemampuan.
"Sungguh luar biasa," pikir Aditya dalam hati, tak bisa menahan rasa kagumnya. "Dia telah berubah begitu banyak. Tangguh, cerdas, dan penuh dedikasi. Sejak saat itu, aku bahkan tidak tahu lagi siapa yang sebenarnya ia jadi."
Kenangan-kenangan yang pernah ia coba kubur dalam-dalam mulai muncul kembali. Aditya ingat bagaimana dulu, Kyara seringkali merasa ragu tentang kemampuannya. Ia ingat bagaimana Kyara sering berjuang untuk mendapatkan pengakuan, dan betapa ia ingin melindunginya dari semua beban yang terlalu berat untuk gadis muda itu. Tapi kini, melihat Kyara di depan umum, penuh percaya diri, dia menyadari bahwa dia telah jauh melampaui siapa dirinya dulu.
Setelah Kyara selesai mempresentasikan pencapaiannya, ada tepuk tangan yang meriah dari seluruh ruangan, yang menunjukkan betapa dihargainya kerja keras dan dedikasi yang telah Kyara tunjukkan. Beberapa Kabid lain juga memberikan pujian singkat, mengakui pencapaian luar biasa yang telah dicapai oleh Kabid yang satu ini.
Namun, meskipun semua itu terjadi, Kyara merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai. Ada sebersit keraguan yang masih bertengger di dalam hati, terutama ketika tatapan Aditya yang penuh dengan kekaguman itu terus mengarah padanya. Bagaimana mungkin ia bisa menerima pujian itu dengan tenang, sementara hatinya masih terperangkap oleh masa lalu yang tak mudah dilupakan?
Setelah sesi pencapaian selesai, Aditya akhirnya bangkit dari tempat duduknya, dan dengan langkah pelan, ia berjalan menuju Kyara. Semua mata kembali tertuju pada mereka, namun Kyara, yang merasa sedikit canggung, berusaha untuk tetap tenang.
“Kabid drh.Kyara,” ujar Aditya, suaranya terdengar lebih dalam dan penuh dengan makna. “Saya benar-benar terkesan dengan apa yang telah Anda capai. Anda memang pantas mendapatkan pujian ini. Saya... bangga dengan apa yang telah Anda lakukan.”
Kata-kata itu membuat Kyara terdiam sejenak. Ia tahu, kata-kata itu penuh dengan makna, meskipun ia tak tahu bagaimana cara untuk meresponnya. Ada perasaan hangat yang muncul di dalam dirinya, meskipun ia berusaha keras untuk mengabaikannya.
"Terima kasih, Pak Kadis," jawab Kyara, suaranya sedikit bergetar, meskipun ia mencoba untuk menjaga kesan profesional.
Aditya hanya tersenyum tipis, matanya kembali menatap Kyara dengan tatapan yang lebih lembut. “Kamu telah jauh berkembang, Kyara. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi di antara kita, tapi yang jelas... kamu lebih dari cukup untuk semua orang yang ada di sini."
Kyara merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Ada ketegangan yang muncul, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaan itu hanyalah kenangan yang tak akan pernah bisa sepenuhnya lenyap. Meskipun mereka kini berada dalam posisi yang berbeda, ada sesuatu di antara mereka yang masih membekas—sesuatu yang tak bisa dihapuskan begitu saja.
Aditya menundukkan kepala sedikit, seolah memberi penghormatan, dan sebelum Kyara sempat mengucapkan sepatah kata lagi, ia berpaling dan melangkah pergi, meninggalkan Kyara yang masih terdiam dalam kebingungannya.
Di sisi lain, Lila yang sedari tadi memperhatikan percakapan itu, mengelus pelan bahu Kyara. “Kyara,” katanya dengan suara lembut. “Kamu hebat. Apa pun yang terjadi, jangan biarkan dia mengganggu dirimu. Kamu lebih dari sekedar pantas untuk semua ini.”
Kyara mengangguk perlahan, mencoba menahan air mata yang nyaris terjatuh. Semua perasaan yang selama ini ia pendam, kembali muncul ke permukaan. Tetapi, ia tahu, ini bukan saatnya untuk lemah. Ia telah menunjukkan kemampuan dan dedikasinya. Bagaimanapun, hidup harus terus berjalan—termasuk dengan kenyataan bahwa masa lalu mereka, meskipun penuh kenangan, tetap akan menjadi bagian dari siapa dirinya sekarang.
Di luar jendela, hujan kembali turun, mengguyur bumi dengan lembut, seperti mencuci segala luka dan kenangan yang pernah tertinggal.
