Lingerie
Aku terus menatapnya dengan serius hingga tangan Mas Yusuf menekan angka-angka di tombol pintu.
31011994
Bukankah itu tanggal lahir Mas Yusuf? Duh, Gusti kenapa tak terpikir olehku sejak kemarin, hingga tak terjadi banyak drama.
Mataku kini melebar sempurna karena tak menyangka bayangan yang ditangkap oleh kamera itu. "Seorang gadis? Siapa dia?"
Aku syok!
Adiknya? Yah, pasti adik Mas Yusuf. Karena suamiku bilang dia tidak pernah melakukan hubungan dengan wanita mana pun. Apalagi sampai menghamili seseorang.
Mungkinkah, karena dia sedang frustasi atau lebih buruk mengalami gangguan jiwa, Mas Yusuf mengurungnya di sana. Dan priaku itu merahasiakannya karena malu padaku dan keluarga.
Lalu obat penguat kandungan itu? Apa berarti adiknya sedang hamil? Siapa yang menghamilinya? Pacarnya?
Kalau begitu, dugaan sementara, di dalam sana adalah adik Mas Yusuf, yang dihamili pacarnya. Karena pacarnya tak mau bertanggungjawab, gadis itu menjadi frustasi. Itu kenapa saat akad nikah, kudapati cakaran di tangan Mas Yusuf.
Kasihan sekali suamiku bebannya pasti berat. Menjaga seorang adik yang luar biasa menguras kesabaran. Pantas saja sikapnya tenang, seperti laut tanpa ombak. Dia telah terbiasa ditempa banyak kesulitan.
Tapi ... sejak kapan adiknya terkurung di sana? Ah, aku jadi sangat penasaran.
Suara ketukan dari arah pintu, membuatku terhenyak. Seketika kututup laptop tersebut. Takut kalau-kalau yang ada di sana adalah Mas Yusuf dan memergokiku tengah melakukan hal yang tak ia suka. Sebab, dia sudah bilang, belum waktunya mengatakan ini padaku.
Namun, saat menoleh, seorang yang tadi pagi menjatuhkan bungkusan obat penguat rahim tengah berdiri di depan pintu yang terbuka separuh.
Loh, kenapa dia berani naik ke lantai atas? Aneh sekali. Bukankah dia hanya tamu?
"Permisi," ucapnya sambil sedikit menunduk memberi hormat.
Sementara aku, yang terkejut tentu saja sontak bersembunyi di belakang sofa. Lantaran tengah tak memakai kerudung. Lagian, kenapa orang itu sembrono sekali masuk ke ruang privasi pemilik rumah?
Eh, bukannya dia menjauh malah mendekat padaku yang tengah malu terlihat auratnya.
"Maaf, Anda cari siapa?" tanyaku.
Pria itu malah melongok ke belakang sofa ruang kerja. Tidak tahu aturan! Ish, kenapa aku jadi gemas sama pria ini. Apa jangan-jangan dia sebenarnya seorang pria mesum.
"Aaa ...!" Aku bahkan sampai aku berteriak karena malu, juga takut.
Tak lama terdengar suara pria lain.
"Hei, sedang apa kamu di sini Zak?!" tanya pria yang suaranya sangat kukenali itu. Suara merdu yang membuatku belakangan rindu.
Mas Yusuf suamiku.
Syukurlah aku tertolong. Rupanya Mas Yusuf mengenal pria tersebut. Sedekat apa hubungan mereka, sampai loss gitu aja masuk ke dalam rumah? Risih sekali rasanya.
"Em, aku pikir ada orang yang bisa kusapa," jawab pria berkacamata tersebut.
Sementara aku masih meringkuk di belakang sofa.
"Dia Hanna, istriku. Kamu gak ingat?" Suara Mas Yusuf kembali terdengar.
"Em, ya. Yang tadi pagi? Aku gak lihat wajahnya jadi ga tau," sahut pria itu lagi. Jelas aja gak kelihatan, aku kan sembunyi karena malu auratku terlihat.
"His, kamu," desis Mas Yusuf. "Keluarlah! Dia malu."
"Ya, ya. Kamu habis ngapain, Cup? Selimutan gitu?" Pria itu terkekeh.
Kenapa 'Cup?' Apa itu panggilan kesayangan. Hemh. Lucu juga pria itu.
"Udah keluar, keluar." Mas Yusuf tampaknya mendorong pria itu. Benar. Mereka tampak dekat.
Setelah menutup pintu ruang kerja, Mas Yusuf ternyata kembali padaku.
"Keluarlah dari sana, Dik. Takut ada tikus!" serunya.
"Tikus?!" Aku terperanjat. Sontak saja berdiri sambil bergidik membayangkan tikus menempel di salah satu bagian tubuh.
Pria itu hanya tersenyum geli melihatku.
"Nakal, eh!" Aku mencebik ke arahnya.
Namun, begitu melihatnya yang masih belum berpakaian dan menutup tubuh asal dengan selimut aku jadi tertawa. Pantas saja pria tadi meledeknya.
"Sudah, tunggulah di sini. Biar Mas ambilkan kerudung," ucapnya sambil menjauh pergi.
Aku pun mengangguk. Lalu kembali duduk di sofa. Namun, saat mata tak sengaja menatap laptop di atas meja, aku segera bangkit dan memindahkannya ke laci meja, tanpa lebih dulu mematikannya.
Lalu cepat-cepat berlari ke arah sofa seolah aku tak menyentuh apapun di sana, hingga Mas Yusuf.
Tak lama suara derit pintu terdengar. Mas Yusuf datang membawakan kerudung buat istrinya, dia sendiri bahkan tak berpikir untuk memakai pakaian lebih dulu.
"Makasih, Mas." Kuraih kerudung yang Mas Yusuf sodorkan. Pria itu hanya menjawab dengan senyuman.
Lalu berjalan mendahuluiku, dan aku mengekor di belakangnya kembali ke kamar.
"Siapa orang tadi itu Mas?" tanyaku sambil berjalan.
"Oh, dia Zaky."
"Siapa dia?"
"Hem?" Mas Yusuf menoleh. Menatapku sebentar. "Jangan dipikirkan," sambungnya sambil membuang pandang ke arah lain.
"Hem?" Mataku mengecil melihat jawaban sekaligus ekspresinya.
"Kenapa?"
"Dia seorang dokter yang aku percayai selama bertahun-tahun," jawabnya kemudian. Tampaknya Mas Yusuf memahami kebingunganku mendengar jawabannya.
"Oh, apa untuk memeriksa dan merawat gadis dalam bilik itu," ceplosku.
Seketika langkah Mas Yusuf berhenti, hingga aku menabrak tubuhnya yang lebih tinggi dan besar. Wajahku sempet menempel di dada kekar pria itu yang tak terbungkus pakaian.
Aku segera menutup mulut begitu sadar bahwa tak seharusnya mengucap hal tersebut. Yang secara tidak langsung, telah memberitahu Mas Yusuf bahwa aku tahu siapa yang berada di balik bilik rahasia itu.
Matanya menyipit menatap lurus ke mataku, sampai aku menunduk, merasa bersalah dan takut sekaligus.
"Kamu ...?"
"Maaf, Mas," lirihku, sambil takut-takut menatapnya.
Namun, seperti biasa. Pria itu berusaha menampakkan aura yang tenang dengan menarik napas dalam-dalam. Rahangnya tampak mengeras. Seperti inikah ekspresinya saat marah? Atau sedang menahan marah.
Mas Yusuf mendesah. Lalu meninggalkanku pergi begitu saja ke arah kamar mandi.
Aku merasa sangat bersalah. Harusnya tak kubuka laptop itu jika memang Mas Yusuf belum siap memberitahukannya padaku.
________________
Aku yang sedari tadi tak tenang, tak tertarik untuk keluar melihat apa yang dokter tadi lakukan. Tak pula tertarik ingin ikut masuk ke bilik dan ikut melihat keadaan adiknya Mas Yusuf. Mereka pasti tak mengizinkan.
Jadi hal yang bisa kulakukan adalah menunggu Mas Yusuf selesai mandi dan meminta maaf padanya. Segera. Tak akan kubiarkan suami berlama-lama marah padaku. Karena surgaku ada di kakinya.
Suara derit pintu, seketika membuatku mendongak.
Pria itu berjalan lurus ke arah lemari dan mencari pakaian di sana sambil mengusap rambutnya. Aku segera mendekat, dan membantunya mengambilkan pakaian.
Mas Yusuf diam. Tapi tetap meraih pakaian yang telah kuambilkan untuknya.
Alhamdulillah. Dari situ aku tahu, rupanya dia gak marah-marah amat.
"Maaf, Mas," ucapku kemudian. Melihatnya tak menampakkan kemarahan aku jadi berani mengajaknya bicara.
Pria itu tak menjawab. Tangannya terus bergerak mengenakan pakaian menutup tubuhnya. Sebuah t-shirt dan celana jeans selutut. Hem. Aku baru tahu bahwa Mas Yusuf seorang pria yang modis.
Pakaian yang dikenakan, membuatnya tampak lebih muda dari umurnya. Dan tentu saja lebih tampan. Atau karena aku sedang menggilainya, ketampanan Mas Yusuf tampak bertambah-tambah.
Selesai memakai baju, dan menyisir rambut basahnya yang hitam, pria itu berjalan keluar begitu saja.
Aku mendesah. Dia membisu. Tak menjawab permintaan maafku. Yang artinya dalam diamnya, dia menyimpan kemarahan untukku.
Namun, tiba-tiba saja pria yang sudah mencapai pintu itu berbalik ke arahku.
"Lain kali jangan diulangi, Dik. Aku tak suka kamu mengabaikan keinginanku," ucapnya lembut.
Seketika aku tersenyum. Senang rupanya dia mau bicara.
"Iya, Mas!" ucapku senang.
Pria itu pun keluar dan menutup pintu. Dia pasti menemui Dokter Zaki. Aku pun bergerak dan berniat menyusul.
Namun, tak jauh dari pintu, terlihat Mas Yusuf dan dokter tadi tengah bicara serius. Hingga aku memilih tak keluar dan mengintip dengan membuka pintu sedikit. Lalu, si dokter memberikan dua tas belanja dengan merk sebuah toko.
Apa itu hadiah buat Mas Yusuf? Suamiku pun meraihnya dan tersenyum seolah tengah mengucap terimakasih.
Zaki lalu berjalan mendahului ke arah tangga. Sepertinya akan pergi. Mas Yusuf mengikutinya ke bawah.
Aku pun keluar. Penasaran dengan bungkusan yang suamiku tinggalkan kala mengantar dokter Zaky. Mataku berbinar kala mendapati gamis dan satu lagi berisi lingerie berwarna dusty ungu.
Ish nakal! Dia pasti sengaja memesannya agar aku bisa memakainya di depannya nanti. Tapi, dari mana dia tahu warna kesukaanku?
Ah, entahlah. Tak penting.
Sebaiknya aku pura-pura tak tahu. Agar bisa melihat tawa dan senyumnya saat aku menerima benda-benda ini.
_______________
Malam hari, saat aku keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf memanggilku agar mendekat.
"Ya, Mas?"
"Ini." Dia menyodorkan bungkusan tadi siang.
Mas Yusuf pasti sangat ingin aku memakai lingerie itu sekarang. Ah, aku jadi malu. Tapi, kenapa cuma ada satu bungkus. Apa Mas Yusuf menyatukannya agar ringkas?
"Wah, apa ini?" tanyaku pura-pura tak tahu bahwa isinya lingerie dan gamis.
Aku pun segera membukanya. "Makasih ya, Mas! Aku suka gamis dan ..." Seketika senyumku pudar kala meraba-raba isi tas tersebut. Kenapa cuma ada gamis? Ke mana lingerie tadi siang?
"Ya. Ada apa, Dik? Kenapa ekspresinya begitu? Apa Dik Hanna gak suka gamisnya?"
Aku menggeleng. "Em, apa cuma ini, Mas?" tanyaku penasaran apa lingerienya tertinggal di tempat dia menyimpannya tadi.
"Hah? Oh, Adik mau dua? Atau tiga? Oh, ya ampun maafkan Mas kalau gitu besok biar Mas pesankan lagi." Pria itu bicara, dan sepertinya memang tak berniat memberikan lingerie itu untukku.
Kalau begitu untuk siapa lingerie itu? Atau jangan-jangan gadis dalam bilik yang diurus dokter itu ... bukan adiknya? Tidak mungkin Mas Yusuf memberi adiknya sendiri sebuah lingerie? Untuk apa?
Bersambung
