Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Aku Butuh Pernyataan Cinta

Aku pun segera membukanya. "Makasih ya, Mas! Aku suka gamis dan ..." Seketika senyumku pudar kala meraba-raba isi tas tersebut. Kenapa cuma ada gamis? Ke mana lingerie tadi siang? Lingerie berwarna dusty pink dalam tas yang Mas Yusuf letakkan begitu saja kala mengantar sang dokter.

"Ya. Ada apa, Dik? Kenapa ekspresinya begitu? Apa Dik Hanna gak suka gamisnya?" Mas Yusuf heran melihat reaksiku yang penuh tanya ini.

Aku menggeleng. "Em, apa cuma ini, Mas?"

"Hah? Oh, Adik mau dua? Atau tiga? Oh, ya ampun maafkan Mas kalau gitu besok biar Mas pesankan lagi." Pria itu bicara, dan sepertinya memang tak berniat memberikan lingerie itu untukku.

Kalau begitu untuk siapa lingerie itu? Atau jangan-jangan gadis dalam bilik yang diurus dokter itu ... bukan adiknya?

"Aku maunya lingerie sih, Mas," ucapku memancing barang kali dengan begitu dia tersindir dan mengerti.

Aku harus tahu kemana perginya benda yang hanya digunakan perempuan saat menggoda suaminya itu berada. Memastikan bahwa ini tak ada hubungannya dengan wanita dalam bilik itu.

Kenapa jadi pikiranku kembali tak karuan sekarang. Untuk bertanya pada Mas Yusuf mengenai sosok gadis itu tak mungkin dia bilang belum siap mengatakannya dan aku harus menunggu.

Kalau aku memaksa membahas sekarang, yang ada hanyalah keributan. Belum tentu juga aku akan mendapatkannya. Mungkinkah jalan satu-satunya meminta bantuan pada Papa?

Tapi ... bagaimana kalau ternyata dia adalah istri Mas Yusuf? Apa aku akan kuat menerima kenyataan ini?

Aku menggeleng cepat. Tidak mungkin. Kalau dia istri Mas Yusuf berarti seharusnya dia hamil dengan Mas Yusuf? Atau dia berbohong? Ah, tidak. Aku bisa melihat kejujuran dari setiap kata-katanya.

Atau kemungkinan lain, jngan-jangan, istrinya diperkosa?

Tapi siapa pelakunya? Lalu kenapa harus menikahiku?

"Oh? Lingerie?" Pria itu tampak berpikir. "Kalau begitu nanti Mas belikan." Dia pun menjauh dan bergerak ke arah ranjang. Sindiranku tak berefek rupanya.

Langkahku pun refleks mengikuti sambil memegangi gamis yang dibelikannya di pangkuan.

Mas Yusuf kini duduk bersandar membaca sebuah jurnal. Entah, apa dalam pikirannya? Apa dia bisa menangkap sindiranku tadi atau tidak.

"Mas boleh tanya sesuatu." Kini, aku mencoba mengorek info lain dari pria yang tengah sibuk menatap deretan aksara di tangannya. Aku mencoba mengorek info sedikit demi sedikit.

"Hem?" Mas Yusuf menyahut.

"Mas dulu tahu aku dari siapa?" tanyaku sambil membolak-balik gamis di tangan.

"Temen, Dik."

"Temen?"

"Iya."

"Dia ingin Mas dapat gadis yang mengerti ilmu agama."

"Hem. Bukan karena ada kaitan dengan kejadian yang Mas alami?"

"Maksudnya, Dik?" Pria itu kini meletakkan benda di tangannya.

"Hem. Maksudnya siapa tahu Mas mengalami kejadian yang melibatkan aku di dalamnya, terus jatuh cinta gitu," jawabku sambil nyengir.

Mana mungkin aku bilang, jangan-jangan Mas Yusuf nikahin aku karena dendam dan benci pada seseorang, kemudian dilampiaskan padaku.

Pria itu malah tersenyum. "Ke mari!" Pria itu membuka kedua tangannya. Lalu menepuk ranjang di sebelahnya.

Jujur aku sangat senang karenanya Sikap Mas Yusuf membuatku merasa sangat diingini.

Hiss. Tapi kenapa dada sesak banget, sih? Gimana caranya supaya Mas Yusuf mengerti apa yang kurasakan sekarang? Bagaimana caraku bicara tanpa membuatnya merasa muak? Sebab dia bilang belum mau membahasnya. Tapi lingerie itu .... Ah, aku butuh penjelasan.

Kupaksa senyum tipis menghiasi wajah ini. Semoga saja dugaanku salah tentang wanita itu. Kini aku naik ke atas ranjang dan menyandar di sebelahnya.

Apa lebih baik begini saja? Pura-pura di depannya, tapi bergerak di belakangnya mencari tahu sendiri. Toh, aku sudah tahu kode bilik itu dan tahu di mana rekaman CCTV itu disimpan dan dioperasikan.

'Baiklah Mas, maaf. Mungkin kamu belum siap menceritakannya. Biar aku cari tau sendiri, tanpa menunggu kesiapanmu.'

"Adek mau pakai lingerie untuk apa?" Pria itu merapatkan tubuhnya dengan menyelipkan tangannya di bawah kepalaku, hingga posisi kepala berada di bahu Mas Yusuf sebagai bantal. Kami sama-sama menghadap ke atas.

"Menurut Mas?" tanyaku datar.

"Buat Maslah. Di depan Zaki tanpa kerudung aja Adik udah kalang kabut. Gimana pakai lingerie." Pria itu tersenyum.

"Hem. Itu tau."

"Tapi, tanpa Adik pakai seperti itu pun ...." Tangan Mas Yusuf menahan lenganku. Seketika mata ini melirik ke tangannya. Lalu kembali menatap langit-langit kamar.

"Mas sudah ...," sambungnya tertahan.

"Aduh!" seruku sambil memegangi perut. Pura-pura sakit. Sebelum dia sempat mengatakan ingin dilayani.

Mas Yusuf sontak menarik tangan, menarik tubuh dan memberi jarak antara kami. Mungkin maksudnya supaya bisa melihat kondisiku.

"Kamu gak papa, Dik?" Pria itu tampak panik. "Mana yang sakit?"

"Sebentar, Mas. Aku toilet dulu." Kusibak selimut yang tadi sempat Mas Yusuf tutupkan ke menutupiku.

Tak membuang kesempatan aku pun kabur ke toilet dan menguncinya. Di dalam ruangan yang berfungsi untuk membuang air itu aku mondar-mandir mencari cara menghindari Mas Yusuf.

"Dosa gak ya, kalau aku menolaknya? Secara dia suamiku, dan seorang istri tidak boleh menolak permintaan suami ketika menginginkannya. Apa kubuat syarat saja, dia tak boleh menyentuhku lagi, sebelum aku tahu posisi wanita dalam bilik itu untuknya?"

"Ah, nggak. Nggak mungkin. Aku juga manusia biasa. Meski menyimpan dongkol, curiga dan cemburu, kalo lihat senyumnya, hatiku langsung luluh. Ini pasti akan gagal."

Ya Rabb, aku akan berpura-pura sakit saja sembari mendapat jawaban atas pencarianku sendiri. Semoga Engkau mengampuni jika ini dosa.

Tak lama, aku pun ke luar. Dan mendapati kamar telah kosong. Ke mana perginya Mas Yusuf? Bukankah dia tadi bilang sudah mengantuk?

Jangan-jangan, karena tak mendapat jatah dariku, pria itu pergi ke bilik rahasianya dan sedang .... Ah, membayangkan itu membuatku gila!

Rasa penasaran menuntun langkah keluar kamar, menyusuri lorong gelap yang sebenarnya membuatku takut. Kupandangi kotak password. Apa perlu kutekan tombol dan mengintip aktififas Mas Yusuf di dalam sana? Aku menggeleng. Tak mungkin. Kalau kutekan angka-angka ini, secara otomatis orang di dalam sana menyadari keberadaanku.

"Dik." Suara bass Mas Yusuf memanggilku.

Seketika aku terperanjat. Menoleh ke asal suara. Dari depan sana, Mas Yusuf sudah melangkah mendekat membawa gelas di tangannya.

Ya Tuhan. Apa dia akan marah aku ada di sini? Apa ini awal dari cek-cok dan semuanya akan terbongkar?

"Adik sedang apa?" tanyanya dengan nada datar. Dia tak marah?

"Mas ke mana? Aku pikir ...."

"Mas ke dapur. Buatkan minuman hangat buat Dik Hanna supaya sakit perutnya tidak terlalu."

Aku menghela. Kenapa dia sebaik ini? Kalau begini akan membuatku merasa bersalah telah curiga yang tidak-tidak padanya.

Mas Yusuf tersenyum. Sementara satu tangannya memegang cangkir, satu tangannya yang lain mengusap pintu yang tampak tebal menutup bilik ini.

"Suatu saat tak akan ada rahasia di antara kita, Dik. Gadis yang Adek sebut di dalam sana, sangat memerlukan perlindungan, Mas," ucapnya.

Tuh, kan. Aku luluh lagi. Maaf, Mas. Tapi aku tak bisa bersabar sampai hari itu tiba. Aku akan mencari tahunya sendiri tanpa menunggunya darimu.

Bagaimana kalau ternyata aku hanya pelampiasan? Ajang balas dendam? Disentuh, bukan berarti dicintai. Bukankah sekali saja, dia belum pernah bilang cinta padaku.

Ah, kenapa pertanyaan itu selalu terulang-ulang?

Aku mengangguk. Mengiyakan semua kata-katanya. Seolah tengah setuju atas apa yang dibicarakannya.

"Terlepas dari siapa yang memerlukan perlindungan Mas di dalam sana. Apa ... Mas mencintaiku?" tanyaku begitu saja. Pertanyaan yang lahir dari sebuah harapan dan cinta yang muncul setelah dekat dengannya.

Mas Yusuf meletakkan gelas di nakas samping pintu, lalu menatapku dalam. Meski di sini gelap aku bisa melihat sorot matanya, karena jarak kami yang berdekatan.

Lelaki itu tiba-tiba saja mendaratkan sebuah kehangatan. Kupegangi bibirku setelah ia menarik tubuhnya.

Apa ini jawabannya?

Tidak bukan ini kumau! Aku ingin pernyataan cinta.

Namun, hati dan akalku sulit menolak ketika pria itu menghujaniku dengan kebahagiaan.

Ya Rabb. Kenapa Engkau buat hamba selemah ini terhadapnya?

Ke mana bulatnya tekadku saat di toilet tadi.

__________

"Dik, Mas berangkat." Pria itu menyodorkan tangan untuk kucium punggungnya.

Aku mengangguk. "Kenapa gak ambil cuti, Mas? Kita kan bisa berlibur."

Mas Yusuf tak menjawab dan malah menatap ke lantai dua. Apa maksudnya? Apa dia mau bilang tak bisa meninggalkan gadis itu?

"Oh, ya sudah. Pergi saja." Aku tersenyum. Seolah memahaminya.

Sejak kapan aku setegar ini? Duh, harusnya ku-dedes dia untuk bicara! Sisi manusiaku yang lain meronta-ronta.

Pria itu mengangguk. Dia memang pria perhatian. Tapi, untuk hal seperti ini dia memang tak peka.

Setelah memastikan mobil suamiku meninggalkan rumah, aku segera mengeluarkan ponsel. Aku berinisiatif berkunjung ke rumah Papa dan memastikan sesuatu.

"Assalamualaikum. Mbak."

"Ya, Na? Waalaikumsalam," jawab kakak iparku di ujung telepon.

"Mbak Mas Zidan kapan berangkat?"

"Siang ini, cek in jam 11 kayaknya, Na."

"Oh, bilang sama dia, tungguin aku, ya. Penting banget, nih."

"Hem? Ada masalah, Na?"

"Nggak Mbak. Cuma mau tanya sesuatu aja."

"Oh ya udah. Biar aku kasih tahu."

"Makasih, ya. Mbak. Makin sayang aku sama Mbak Indah."

"Ish ...."

"Ya, sudah. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Begitu panggilan ditutup, kupercepat langkah, setengah berlari untuk menaiki anak-anak tangga. Langkahku terus bergerak hingga ujung koridor.

"Bissmillah." Kutekan pasword yang kudapat dari laptop semalam dengan menekan tanggal kelahiran Mas Yusuf.

Jantungku berdebar hebat, bahkan lebih hebat saat Mas Yusuf pertama kali menyentuhku.

'Kamu kuat, Na! Kamu kuat!' Aku terus menguatkan hatiku sendiri.

Mataku melebar. Takjub dengan isi kamar itu. Tempat yang kupikir remang bahkan gelap, rupanya begitu terang. Kaca jendela besar yang diteralis itu, memberi pencahayaan yang cukup.

Ah, sudahlah. Aku tak punya waktu menilai tempat ini. Kakiku bergerak mendekati sesosok gadis di atas ranjang, berbaring membelakangi jendela.

Cairan saliva kutelan berkali-kali. Dia tidur. Seorang gadis yang tampak tenang dalam tidurnya yang pulas.

Cantik sekali ... kulit putih bersih, hidung mancung, alisnya yang rapi meski tanpa permak, bulu mata lentiknya, serta bibir yang memberi kesan aduhai.

Aku tak akan sanggup menahan cemburu, jika dia adalah istri Mas Yusuf.

Tidak membuang waktu kuarahkan kamera ke arahnya.

Namun, siapa duga. Matanya tiba-tiba terbuka saat cahaya blits mengenainya. Gadis itu mengerjap, lalu menatap ke arahku tanpa bangkit dari posisinya.

"Kamu siapa?"

Apa? Dia tak gila? Dia bisa mengenali seseorang? Tapi kenapa disembunyikan di sini?

Bersambung

Huah, apa Hanna bakal ngobrol dengan gadis di bawah selimut itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel