Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Aku Salah Duga

"Aku akan menjelaskan dengan cara lain," ucapnya yang kemudian memegangi tubuhku dan menggendongnya begitu saja, lalu berjalan meninggalkan ruang tamu. Jantungku seketika berdentum hebat.

"Sudah kubilang, aku tak akan menyembunyikan apapun," ucapnya. Kami sangat dekat, hingga kurasakan embusan napas hangatnya saat menerpa wajahku.

Apa yang akan dilakukannya sekarang? Apa aku akan dibawa ke bilik itu?

Aku bisa merasakan guncangan setiap kaki pria itu mendaki satu per satu anak tangga. Aku terus menatap ke wajahnya, apa yang sebenarnya pria itu pikirkan.

"Apa yang akan kamu lakukan, Mas?" tanyaku dengan menatap kesal tepat ke kedua matanya yang menatap ke depan.

Mas Yusuf melirik sebentar sambil tersenyum tipis.

"Aku akan memberikan semua yang kamu mau," ucapnya datar.

"Aku tak minta apapun, cinta atau nafkah batin darimu. Aku tak butuh! Turunkan aku sekarang. Aku ingin melihat video dalam laptop itu." Ucapanku sangat tajam.

Aku memang tak menginginkannya lagi. Kejadian buruk dan prasangka, semuanya menimbulkan kebencian lebih besar dibanding cinta yang tumbuh pada Mas Yusuf. Aku ingin sekali lepas darinya sekarang, akan tetapi tak berani memaksa turun, apalagi di tangga seperti ini. Bisa-bisa aku jatuh sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Mas Yusuf tersenyum masam. Dia tak mau menuruti kemauanku dan terus melangkah.

"Diamlah. Aku tahu apa yang kamu inginkan," ucapnya kemudian. Masih dengan nada datar.

Terbuat dari apa dia ini, sampai memiliki wajah setenang itu di saat-saat seperti ini. Akan lebih mudah menghadapi orang biasa yang cepat tersulut emosinya. Aku bisa puas duel, adu argument. Kalau begini ... menyebalkan sekali!

"Apa?!" tanyaku ketus.

Kini langkah Mas Yusuf sudah sampai tangga paling atas. Pria itu bergeming. Menakutkan sekali saat aku melihat ke bawah sana. Tangga yang tampak curam dan tinggi.

"Kenapa berhenti di sini? Agak ke sana!" Telunjukku mengarah tempat yang jauh dari ujung tangga ini.

Mas Yusuf tersenyum sinis. "Kamu mau menurut pada suamimu, atau kulepaskan ke bawah sana?" Kepalanya meneleng menunjuk anak tangga.

"Ap-apa?" Jantungku makin tak karuan.

Apakah benar dugaanku, dia seorang psikopat?

'Ya Rabb, tolong hamba. Jangan biarkan hamba mati sekarang.'

Mas Yusuf tak menjawab, dia hanya menaikkan dua alis tebalnya menunggu jawabanku.

"Jadi ini aslinya kamu, Mas?" Suaraku kembali pelan tapi juga menekan. Tak ingin terlihat lemah olehnya. Dan berusaha pasrah jika ini jalanku.

"Siapa yang membuatmu sakit hati? Dan kenapa kamu ingin aku merasakan hal yang sama?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja, ingat perbincangan di ruang kerjanya tadi.

Kami terus saling tatap, tatapan tajam seumpama pedang yang siap dihunus untuk musuhnya.

Lagi, pria itu tak menjawabku. Dan malah melakukan hal gila yang membuatku sesak karena mendekatkan wajahnya ke wajahku sampai tak ada jarak antara kami. Aku tak kuasa melakukan apapun apalagi melawan.

Apa dia gila melakukannya di ujung tangga ini? Apa dia mengajakku bunuh diri bersama?

Namun, rupanya dugaanku salah! Mas Yusuf kembali bergerak ke arah kamar kami dan menutup pintunya.

Dia baru melepaskanku ketika sampai di peraduan. Mas Yusuf menatap dengan tatapan aneh. Cinta yang kudamba sejak semalam, kini tampak menakutkan kala ia ingin memberikannya.

Tidak itu bukan cinta! Aku tahu ini bukan cinta!

"Hentikan! Aku tak akan melakukan apapun, atau melayanimu, Mas! Sebelum kamu menjelaskan semuanya," ucapku mengusap bibir kasar bekasnya. Lalu merangsek menjauh ke ujung dipan.

"Apa yang ingin kamu ketahui?" Mas Yusuf bertanya sambil melepas dasi yang masih melingkar di lehernya.

"Tentang bilik itu."

Pria itu manggut-manggut. Tangannya kini melepas jas yang membalut kemeja berwarna dongker.

"Apa lagi?" tanyanya yang kemudian melepas kancing kemeja di tangan.

"Tentang obat penguat kandungan. Siapa wanita yang kamu hamili? Sebelum jelas semuanya. Demi Allah aku tak rela kamu menyentuhku, Mas!" tekanku lagi sambil memegangi daster gamis bagian depan erat-erat.

Aku yakin ini tidak dosa. Tidak ada dosa membangkang pada suami yang dzolim seperti Mas Yusuf.

"Yah, kalau aku menjawabnya kamu akan melayaniku?" Kini yang tersisa hanya celana panjang yang melekat di tubuhnya.

Aku mengangguk ragu-ragu. Dia pun kini naik ke dipan dan mendekatiku.

"Tunggu!" Aku berteriak! Dan berhasil membuatnya membeku.

"Kenapa? Bukankah semalam kamu sangat menginginkanku?" Pria itu mengangkat satu alisnya dengan dua tangan terangkat

"Iya, itu sebelum aku tahu banyak hal aneh di rumah ini! Jika dugaanku benar, aku minta cerai, dan orang tuaku pasti akan mengurusnya sampai tuntas! Jadi jangan menyentuhku. Biarkan aku tetap suci dan mendapatkan suami yang baik!"

Aku bicara panjang lebar sambil memejam mata, berapi-api. Berharap pria itu mengerti posisiku.

Kudengar suara Mas Yusuf mendesah. Tak ada lagi pergerakan. Sampai kuberanikan diri membuka mata perlahan-lahan.

Pria itu bergeming menatapku dengan pandangan yang entah. Ternyata teriakanku berhasil. Dia perlu diancam rupanya.

"Aku akan memberitahu apa isi bilik itu nanti." Mas Yusuf memelankan suaranya.

"Kenapa nanti?"

"Sekarang bukan waktu yang tepat."

"Kenapa?"

"Karena belum tepat."

Aku menggeleng. "Jangan pernah menyentuhku dan ceraikan aku! Aku tak mau memiliki suami yang punya rahasia besar yang aneh, menghamili wanita lain, meski kalian sudah nikah siri!" Aku tak percaya akhirnya bisa mengatakan ini pada Mas Yusuf.

Pria itu menaikkan sebelah bibirnya. "Aku tak pernah menghamili siapapun."

"Apa?" Mataku melebar. Dari matanya aku bisa melihat kejujuran. Jadi dugaanku salah? Di bilik itu bukan simpanannya.

"Mungkin, aku menyembunyikan banyak hal, tapi aku tak suka berdusta. Bahkan kepada musuh sekalipun." Mas Yusuf mengucap dengan nada serius.

"Benarkah?"

Mas Yusuf mengangguk. Hatiku luruh seketika.

Aku jadi merasa bersalah karena telah menuduhnya macam-macam. Dan suasana ini jadi terasa canggung.

"Aku juga belum pernah melakukan hubungan suami istri dengan siapapun, itu kenapa sekarang aku sangat menginginkanmu," lanjutnya.

Aku menunduk dalam. Tak kuat menatap matanya. Ada sesuatu yang membuat jantungku kembali berdebar. Namun, kali ini iramanya berbeda.

Tanpa komando pria itu kini sudah mendaratkan sebuah ciuman lagi. Aku sontak mendorongnya karena terkejut.

"Tunggu! Mas janji akan memberi tahuku soal bilik itu?" tanyaku lagi.

Setidaknya dia tak punya wanita lain yang telah dihamili dalam bilik tersebut.

Dan apa isi bilik itu, dia juga akan menceritakannya. Tak mengapa kuserahkan milikku padanya. Dia suamiku dan kami halal untuk melakukan segala hal yang sebelumnya tak boleh dilakukan.

Mas Yusuf mengangguk. Meyakinkan hatiku yang sempat gundah.

"Kalau begitu lakukan!" titahku sambil menariknya. Lelaki itu tersenyum dan mengulang segala hal yang sebelumnya kutolak.

Untuk pertama kalinya, kami menyelami lautan cinta. Dihujani rindu menggebu, karena sama-sama menahan diri dari zina sejak lama. Seperti ini ternyata rasanya dunia milik berdua.

Aku mencintainya. Dia? Entah ... tapi bukankah aku yang pertama disentuhnya. Jadi aku yakin dia juga mencintaiku.

"Aku sangat mencintaimu, Mas! Tolong jangan dustai aku," bisikku yang dijawab pria itu dengan senyuman.

____________

Aku bangkit dari ranjang, di mana Mas Yusuf tertidur di sana. Dia tampak sangat kelelahan. Kupandangi wajah tampannya dalam posisi duduk condong persis ke wajah tampannya.

Wajah yang teduh dan menghangatkan hati ini.

Kutarik napas panjang. Legaaaa rasanya. Akhirnya rasaku terbalas. Dan yang paling penting hal buruk yang kubayangkan sebelumnya semua adalah salah.

Kugerakkan jari membelai rambutnya, tapi siapa sangka karena itu dia membuka matanya perlahan.

"Kamu mencintaiku, Dik?" tanya pelan.

Aku mengangguk lalu memberi kecupan cepat untuknya. Pria itu tersenyum.

"Tidurlah, Mas pasti lelah."

"Heem." Mas Yusuf mengangguk sambil memejam mata perlahan. Aku pun mengangkat tubuh dari ranjang dan berniat ke kamar.

"Aku tidak istirahat sejak semalam. Pernikahan ini sangat melelahkan," ucapnya seperti mengeluh. Suara itu membuatku menoleh seketika. Mencoba mencerna ucapannya.

'Pernikahan ini melelahkan?' Kukerutkan dahi. Kepalaku meneleng karena berpikir keras.

Ingin rasanya memperjelas hal itu, tapi dengkuran kecil terdengar dari mulutnya. Dia tertidur.

Aku pun mendesah, pergi meninggalkannya sembari menarik selimut dan membawanya ke kamar mandi menutupi tubuh.

Guyuran air membuat beberapa bagian tubuh terasa pedih. Namun, demikian aku bahagia. Aku telah menjadi seorang istri Muhammad Yusuf seutuhnya, pria tampan, santun, pengertian meski bicaranya seperti hantu, datar dan sikapnya seringkali dingin.

Selesai dengan itu, aku keluar dan memakai pakaian rapi kembali. Kutinggalkan Mas Yusuf yang tertidur pulas. Saat keluar pintu kamar, kutatap bilik di ujung koridor sejenak. Kali ini tak ada rasa sesak, sakit dan cemburu lagi. Kulengkungkan senyum, jika biasanya menatap kesal dan penuh tanya ke arah sana.

Aku pun melangkah pergi. Saat melewati ruang kerja yang terbuka, dan melihat laptop di atas meja, langkah ini seolah ada yang menuntun ke sana. Aku menarik napas, membuang rasa takut saat menyentuhnya.

"Apakah boleh aku membukanya? Mas Yusuf bilang akan menceritakannya di waktu tepat. Tapi saat ini adalah waktu yang tepat itu, untukku. Agar hatiku benar-benar lega, dan bisa mencintainya seutuhnya.

Bissmillah, aku pun akhirnya membukanya. Karena sebelumnya Mas Yusuf tidak mematikannya lebih dulu, begitu dibuka video langsung terputar seperti semula.

Aku terus menatapnya dengan serius hingga tangan Mas Yusuf menekan angka-angka di tombol pintu.

31011994

Bukankah itu tanggal lahir Mas Yusuf. Duh, Gusti kenapa tak terpikir olehku sejak kemarin.

Mataku kini melebar sempurna karena tak menyangka bayangan yang ditangkap oleh kamera itu. "Seorang gadis? Siapa dia?"

Bersambung

Wah siapa ya? Anak Bibi, adiknya, atau malah istrinya?

Kamu harus kuat Hanna.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel