Aku Tidak Menyembunyikan Apapun
"Ayo kita bicara, aku akan menceritakan semuanya," ucap lelaki itu.
Sontak saja aku yang melihat ke arah lain menatapnya, hingga kudapati Mas Yusuf menatap tajam ke arahku.
Dia sangat serius mengatakannya. Bahkan memakai aku dan padamu, bukan Mas atau Dik. Apa dia benar-benar akan menceritakan semuanya? Jika iya, ini kesempatanku mencecar sampai habis semua yang ingin aku tahu semuanya.
"Kamu akan mandi?" Mas Yusuf melirik handuk yang sudah nangkring di bahuku.
"Hem?"
"Mandilah! Aku akan menunggu di ruang kerja," ucap pria itu. "Aku juga perlu sholat lebih dulu," sambung Mas Yusuf, yang kemudian berbalik ke ruang lain yang juga masih di lantai dua. Tanpa menunggu persetujuanku.
Ya Rabb. Hamba deg-degan. Apa itu tadi? Kenapa dia sok keren begitu? Dia menyebut akan sholat. Yang artinya dia juga hati-hati mengenai kewajibannya. Apa itu artinya yang diceritakan nanti adalah suatu kebaikan. Entahlah.
Mendengar Mas Yusuf akan menceritakan semuanya, jantung ini degupnya tak karuan. Ini awal berjalannya hubungan kami, atau justru awal dari kehancuran?
Tak ingin membuang waktu terlalu lama, akhirnya aku masuk ke kamar mandi. Melanjutkan tujuan awal saat bangun dari tidur. Tak perlu waktu lama untuk mandi. Sekitar 10 menit sudah cukup. Bahkan dalam keadaan darurat, bisa selesai dalam 10 menit.
Hal itu sudah biasa kulakukan sejak berada di pesantren dulu. Karena harus mengantri menggunakan kamar mandi, kami tak boleh berlama-lama dan dzolim pada yang lain.
Saat keluar dari kamar mandi, dan tengah mengeringkan rambut dengan hairdryer, ponselku berbunyi. Seketika menoleh, dan kumatikan mesin pengering itu.
"Lho, Mbak Indah? Video call?"
Kupencet icon berwarna hijau di atas layar ponsel, dan menyapanya.
"Assalamualaikum, Na!" Suara kakak iparku terdengar begitu bersemangat. Dia lambaikan tangannya, lalu Zio yang ada di sampingnya juga melambai. Melihat latar, tampaknya mereka ada di dalam mobil.
"Waalaikumsalam. Mbak."
"Gimana? Udah enakan kamu?"
"Iya, Mbak. Alhamdulillah."
"Ouh, alhamdulillah."
"Ada apa, nih? Kalian mau ke mana?" tanyaku sambil mengerutkan kening.
"Hayo, coba tebak mau ke mana?" Bukannya menjawab Mbak Indah malah balik bertanya.
Kugedikkan bahu tanda tak tahu.
"Maaf ya, ganggu kamu."
"Iya, Mbak gak papa."
"Serius gak papa?" tanya Mbak Indah sambil senyum-senyum. Melihat ke arah Zio lalu seseorang yang ada di kursi depan.
"Iya."
"Iya, iya. Kelihatan kok. Pasti Yusuf ada di rumah, ya?"
"Hem? Kok tau?"
"Tuh rambutnya basah! Hihi. Pantesan tadi dicancel."
"Ish. Nggak gitu!" kilahku.
"Pengantin baru gitu, lho. Mana tahan gak deket-deket," godanya lagi.
Ck. Kalau saja apa yang dalam pikirannya benar, aku pasti akan sangat bahagia. Tapi, justru sekarang aku tak tahu apakah semua akan baik-baik saja atau justru pernikahan kami ada di ujung tanduk.
"Ya, udah. Ini Mas Zidan udah belokin mobilnya. Cepetan selesaiin pakai bajunya. Assalamualaikum."
"Belok? Ke mana?"
Belum lagi mendapat jawaban. Ponsel dimatikan begitu saja olehnya.
"Duh, kamu sangat semena-mena, Mbak!"
Belok ke mana? Ah, bodo-lah! Aku harus segera bicara dengan Mas Yusuf. Tak ada waktu memikirkan hal lain yang tak begitu penting.
Aku pun akhirnya mempercepat kegiatan, terkecuali untuk sholat. Untuk hal ini, harus hati-hati. Perlu dilakukan dengan penuh ketenangan dan menghayati kata demi kata demi mendapat kekhusyuan.
Untuk mendapatkan hal itu dalam sholat, kuputuskan menelan makanan setidaknya tiga suap untuk mengganjal perut.
"Kenapa Mas Yusuf bisa peka, dia tahu aku sedang kelaparan setelah bangun tidur?" gumamku sambil mengunyah makanan dengan cepat.
____________
Setelah memakai pakaian yang rapi, aku pun ke luar kamar. Tak sabar rasanya mendengar penuturan Mas Yusuf. Kuharap dia jujur, dan yang diceritakan adalah kebaikan.
Kuketuk pintu pelan sambil mengucap salam.
"Assalamualaikum, Mas."
"Waalaikumsalam." Mas Yusuf membuka pintu.
Wajah tampan nan berseri setelah kena air wudhu tampak datar tanpa ekspresi. Kenapa dia selalu terkesan dingin begitu? Apa artinya semua dugaanku benar?
Aku pun masuk ke dalam dan duduk di sofa. Sementara pria itu berjalan ke arah meja kerja di mana sebuah laptop bertengger di atasnya.
Mataku menyipit, apa dia akan memperlihatkan rekaman video CCTV padaku?
Pria itu tampak sibuk, sementara aku semakin deg-degan di sini. Tak berapa lama, pria itu membawa laptopnya ke arahku. Dia duduk di seberang tempat di mana aku duduk.
Ya Rabb. Apa aku siap dengan ini?
"Aku tidak akan menyembunyikan apa pun darimu, Dik Hanna." Mas Yusuf memulai ucapan. Kali ini memakai 'darimu dan Dik Hanna.'
Baiklah. Teruslah buat aku bingung dengan cara bicaramu. Aku mulai tak peduli dengan semua itu.
Suaranya merdu dan tenang. Intonasi bicara seseorang, mencerminkan isi dari hatinya.
Jelas hal tersebut berbanding terbalik dengan hatiku. Ada gejolak karena keanehan yang tampak di depan mataku sejak pertama kali datang ke rumah ini. Dari sana aku tahu pernikahan ini tidaklah sehat. Dan Mas Yusuf adalah penyebabnya.
"Ya, jangan bertele-tele." Aku sangat tak sabar. "Aku tak suka dibohongi." Mataku tiba-tiba terasa basah.
Mas Yusuf mengangguk. "Aku tahu apa yang kamu rasakan, tapi itu belum secuil dari rasa sakit yang kurasakan selama ini, Dik." Pria itu menyahut. Lagi-lagi suaranya datar.
Tapi apa maksudnya? Kami bahkan kenal belum lama. Siapa yang menyakitinya? Jika ada orang lain yang membuatnya terluka, lalu apa dia berhak membalasnya padaku?
Mas Yusuf lalu membalik laptop mengarah padaku. Dari sana aku bisa melihat rekaman dalam layar.
"Video ini akan menjelaskan semuanya, termasuk apa yang berada dalam bilik rahasia di ujung koridor."
Mataku menyipit. Itu adalah rekaman manual yang dibuat Mas Yusuf sendiri, bukan dari CCTV.
Mataku menyipit, tampak kamera mengarah ke lantai dua, lorong dan terus bergerak mendekat ke arah bilik. Hatiku makin tak karuan, apa yang ada di dalam sana?
Namun, sesuatu membuat kami terkejut.
"Hanna! Na! Assalamualaikum!" Suara seorang perempuan bereteriak memanggil namaku. Semakin lama, suara itu semakin dekat.
"Bukannya itu suara Mbak Indah?" ceplosku.
Mas Yusuf seketika menutup laptopnya tanpa mematikan lebih dulu. Pria itu tampak panik. Sikapnya membuatku merasa semakin yakin kalau sesuatu yang buruk tengah terjadi antara kami. Itu membuatku makin tak sabar ingin tahu semuanya.
Aku mendesah berat. Kenapa juga Mbak Indah datang di saat seperti ini?
Namun, kehadiranya memaksaku bangkit dan keluar untuk menemuinya. Begitu juga Mas Yusuf, tanpa komando dia mengikuti keluar ruangan.
"Hai!" Mbak Indah berjalan dari arah kamarku. "Wah, di sini ternyata. Ruang apa, nih, ruang kerja?"
"Em, Dik Mas ke bawah dulu," pamit Mas Yusuf mengucap canggung. Aku mengangguk. Kini dia memakai sapaan Mas lagi. Apa karena Mbak Indah? Dasar penipu, baik-baik di depan keluargaku. Sebelum melihat kenyataan aku tak bisa berprasangka baik padanya.
Di bawah sudah terdengar ribut, ada Zio dan Mas Zidan.
Punggung pria itu makin menjauh. Dia pasti ingin menyambut ayah dan anak di bawah sana.
"Cie, yang maunya dua-duaan terus ...," ledek Mbak Indah.
"Mbak Indah, eh. Dah dibilang jangan ke sini," ucapku pura-pura kesal, bergerak cepat ke kamar mengambil khimar, lalu mendahuluinya berjalan turun ke lantai bawah.
"Hiss segitunya. Sampe gak rela diganggu dan pisah sebentar." Wanita itu tak henti-hentinya menggoda.
Duh, padahal tadi tinggal dikiiiit lagi aku akan melihat isi bilik itu. Kenapa juga Mbak Indah datang? Mas Yusuf tampaknya juga tak mau orang lain mengetahui. Aku bisa melihat jelas dari wajahnya. Itu pasti rahasia yang sangat berharga. Bersyukur dia masih mau memperlihatkan padaku.
Sebenarnya apa yang terjadi, sih? Aku sudah penasaran sampai ke ubun-ubun.
Sekarang tugasku adalah membuat Mbak Indah cepat pulang.
"Lho, kalian sama siapa, Mbak?" tanyaku heran ada pria lain di samping Mas Zidan yang tengah menggendong Zio.
"Oh, itu Alex. Temen Masmu. Mereka kan udah temenan lama. Jadi dia yang sering pulang ke Indonesia, kebetulan ketemu dan janjian terbang bareng sore ini."
"Terbang bareng? Mas Zidan mau ke LN lagi?"
"Iya, mau gimana lagi? Tapi gak lama, besok juga pulang katanya. Makanya bareng si Alex sekalian nostalgia katanya," jawabnya yang kini berjalan sejajar denganku menuruni anak-anak tangga.
"Oh."
Aku terus menatap ke arah mereka. Mas Yusuf tampak tengah menyapa dan menyalami keduanya secara bergantian. Pria itu juga mengajak Zio bercanda. Hem, baru kali ini kulihat wajah Mas Yusuf seceria sekarang. Apa dia pura-pura? Ya, pasti. Apalagi?
Coba saja aku sudah melihat isi laptop tadi, dan menemukan bahwa yang kupikirkan adalah fakta, aku pasti sudah mengadu ada kakakku dan ikut mereka pulang. Meninggalkan semua kepura-puraan Mas Yusuf.
Setelah sampai bawah kami pun bergabung dan mengobrol bersama.
"Wah, Zio kenapa datangnya dadakan. Ammah lho tadi bilang gak usah ke sini!" ucapku menggoda Zio tapi melirik ke arah Mbak Indah.
Bocah berusia lima tahun itu hanya tertawa saja di gendongan ayahnya. Dia pasti sangat merindukan Mas Zidan sampai terus menempel begitu.
"Kan gak enak jadinya, soalnya ammah belum sempet beliin kado tadi," sambungku lagi.
"Ish, kamu ngomong apa, sih!? Kadonya nanti aja, biar Zio bisa request, ya Kak?" ucap Mbak Indah menyahut, seolah bertanya pada Zio.
"Minta yang mahal, Dek!" ledek Mas Zidan yang ikut menimpali.
Hal itu sontak membuat semua orang tertawa, aku, Mbak Indah, Alex ... tapi anehnya tidak dengan Mas Yusuf. Pria itu malah melihat ke arah lain dengan ekspresi yang aneh. Hanya senyum tipis tergambar di wajah rupawan itu.
Sepanjang kami mengobrol tadi, aku juga memergokinya mencuri pandang ke arah Mas Zidan dengan tatapan yang tak bisa kumengerti. Apa dia membencinya? Apa ini ada hubungannya dengan foto yang kutemukan tadi pagi di laci meja kerjanya? Mungkinkah? Tapi apa?
Selama satu jam penuh, mereka berada ada di rumah kami, dan akhirnya berpamitan pulang. Katanya mau ke aquarium raksasa atas permintaan Zio. Mumpung papanya masih di sini juga.
"Kamu yakin gak ikut, Na? Padahal ke sini niatnya mau ajak kamu sekalian biar rame?"
"Ah, nggak, Mbak. Aku lagi kurang sehat." Kupegangi tengkuk.
Duh, kenapa aku jadi ketularan Mas Yusuf cari-cari alasan dengan cara ini. Fix. Pria itu membawa pengaruh buruk padaku. Bukan hanya suka berprasangka, tapi jadi ga kreatif saat berbohong. Ah, aku mana suka berbohong? Setidaknya aku memang tidak enak badan karena pikiranku lelah.
Aku tak boleh ke mana-mana dan harus melihat isi laptop itu untuk tahu apa yang terjadi.
"Kami pulang dulu," ucap Mbak Indah yang sudah bergerak ke luar melewati pintu.
Mas Yusuf merangkulku, dan itu membuatku terhenyak tak menyangka. Apa ini? Apa dia ingin menyempurnakan sandiwaranya.
Pria itu terus menatap mereka yang berjalan semakin menjauh, dan kini tangannya yang melingkar tubuh hingga ke lengan terasa menekan. Erat.
Setelah mereka semua masuk ke dalam mobil, aku segera menjauhkan tubuh dari Mas Yusuf. Kini tak ada lagi yang mengganggu kami.
"Mas ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajakku tak sabar.
Mas Yusuf menatap ke arahku. Kami saling pandang untuk beberapa saat. Apa yang dipikirkannya sekarang.
"Aku berubah pikiran."
"Apa!?" Mataku melebar tak percaya. Bagaimana dia bisa berubah pikiran secepat itu? Apa ini ada kaitannya dengan kedatangan Mbak Indah?
Namun, bukannya menjawab dan memperjelas semuanya, Mas Yusuf malah mendekat lagi padaku.
"Ke-kenapa?" tanyaku tergagap. Sorot matanya aneh dan membuatku takut. Apa dia akan menyiksaku, tanpa memberitahu alasannya. Mengingat dia bilang rasa sakit yang kurasa tidak seberapa dengan rasa sakitnya.
"Aku akan menjelaskan dengan cara lain," ucapnya yang kemudian memegangi tubuhku dan menggendongnya begitu saja, lalu berjalan meninggalkan ruang tamu. Jantungku seketika berdentum hebat.
"Sudah kubilang, aku tak akan menyembunyikan apapun," ucapnya dengan tatapan intens. Kami sangat dekat, aku bahkan bisa merasakan hangat napasnya menerpa wajahku.
Apa yang akan dilakukannya sekarang? Apa aku akan dibawa ke bilik itu? Atau ....
Bersambung
