Pengakuan
Tidak membuang waktu kuarahkan kamera ke arahnya. Untuk mengambil foto dari wajah ayu itu.
Dadaku naik turun dengan jemari bergetar. Tak menyangka jika akan seberani ini. Nekad masuk ke kamar rahasia milik Mas Yusuf, meski pria itu memintaku bersabar.
Maaf, Mas. Aku tak bisa. Aku tak mau terus hidup larut dalam prasangka. Bukan hanya menyiksa, tapi juga menimbulkan banyak dosa.
Namun, siapa duga. Mata gadis itu tiba-tiba terbuka saat cahaya blits mengenainya. Ia mengerjap, lalu menatap ke arahku tanpa bangkit dari posisinya.
"Kamu siapa?" Suaranya lemah dengan sorot sayu.
Apa? Dia tak gila? Dia bisa mengenali seseorang? Tapi kenapa disembunyikan di sini?
Aku yang terkejut. Mundur hingga punggung menubruk kulkas di kamar itu.
"Ah!"
Mas Yusuf rupanya menyiapkan banyak kebutuhan gadis itu, pantas saja dia bisa hidup tanpa keluar kamar. Di sini juga ada kamar mandi. Ah, kalau dia bisa menjaga diri sendiri dan mandiri. Mustahil kalau Mas Yusuf yang memandikannya setiap hari! Itu artinya dia memang tak gila
Namun, tak berapa lama mata gadis itu melebar. Lalu duduk dengan cepat, hingga selimut yang menutupinya jatuh dan memperlihatkan lingerie berwarna dusty ungu yang dikenakan, juga bagian perutnya yang buncit. Dia memang hamil!
Dan lingerie itu, adalah pakaian yang kupikir akan Mas Yusuf berikan padaku. Ternyata benar yang kupikirkan sejak tadi malam.
Tak terasa air mataku menetes. Mas Yusuf telah membohongiku. Dia bilang tak menghamili siapapun. Tapi lingerie itu, bukti bahwa dia bukan adiknya. Mana ada pria memberikan lingerie pada adiknya?
Kamu jahat, Mas! Aku benci padamu!
"Arghh!!!!"
Wanita itu menjerit, dengan mengarahkan telunjuk padaku. Kuusap air mata kasar lantaran panik. Takut jika dia tiba-tiba menyerang, aku pun segera berlari ke luar dan menutup pintunya kembali.
Napasku tersengal menyandar di pintu. Lalu tubuh luruh ke lantai dengan kondisi memeluk lutut. Tubuhku terguncang karwna isak tangis yang bisa ditahan.
Aku takut. Sangat takut. Bukan hanya pada sosok yang telah meneriakiku tadi, tapi juga, jika ternyata aku bukan satu-satunya wanita Mas Yusuf.
Pria itu pasti sangat mencintainya. Sampai dia mengurus kehidupannya di balik bilik. Lalu aku? Untuk apa keberadaanku jika dia sudah memilki kekasih di dalam sana? Kekasih yang dia cintai, dan mendapat pernyataan cinta berkali-kali dari Mas Yusuf.
Lalu tadi malam dan kemarin, dia mengalihkan perhatianku saat ingin tahu apa yang dibilik dengan menyentuhku. Seolah kami tengah memadu kasih yang palsu. Semua hanya kebohongan.
"Non!" panggil seseorang. Saat mendongak Bibi dan anak perempuannya berdiri di depanku dan panik.
Kuusap air mataku kasar. Mencoba menetralisir rasa sakit dalam dada. Agar Bibi tak curiga. Aku tak mungkin menceritakan apa yang kulihat pada orang lain.
"Non, ada apa? Kenapa Non berteriak? Apa terjadi sesuatu?" Wanita itu bertanya panik.
"Ehm. Bi." Aku segera bangkit dan berdiri mensejajari posisi mereka. "Gak papa, Bi. Maaf saya hanya terkejut."
"Tapi Non nangis."
Aku berusaha tersenyum, tertawa garing kwmudian. Menyembunyikan apa yang kurasa. "Maaf kalau membuat Bibi dan Mbak cemas, saya hanya terkejut. Ini tadi kena debu, pas ngusap dinding. Hahaha."
"O ... oh." Mulut Bibi membulat, tapi pandangan mata tuanya menyorot sekeliling dengan tatapan menyelidik heran.
"Em, oya, Bi sebaiknya kita keluar dari sini. Saya takut Mas Yusuf ...."
"Ah, ya, Non," sahut Bibi cepat. Tak lama wanita tua tersebut bergerak menjauh dari ujung koridor gelap ini. Diikuti puterinya yang berjalan pelan sambil memegangi perut.
Aku mendesah panjang. Kalau sudah begini niatku pergi ke rumah Papa untuk berkunjung, sebaiknya kuubah jadi tetap berada di sana dan tak kembali. Ah, entah apa ini boleh, sementara aku belum dapat penjelasan dari Mas Yusuf? Tuhan, hamba mohon petunjuk-Mu.
_____________
Begitu turun dari mobil, aku segera masuk ke dalam rumah. Beberapa pelayan yang membantu di rumah, senyum-senyum saat melihatku. Barangkali karena ingin menggodaku sebagai pengantin baru.
"Lho, pengantin baru kok datang sendiri?" seloroh Mama yang melihat kedatanganku.
"Assalamualaikum, Ma," ucapku yang menghambur ke arah wanita paruh baya itu.
"Waalaikumsalam," jawabnya sembari tersenyum mengusap kepalaku yang terbalut kerudung sambil tersenyum.
Hatiku selalu teduh memandang wajahnya. Dialah yang selalu mengingatkanku untuk tetap berada dalam lingkup agama. Beliau juga yang memperjuangkan sampai aku bisa masuk ke pondok. Berbeda sekali dengan Papa yang justru mencoba memaksaku masuk jurusan akuntansi. Berharap ikut meneruskan bisnis keluarga.
Syukurnya ada Mas Zidan. Dia sudah mampu memegang semua sendiri. Dan lagi, semakin ke sini aku sendiri mengerti bahwa seorang wanita tidak memiliki kewajiban bekerja dan mencari nafkah.
Mereka cukup berada di rumah, melayani dan menjaga harta serta kehormatan sang suami, setelah taat pada Allah dan RasulNya. Maka itu cukup membawanya pada surga.
Lagi pula, harta keluarga sudah luber-luber, kenapa pula Papa tetap berjuang sekeras sekarang. Bukankah harta yang dia upayakan tak akan dibawa mati?
"Ma, Mas Zidan ada?" tanyaku pada Mama.
"Hem, ada di atas." Mama mengangakat kedua alis, lalu menunjuk lantai atas.
"Oh," sahutku yang bergegas begitu saja ke sana. "Hanna ke sana dulu, Ma."
"Na, tunggu! Kamu gimana di sana?!" seru Mama.
Dia pasti geleng-geleng lihat kelakuan anaknya. Semalam Mama menelponku. Pasti karena Mbak Indah bilang aku sempat sakit. Tapi, karena sedang bersama Mas Yusuf, aku tak mengangkat. Lantaran suasana sedang panas-panasnya.
Ah, kenapa aku kesal ingat kejadian itu? Kenapa juga harus memilki suami sepertinya?
Astagfirullah ... gara-gara kecewa dengannya aku sampai lupa bahwa ini semua adalah takdir.
"Hai Ammah Hanna!" seru kakak iparku yang akan berjalan ke bawah.
Aku yang sudah berada di lantai atas, bahkan tak peduli pada sapaan Mbak Indah. Dan bergerak cepat ke arah Mas Zidan yang ternyata tengah mengobrol dengan Alex, sahabatnya daro luar negeri.
"Mas, maaf aku ganggu!" ucapku dengan napas tersengal karena lelah berlari-larian kecil dari lantai satu.
"Hem?" Mas Zidan seketika menoleh melihat kehadiranku. Begitu juga Alex. "Hanna? Sejak kapan di sini?"
"Ini baru aja langsung nemui, Mas," ucapku sambil merogoh ponsel. Kenapa aku yakin perempuan hamil itu ada hubungannya dengan arloji Mas Zidan. Aku takut jika ternyata kakakkulah pelakunya.
Kusodorkan gambar perempuan di balik bilik yang membuatku sangat cemburu.
"Kenal dia gak?" tanyaku.
Mas Zidan melihat agak lama. Dia sampai mengerutkan kening. Lalu menggeleng.
"Siapa, Na. Mantan Mas Zidan?" Rupanya Mbak Indah berbalik mengikutiku dan kini tengah berdiri di belakangku. Mendengar pertanyaan itu sontak saja Mas Zidan mencebik sambil menggeleng.
Namun, hal lain mengejutkan terjadi justru Alexlah yang bereaksi.
"Gadis itu ...!" ceplosnya. Namun, tertahan seolah dia tiba-tiba ingat sesuatu.
"Kamu kenal?" tanya Zidan.
Alex nyengir sambil menggeleng. "Aku salah lihat sepertinya."
Kenapa pria itu aneh sekali. Aku sampai memicingkan mata ke arahnya. Apa dia mengenal gadis dalam bilik? Tapi apa mungkin dunia sesempit itu?
Langkah selanjutnya akan kulakukan demi kejelasan hubunganku dengan Mas Yusuf. Aku pun menarik tangan Mbak Indah minta diantar di mana semua arloji Mas Zidan disimpan.
Namun, saat memeriksanya satu-satu. Tak ada satupun yang mirip dengan gambar yang kudapat dari laci ruang kerja Mas Yusuf di rumah.
Aku mendesah panjang. Merasa semua sia-sia. Entah, cara apalagi yang bisa kutempuh?
"Kenapa, Na? Ada masalah?" tanya Mbak Indah heran melihat sikapku.
Aku menggeleng. "Nggak, Mbak. Aku baik-baik saja seperti biasa."
Usai semua itu, aku pun berpamitan pergi. Akhirnya kuputuskan pulang. Menemui Mas Yusuf. Bersabar. Aku ini seorang muslimah. Masalah harus jelas sebelum marah pada suaminya.
Sampai di rumah, aku heran melihat mobil Mas Yusuf. "Loh?" Bukankah seharusnya dia kerja?
Aku pun bergegas turun dan masuk ke dalam. Namun, baru saja Bibi membuka pintu, Mas Yusuf menghambur dan menarik kasar lenganku.
"Au, Mas! Sakit! Kenapa Mas kaya gini?" tanyaku sambil mengaduh.
Namun, pria itu terus berjalan tanpa suara. Bisa kulihat wajah itu tengah menyimpan emosi.
Begitu sampai kamar pria itu melepas tanganku dengan mendorong kasar.
"Katakan! Kenapa kamu masuk bilik itu!" Suara Mas Yusuf langsung meninggi. Kali ini kilatan amarah bisa kulihat dengan jelas dari dua mata elangnya yang menyorot tajam ke kedua mataku.
Dia marah sekarang. Kupikir dia tidak tahu bagaimana ekspresi seseorang yang sedang marah. Aku salah.
"Iya kenapa? Kenapa Mas marah?! Siapa gadis itu? Kalau dia adik Mas yang membutuhkan perlindungan Mas, kenapa membelikannya lingerie? Apa dia gundik Mas? Lalu aku apa?"
Aku yang mencoba bersabar atas semua rahasianya yang menjijikkan, ikut emosi. Kenapa dia yang membentak? Akulah yang ditipu!
Mas Yusuf yang dadanya naik turun karena emosi tiba-tiba bergeming.
"Jaga ucapanmu! Aku bukan pria yang suka menyakiti wanita dan memaksanya! Dia juga bukan adikku!"
Deg. Seketika air mata menerobos membasahi pipi. Kalau bukan adiknya lalu siapa?
"Lalu siapa?!" ucapku menyolot.
"Dia istriku! Puas!!!" teriaknya lagi persis di depan wajahku.
Seketika tubuhku luruh. Rasanya seperti disambar petir ketika mendengar pengakuannya. Kalau begitu? Bagaimana hidupku ke depan, Mas?
Bersambung
