Bab 8 Ayo Se-ko-lah
Bab 8 Ayo Se-ko-lah
Rambut gondrong sedikit ikal saingan Raisa dan Isyana berkibar di bawah terik senja. Kaki bercelana ¾ mengayuh sepeda federal kesayangannya. Tas pinggang yang tersampir di punggungnya dan masker di wajahnya. Sekilas Hasbi terlihat cakep karena mata Hasbi yang cukup tajam. SE-KI-LAS. Tapi tidak ketika Hasbi mulai bersuara dan bertingkah.
Bukannya terpukau, orang-orang mungkin akan menjauh karena tingkahnya yang nauzubillah.
Kayak sekarang, bukannya bersepeda dengan lurus, ikut jalur dan patuh lalu lintas, Hasbi justru malah mengangkat tangannya seperti menembak dan menggumamkan, “Ha.. Haa.. Haa… Ha… you like that, tereret ret ret ret ret ret.” Ia kemudian melajukan sepedanya dengan berkelok-kelok seolah hanya dia yang bersepeda kala itu.
Padahal mah, orang-orang yang ada di belakangnya mengumpat karena tidak bisa membalap Hasbi.
Mungkin sebentar lagi Hasbi akan menyaingi ibu-ibu pemotor sein kanan belok kiri atau remaja abege yang berbonceng 3 dan berlenggak lenggok. Faktanya, ya memang itu adanya. Setelah dia berlenggok ke kiri, dia langsung banting stir ke kanan. Untung saja pemotor di belakangnya msih punya waktu untuk mengerem. Kalau tidak, mungkin nyawa Hasbi harus ditukar dulu dengan kucing biar ada cadangannya.
Setelah berbelok, Hasbi memasuki kampung tempat tinggalnya. Sesekali, dia menyapa tetangganya yang nongkrong di dekat gapura atau di pinggir jalan. Maklum, dia masih idup di kampung. Hidup di kampung khususnya di pinggiran itu berat cuy. Kalau nggak grapyak (saling sapa) ya siap-siap saja, nikah sambat dewe (nikah kerja sendiri). Tidak ada yang akan mau nyinom (menyajikan makanan dan minuman untuk tamu). Tidak ada yang rewang (membuat makanan untuk disajikan). Pokoknya berat resikoknya kalau kamu nggak mau saling sapa.
Ckitttt… Bruk…
Hasbi memarkirkan sepedanya di depan rumahnya. Ia kemudian masuk dan duduk di ruang tamu sambil ke menarik nafas dalam. Mencoba menenangkan debaran jantungnya tak kalah dari gedoran pintu pak Badri saat ia dikunci dari dalam oleh istrinya. Hasbi kemudian menyandarkan kepalanya di sandaran sofa yang sudah kumal.
“Dari mana, Bi?” tanya ibunya berjalan dari dapur membawa senampan cabe yang hendak dikeringkan.
“Oh ini, dari beliin Hamash HP buk,” jawab Hasbi sambil menepuk tas yang tersampir di depan tubuhnya.
“Hp? Duit dari mana Bi? Togel lagi?” tanya ibunya Hasbi sambil memicingkan matanya ke Hasbi. Sang Ibu tidak percaya Hasbi memiliki uang yang banyak untuk membeli hp.
“Ehmmm…”
“Ehmm?”
Hasbi gelagapan melihat ibunya. “Ayo Hasbi, mikir!” perintah Hasbi dalam hati. “Ehm, enggak lah Bu. Ini minjem duit temen dulu.”
“Kok minjem sih?” Ibunya ini paling anti dengan yang namanya ngutang. Kata Beliau, miskin boleh tapi jangan hilang harga diri. Beliau juga bilang, ngutang boleh, asal kepepet dan bisa dibalikin.
“Urgent Bu. Kepepet. Kalau nggak minjem, Hamash nggak bisa belajar. Ya kali harus minjem ponsel tetangga mulu Bu.” Ini nggak bohong sepenuhnya, dosaku setengah aja kan ya? Kan emang beneran minjem tapi dari togel juga sih, togel online.
Hasbi dan ibunya bertatap-tatapan. Saling memicing dan mencari kebenaran. “Tarik Sis!!! Semongko!!! Ahahahhaa.” Tiba-tiba terdengar gurauan anak-anak yang lewat di depan rumah Hasbi yang membuat pertaruangan mata yang sengit antara Hasbi dan Ibunya harus berakhir.
Ibunya terlihat membenarkan dasternya yang sama sekali tidak terlihat kumal. Sedangkan Hasbi bersandar kembali ke sofa kumal. “Ya udah, Ibuk mau jemur cabe dulu terus ke rumah Bu Bardi dulu. Rewang.” Tanpa menunggu jawaban Hasbi, Sang Ibu pun langsung pergi keluar.
***
Hamash dan ibunya saling berpandangan dan mengirimkan kode. Seakan setiap gerakan matanya berisi sandi yang hanya bisa dimengerti oleh ibu-anak tersebut. “Hoaammm!!!” Hasbi menguap lebar sambil berbaring miring dengan tangan yang dijadikan sebagai bantal. “Ajaranya nggak ada yang seru.”
“Tumben di rumah, Bi?” tanya ibunya sambil mengupas kacang yang akan disangrai.
“Ya nggak papa Bu. Lagi males keluar.” Hamash dan ibunya yang duduk di sofa kembali saling berpandangan. Seorang Hasbi yang hobi kelayapan entah kemana, tiba-tiba di rumah seharian dan bilang malas untuk keluar.
“Nggak ke poskamling?”
“Ngapain Bu?”
“Biasanya kan kamu kalau malam selalu ke sana? Lha iki, tumben tenan nang omah. Koe seh waras to Bi? (Lha ini, tumben sekali ada di rumah. Kamu masih waras kan Bi?)”
Hasbi melirik ke arah ibunya. “Ya masih to Bu, kalau enggak, aku udah main pasaran sama Mbak Yuyun di gapura sana,” jawab Hasbi dengan nada kesal. Bagaimana tidak kesal, masa anak waras nan guanteng kayak begini dibilang gila. Ya walaupun warasnya masih di atas Mbak Yuyun, tapi kan itungannya Hasbi masih waras.
“Lha pie sing ra bingung, koe wes nang omah terus rep 2 minggu lho, Bi. Tenan to, iseh waras? Ora dadi buronan pak Pulisi? (lha gimana nggak bingung, kamu di rumah terus udah hampir 2 minggu lho, Bi. Beneran kan masih waras? Bukan menjadi buronan pak Polisi?”
Hasbi sedikit tersentak. “Ya nggak papa Bu. Apa aku nggak boleh di rumah?” Sebenarnya, Hasbi di rumah pun juga karena Dika. Setelah ia membeli ponsel untuk Hamash, Hasbi mendapatkan pesan dari Dika untuk jangan terlalu sering di luar rumah dan jangan bermain judi dulu. Ketika ditanya mengapa, Dika hanya menjawab untuk menunggu saat yang tepat. Setelah itu, Dika seperti ditelan laut selatan. Mungkin saat ini dia sedang menghapus jejak atau justru menjadi empan Nyai Rodo Kidul.
“Yang bilang nggak boleh tuh siapa?” Ibu Hasbi kemudian menjejalkan kacang mentah ke mulut Hasbi. Hasbi kaget tapi tetap, hidup nguyah! “Ibu tuh Cuma khawatir, jangan-jangan kamu kena sawan (guna-guna). Kan ibu juga yang repot kalau warasmu makin berkurang Bi!” Hasbi hanya mencebik sedangkan Hamash terkikih mendengar jawaban ibunya. Hamash semakin tertawa saat Hasbi memukul kakinya dan menariknya hingga terduduk ke bawah.
“Wes to, tekno adimu. Ndak mengko ngompo! (sudahlah, biarkan adikmu. Biar nanti tidak ngompol!)” kata Ibu Hasbi sampil menggeplak tangan Hasbi.
“Ibuk!!! Aku nggak ngompol!!!” bantah Hamash. “Cuma keluar airnya aja dari bawah,” sambung Hamash lirih. Hasbi yang mendengarnya hanya tertawa ngakak.
“Huuuu, njijiki! (menjijikkan!)”
“Mas!!!”
***
Rehatnya Hasbi dari dunia perjudian, tewww, membuat Hasbi semakin memperhatikan sekolahnya. Ia mulai terlihat rajin bahkan gurunya pun ikut heran. Kesambet setan rajin dari mana ini si Hasbi?
Untuk belajar, biasanya, dia hanya akan fokus di rumah karena hingga saat ini, ia belum bisa sekolah secara langsung. Terima kasih pandemi, kamu mengabulkan keinginan untuk libur yang suangaaattt panjang.
Namun, dibilang libur juga nggak 100% libur karena harus mengerjakan tugas. Memang sih, enak karena bisa bangun siang, tapi banyak nggak enaknya. Harus belajar sendiri, ngerjain tugas, praktek, belum lagi biaya sekolah yang tetap harus dibayarkan. Sumpah, kapok deh! Nggak lagi-lagi minta libur panjang kalau akhirnya kayak begini.
Namun, setelah sekian lama Hasbi menunggu, akhirnya, ulampun tiba. Hari ini, seluruh siswa harus datang ke sekolah untuk mengambil kertas ujian. Elah, masuk-masuk kok langsung ujian?
Dengan berat hati, Hasbi mengayuh sepedanya ke sekolah. Untungnya, seragam sekolahnya masih licin saking lamanya tersimpan di lemari. Mungkin kalau cicak jatuh ke seragamnya, tuh cicak bakal tergelincir.
Tak lama kemudian, Hasbi sampai di sekolahnya. Di depan gerbang, ia ditodong oleh pak satpam menggunakan termogun. “Saya menyerah Pak!” kata Hasbi sambil mengangkat tangan.
“Gundulmu!”
“Saya nggak gundul lho Pak!” Sambil terkekeh, Hasbi meninggalkan satpam dan menuju ke tempat parkir.
Setelah turun dari sepeda, ia berjalan ke ruang kelasnya sambil mengambil karet gelang di kantongnya yang ia dari laci ibunya. Ia kemudian mengikat rambut gondrongnya. Setelah itu merapikan tampilannya. Ya, sekali-kali tampil rapi dan cakep biar ada yang melirik. Apalagi di ujung lorong sana, ada Moza. Beuh, ayune! (Cantiknya!)
Moza ini tipikal bad girl yang muncul dari komik. Manis, berambut sebahu, mata belo, bibir merah, tingginya sedang-sedang saja, suka pakai rok di atas lutut dan tentunya, high class. Mungkin kalau Hasbi jadi pacarnya, Hasbi harus jual ginjal dulu baru bisa dikatakan layak buat jalan bareng Moza. Nakal tapi royal. Sedap kan itu? Apalagi auranya itu yang euh, nggak bisa ditolak. Pesonanya susah ditolak dan membuat banyak pria, termasuk Hasbi tak akan membuang waktu untuk bisa menatap Moza lebih lama. Hasbi bahkan melambatkan langkah kakinya agar bisa memandang Moza lebih lama.
Eh emang dasar nasibnya si Hasbi, bukannya dapat lirikan dari Moza, yang ada justru seseorang yang menarik kuncir rambutnya. “Kamu ikut ibu!” kata guru BP sambil menarik Hasbi.
Ya, selamat datang kembali di ruang BP, Hasbi!
***
