Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#5 Amarah

(PoV Nandi)

Selepas shalat Isya, kusempatkan diri untuk bertilawah. Sekedar membaca dua hingga tiga ayat Al-Qur'an. Semenjak kepergian istriku untuk menjadi pahlawan devisa, aku memang lebih memilih mendekatkan diri pada yang Maha Kuasa. Hal itu kulakukan semata karena ingin menjaga wibawaku sebagai suami. Aku pun berniat untuk selalu menundukan pandanganku pada lawan jenis. Ada hati yang harus kujaga.

Begitu banyak kisah yang kudengar dari orang-orang terdekat kalau membiarkan istri pergi merantau ke Taiwan seperti menggali lubang sendiri. Sudah banyak rumah tangga yang berakhir berantakan dan bercerai-berai saat kembali dari perantauan. Awalnya aku tak percaya semua itu, karena aku sangan percaya dan yakin denga Risa, istriku. Dia adalah gadis polos saat aku menikahinya dulu. Tidak mungkin dan tidak pernah terlintas sedikit pun di benakku jika dia akan berkhianat dariku.

Tidak, sampai dia kini pulang dalam keadaan sedang berbadan dua. Sungguh suatu kenyataan yang memukul telak diriku. Harga diriku sebagai suami seakan tak punya arti apa-apa lagi. Risa dengan mudahnya menyerahkan tubuhnya pada pria lain. Sakit, namun tak berdarah. Inilah yang kurasakan kini setelah kepulangan Risa.

Bukanlah rasa haru dan bahagia karena dapat berjumpa lagi dengan istri yang amat kusayangi. Melainkan sebuah pengkhianatan yang sangat menyakitkan kudapatkan dari Risa. Ironis sekali hidupku ini! Penantian panjangku dibalas dengan perselingkuhannya.

*

Dahulu saat istriku masih berada di negara tempatnya bekerja, selama sebulan sekali, aku selalu mengadakan pengajian rutin untuk mendoakan istriku. Dengan mengundang tetangga sekitar serta beberapa anak yatim dan orang jompo. Hal itu semata kulakukan untuk mendoakan istriku di sana agar senantiasa berada dalam lindungan-Nya. Tapi, sekali lagi. Dia telah menoreh luka yang sangat dalam di hatiku.

Aku selalu menyisihkan sebagian uang dari gajiku yang memang tak seberapa itu untuk mengadakan pengajian tiap bulannya. Bahkan, aku pun tak berniat menikmati hasil jerih payah istriku. Kubiarkan gajinya disimpan sendiri, agar ia dapat menabungnya sendiri untuk suatu saat bisa dijadikan modal usaha saat dia kembali pulang ke rumah.

***

Pintu rumah terdengar diketuk dari luar. Aku yang baru saja menyelesaikan tilawahku segera beranjak untuk membuka pintu. Pintu pun terbuka, dan alangkah terkejutnya aku melihat seseorang yang berdiri di belakang pintu itu. Terutama, penampilannya yang sangat mencolok membuatku terperanjat.

Bagaikan sebuah mimpi, istriku sudah berada di hadapanku saat ini. Di satu sisi aku bahagia, karena rindu yang menggebu ini sudah ada penawarnya. Namun, sisi hati yang lain merasa sedih. Melihat penampilannya yang berubah 180 derajat.

"Dek, kamu ...." Ucapanku terpotong oleh suaranya.

"Kejutan!" ucapnya enteng tanpa beban. Senyum sumringah langsung tersungging begitu saja.

"Kok nggak bilang kalo mau pulang, Dek. Mas kan bisa jemput kamu," protesku. Aku khawatir. Perjalanan dari Jakarta ke kampung halaman ini memakan waktu hingga empat jam lamanya. Bahkan bisa lebih jika sedang macet.

Aku takut terjadi hal yang tak diinginkan, mengingat banyak modus kejahatan sekarang ini.

"Kalau aku kasih tahu, bukan kejutan dong namanya, Mas." Jawabannya berhasil membungkamku untuk tak bertanya lagi.

Aku mempersilahkannya untuk masuk ke rumah. Sementara aku sibuk menenteng semua barang bawaannya. Ia langsung menjatuhkan bobotnya ke sofa yang berbentuk menyerupai huruf L itu.

"Aku buatkan makan dan minum ya, Dek,"tawarku. Ia mengangguk pelan lalu merebahkan tubuh lelahnya.

***

Setelah selesai memindahkan barang. Aku langsung menuju ke dapur untuk menyiapkan teh hangat dan nasi goreng. Kebetulan masih ada nasi di magicom. Aku akan memasak nasi goreng spesial dengan telur mata sapi kesukaannya. Nasi itu cukup untuk kami berdua makan. Aku pun belum sempat makan tadi.

Dua puluh menit kemudian, nasi goreng spesial pun telah siap untuk dihidangkan. Sengaja kubuat dua porsi nasi goreng di satukan dalam satu piring. Sepiring berdua, bukankah itu romantis?

Aku bergegas keluar menghampiri istriku yang mungkin sudah menunggu di ruang tamu. Risa ternyata sudah tidak berada di sana. Mungkin dia sudah masuk ke kamar buat istirahat. Dia pasti sangat lelah karena perjalanan cukup panjang itu. Aku pun mengayun langkahku untuk ke kamar.

Samar-samar kudengar seseorang seperti tengah berbicara sambil berbisik. Ku Tajamkan pendengaranku, rupanya berasal dari dalam kamarku. Aku pun mempercepat langkahku.

Kulangkahkan kakiku pelan dan tak bersuara. Kubuka pintu perlahan, sampai Risa pun tak menyadari jika aku sudah berdiri di ambang pintu. Ia masih sibuk mengobrol dengan lawan bicaranya yang aku pun tak tahu dia siapa.

"Dek Utun, baik-baik saja, Mas. Mas tenang aja," ucap Risa. Ucapannya seketika membuatku mematung di tempat. Bagai tertusuk ribuan sembilu.

Deg! Aku terlonjak, siapa sosok yang ada di seberang sana. Aku pasti yakin yang menelponnya adalah seorang pria. Terdengar dari panggilannya tadi.

Dadaku bagai ditimpa ribuan ton beban tak kasat mata, sangat sesak kurasakan. Benarkah istriku telah berkhianat. Tanganku bergetar, nampan yang kupegang jatuh berserakan di lantai.

Prraangg...

Suara gaduh berhasil mengalihkan perhatian Risa. Ia menoleh ke arahku yang berdiri di ambang pintu. Rahangku mengeras. Dadaku naik turun menahan amarah. Sorot ketakutan dan gelisah tergambar jelas di wajahnya. Gawai yang dipegang, luruh begitu saja. Menyadari tatapanku yang menajam, ia gugup.

Kuatur emosiku agar tak meledak saat itu. Tidak, sampai ia memberi penjelasan dari apa yang barusan kudengar. Aku bukan orang yang menyelesaikan masalah dengan emosi. Amarah hanya akan memperkeruh keadaan.

Malam kepulangannya bukanlah menjadi malam indah seperti pertemuan pasangan jarak jauh pada umumnya. Justru sebuah petaka yang ia bawa serta mengiringi kepulangannya.

Tuhan, apa yang harus kuperbuat pada istriku. Luka pengkhianatan ini begitu dalam. Harga diriku bagai diinjak sampai tak ada artinya lagi.

Haruskah ku maafkan penghianatan istriku ini? Rasanya sulit kubayangkan. Kehoramatan dan harga diriku sebagai seorang suami telah diinjak dengan tega. Seakan tak berarti sedikitpun kehadiranku.

Aku melangkah mendekati Risa yang masih terdiam di tempatnya. Tak peduli dengan serpihan piring dan gelas yang melukai telapak kakiku. Bagiku, sakit hati ini tak sebanding dengan goresan-goresan itu.

Kucengkeram bahunya, agak kasar. Amarahku sudah sampai di ubun-ubun rasanya. Ia tampak ketakutan, dan meronta meminta untuk dilepaskan. Aku hampir tak bisa berpikir jernih.

"M--Mas...," cicitnya. Meronta dalam cengkeraman tanganku.

"Siapa lelaki itu?" tanyaku dengan intonasi meninggi. Ia bergeming.

"Siapa? Benar apa yang tadi kudengar, hah?!" cecarku semakin mengeratkan cengkeraman di lengannya. Ia mengaduh kesakitan. Aku hanya mengabaikannya. Luka ini terlalu perih dan menyayat hati, bagai teriris sembilu.

"Jawab! Jangan hanya diam. Benar kau sedang hamil benih lelaki itu!" bentakku begitu muntab. Baru kali ini kemarahanku sangat luar biasa. Ia tampak tergeragap mungkin tak mengira aku bisa semarah ini.

Tentu, lelaki mana yang tidak marah saat tahu wanitanya bermain serong. Bahkan sampai mengandung benihnya.

Bersambung ....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel