#6 Keputusan Tepat
(PoV Nandi)
"Iya! Aku memang sedang mengandung anak lelaki itu. Terus maumu apa sekarang, hah!" hardiknya. Dia seperti bukan Risa yang dulu kukenal. Aku melepaskan cengkeramanku perlahan. Tak kusangka, kesetiaanku berbalas pengkhianatan.
Tak pernahkah dia memikirkan sebesar apa usahaku menahan setiap godaan yang datang untuk mendua. Namun, dia begitu mudahnya berpaling dan bahkan rela membiarkan tubuhnya dinikmati tanpa ikatan suci pernikahan. Sungguh, aku tak habis pikir dengan apa yang menimpa rumah tanggaku ini.
"Kenapa?" tanyaku lirih, menahan isak. Air mata sudah berlomba untuk berhamburan. Tetapi sekuat mungkin, aku menahannya. Terlalu berharga air mata ini untuk menangisinya.
"Aku udah nggak mau sama kamu, Mas. Udah hilang rasa cinta ini!" sahutnya lantang.
"Apa karena lelaki itu?" tanyaku lagi.
"Apa lagi? Dia Ayah dari bayi yang kukandung!" jawabnya melipat tangan di atas perut. Sikapnya terlampau pongah bagi wanita yang pulang membawa aib sepertinya. Entah setan apa yang tengah merasukinya.
"Lupakan lelaki itu, dan berhentilah berhubungan dengannya. Aku akan menerimamu, bagaimanapun keadaanmu. Karena kau masih istriku. Istri yang kucintai." Kupelankan intonasiku, berharap ia luluh dan berubah pikiran. Aku mencoba berdamai dengan keadaan. Bagaimanapun, dia adalah tulang rusukku. Jika tulang rusuk itu bengkok, maka tugaskulah untuk meluruskannya.
"Nggak. Aku udah nggak cinta sama kamu, Mas." Ia tetap bersikukuh.
"Secepat itukah kamu menghapus rasamu padaku, Ris. Satu tahun pacaran dan hampir empat tahun pernikahan bukan waktu yang singkat, Ris. Semudah itukah kamu berpaling dariku?" tanyaku berharap, Ia mau merubah keputusannya untuk berpisah.
"Pergilah, Mas. Aku yang akan mengurus gugatan cerai itu." Risa tetap pada keputusannya untuk bercerai. Aku pun sudah enggan mendebat lagi. Biarlah mungkin itu jalan yang terbaik untuk kami.
"Pergi, Mas. Kita lebih baik bercerai. Ayah bayi ini akan segera menikahiku." Lagi, ia menyebut lelaki itu. Tak berartikah diriku yang masih sah berstatus sebagai suaminya.
"Aku masih mencintaimu, Ris. Pikirkanlah aku tak akan mempermasalahkan kehamilanmu. Aku akan bertanggung jawab penuh pada kalian berdua. Jangan memintaku pergi, Ris." Aku menghiba, berharap ia akan luluh dan kembali padaku. Nyatanya aku salah. Ia lebih memilih mempertahankan hubungannya dengan lelaki itu.
Perdebatan kami terjeda, saat tiba-tiba Uwak Mar datang menginterupsi dengan ketukan pintu. Kami segera beranjak menemuinya. Bahkan ia pun terkaget saat melihat keponakannya ada di sini.
Risa meminta mengumpulkan semua keluarga. Termasuk Emakku yang tinggal di kampung sebelah. Ia menyuruhku untuk menjemputnya sekarang juga.
Setelah seluruh keluarga berkumpul, ia mengutarakan niatnya berpisah dariku. Aku hanya diam. Sepertinya rumah tanggaku ini sudah tak bisa diselamatkan lagi. Risa sudah benar-benar dibutakan oleh cintanya pada lelaki itu. Bahkan tanpa malu ia membeberkan aibnya pada semua yang berada di sana.
Hal itu sontak membuat semua yang disana syok. Tak terkecuali ibuku. Beliau menangis tergugu. Rumah tangga anak bungsunya harus diuji oleh aib yang ditorehkan oleh istriku sendiri.
Sungguh, aku merasa gagal sebagai imamnya. Ampuni aku, Tuhan.
Malam itu, akan menjadi malam yang takkan terlupakan bagiku seumur hidup. Kulapangkan dada agar dapat legowo menerima keputusan ini. Bercerai, itulah yang Risa inginkan.
Risa menyuruhku untuk membawa kembali lemari dan dipan seserahan dariku. Aku tercengang. Aku tak mengenalnya lagi kini. Ia seperti sosok yang berbeda. Aku merasa asing. Dulu dia tidak seperti sekarang ini.
Benar-benar sangat keterlaluan sikapnya padaku. Bahkan rasa hormat pada diriku yang berstatus suaminya pun sudah tak ada lagi.
Sudah cukup. Aku masih punya harga diri. Sekali aku pergi, pantang bagiku untuk kembali. Biarkan Risa bahagia dengan pilihan hatinya. Aku tak mengapa. Aku akan tetap melanjutkan hidup dan menata hatiku lagi dari awal.
***
Aku membonceng Emak dengan motorku. Sedangkan mobil pick up yang kusewa untuk mengangkut lemari dan dipan berada di belakangku. Raut kesedihan terpancar dari wajah tua Emak. Tak menyangka jika pernikahanku dan Risa akan berakhir seperti ini.
Setelah menempuh perjalanan sekitar seperempat jam. Kami sampai di rumah Emak. Aku dibantu oleh sopir dan tetangga dekat untuk mengangkut lemari dan. Dipan itu aku biarkan dulu di luar. Nanti saat aku senggang akan menyusunnya lagi dan memasukkannya ke kamarku.
Para tetangga pun terheran-heran dengan apa yang tengah terjadi. Mereka mencoba mencari jawaban dengan bertanya pada Emak. Namun, Emak hanya bungkam. Ia tidak ingin mengumbar aib keluarganya. Para tetangga pun hanya bisa berspekulasi dengan praduga-praduganya.
***
Aku membaringkan tubuh di kamar yang dulu kutempati saat masih lajang. Anganku menerawang jauh. Sekelebat bayangan masa laluku dengan Risa melintas. Bagai potongan-potongan film yang diputar begitu saja dalam benak.
Saat itu, kami merasa sangat bahagia. Keluarga kecil kami sempurna dengan kehadiran bidadari cantik yang hadir dalam satu tahun pertama pernikahan kami.
Sayangnya, Tuhan lebih dulu mengambilnya dari kami. Beliau lebih sayang pada Anova. Kami sadar bahwa anak adalah sebuah titipan. Kapan pun sang Pemiliknya memintanya kembali maka tak ada yang bisa dilakukan oleh kita selain mengikhlaskannya.
Kepergian Anova menjadi pukulan terbesar bagi istriku. Bagaimana tidak, Anova menghembuskan nafas terakhirnya dalam dekapannya. Hatinya teriris. Membuatnya sempat depresi dan kehilangan semangat hidup.
Butuh waktu hingga dua bulan untuk membuatnya mengikhlaskan Anova. Emosinya mulai stabil dan Ia tampak sudah baik-baik saja.
Akan tetapi, saat semua sudah terlihat normal. Tiba-tiba suatu hari ia meminta izinku untuk pergi menjadi pahlawan devisa. Aku sempat tak mengizinkannya. Bahkan menentang keras keinginannya itu.
Namun, bukan Arisa namanya kalau ia menyerah tanpa perlawanan. Akhirnya dengan berat hati, aku memberinya izin. Meski separuh hatiku berkata tidak, tetapi aku bisa apa. Semoga dengan kepergiannya, bisa membuatnya move on dari kesedihan yang dialami pasca kehilangan buah cinta kami.
"Nan, kamu udah tidur?" Emak mengetuk pintu kamarku. Sukses membuyarkan lamunanku akan masa lalu.
"Belum, Mak," jawabku sembari membuka pintu.
"Ini, uang tabungan Emak. Kamu pakai dulu buat ngurus perceraian dengan Risa ya." Emak menyodorkan beberapa lembar uang merah padaku.
"Nggak usah, Mak. Risa bilang dia yang akan urus," tolakku halus. Bagaimanapun aku tak mau menyusahkan Emak untuk urusan pribadiku.
"Kamu masih punya harga diri, Nan. Ibu nggak rela Risa merendahkanmu seperti itu. Mending kamu yang menggugatnya. Agar dia tau bahwa kamu masih punya harga diri." Aku berpikir sejenak.
Perkataan ibu memang ada benarnya. Lebih baik aku yang mengurus perceraian itu. Aku pun mengiyakan usulan ibu. Aku masih punya tabungan dari gajiku, aku akan menggunakannya untuk mendaftarkan perceraianku dengan Risa.
Tidak ada lagi sidang mediasi di antara kami. Hingga akhirnya permintaan ceraiku dikabulkan oleh pengadilan agama. Setelah melalui proses yang cukup lama. Pernikahan kami telah usai. Tiada pembagian harta gono gini di antara kami. Pun juga tidak ada anak yang harus terluka dengan perpisahan kedua orang tuanya. Semuanya berakhir, mahligai yang kubangun dengan asa dan cinta telah hancur tak bersisa.
Kuikhlaskan perceraianku dengan Risa. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik untuk kami. Mungkin jodoh kita hanya sampai di sini. Begitulah, aku menguatkan hatiku.
***
Bagai sebuah mimpi buruk, rumah tangga yang kubina harus kandas karena orang ketiga. Aku pun tak menyangka jika Risa lah yang menghadirkannya.
Saat baru tiga bulan kepergian Risa. Godaan datang padaku. Naluri kelelakianku pernah menggebu. Wajar, aku masihlah seorang lelaki normal.
Seorang teman bahkan sempat mengenalkanku pada salah satu teman wanitanya. Namun begitu, aku lebih memilih mengabaikan hasratku. Dan memilih untuk semakin mendekatkan diri pada Tuhan.
Aku tak ingin terjerembab dalam perbuatan dosa. Menguatkan imanku menjadi tujuanku. Demi menjagaku agar tak mudah tergelincir dalam suatu kenistaan hingga menodai ikatan suci pernikahan.
Kini setelah segalanya terjadi. Aku berdoa semoga Tuhan mempersiapkan jodoh terbaik untukku. Entah kapan waktunya, dan jika masih ada. Kegagalan berumah tangga membuatku lebih hati-hati lagi dalam memilih pasangan hidup.
Sungguh, aku takkan menyesal telah berpisah dengan Risa. Keputusan ini sangat tepat untukku.
