Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#4 Bercerai

BENIH PRIA LAIN DI RAHIMKU

Kekisruhan malam itu, ternyata disaksikan pula oleh para tetangga. Ada yang menatap penuh rasa penasaran, ada juga yang hanya berbisik-bisik di belakang. Menduga-duga keributan apa yang sedang terjadi di malam itu. Dan bahkam ada pula yang terang-terangan dengan lancang menggunjing sikapku yang angkuh, meski dengan suara pelan. Namun, telingaku dapat mendengarnya dengan jelas.

Aku hanya bersikap masa bodoh dengan bisik-bisik para tetangga itu. Biarkan saja mereka bergelung dengan kekepoan maksimalnya. Toh pada akhirnya mereka tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Dan apa saja yang sudah kulalui. Mereka hanya bisa mengomentari, sedangkan aku lah yang menjalani dan mencari solusi untuk masalahku sendiri.

Lelah jiwa dan raga semakin kurasakan. Aku mengayunkan langkah ke kamar setelah Mas Nandi selesai mengangkut barang-barangnya. Kurebahkan tubuh yang sudah tak bertenaga ini. Perdebatan tadi seakan telah menguras seluruh energiku. Aku benar-benar lelah.

Keputusanku memang sangat disayangkan, bahkan oleh pihak keluargaku sekali pun. Mereka merasa keputusanku salah, tapi, aku enggan menanggapinya Aku hanya mengikuti kata hatiku. Dan itu bukanlah sesuatu yang salah, kan? Bukankah kata hati itu selalu benar? Dan aku memilih untuk memercayai kata hatiku dalam mengambil keputusan ini. Biarlah jika keluargaku menganggapku keras kepala dan egois. Aku hanya harus membuktikan jika pilihanku tidak akan salah, dan aku harus bahagia bersama Mas Dika nanti.

Ah, aku jadi nggak sabar menantikan kepulangan Mas Dika.

Mereka semua memang awalnya menentang perceraian ini, karena bagi mereka Mas Nandi adalah suami yang tak pernah neko-neko. Bahkan sepeserpun hasil kerjaku selama di Taiwan, ia sama sekali tak pernah menikmatinya. Ya, Mas Nandu bukanlah lelaki yang dengan mudah menikmati jerih payah istri.

"Uang gajimu, biar ditabung aja, Dek," ucapnya kala itu di telepon. Ketika aku baru pertama kalinya menerima gaji di bulan pertama bekerja. Dia sangat tahu bagaimana senangnya hatiku saat menerima Dollar Taiwan sebagai untuk pertama kalinya.

"Iya, Mas. Pasti aku nabung, buat modal usaha nantinya kalau sudah di kampung," ujarku sumringah. Menerima gaji pertama yang lumayan besar, meski sudah dipotong untuk membayar hutang ke Agency. Aku bahagia.

"Betul, kamu gak usah mikirin Mas di sini. Mas masih mampu bekerja untuk menafkahi diri sendiri." Ucapan Mas Nandu selalu kuingat dan terpatri dalam ingatanku.

Bahagia itu hanya kurasa di awal-awal bekerja di sana. Tak ada yang berubah dari hubunganku dengan Mas Nandi. Kami selalu intens dalam berkomunikasi.

Hingga, setahun kemudian aku mulai mengenal Mas Dika, dan hubunganku dengan Mas Nandi menjadi renggang. Ada jarak yang kuciptakan di antara kami. Semua itu karena pesona Mas Dika yang telah membiusku. Wajah tampannya, perhatian, serta kasih sayangnya membuatku lupa daratan. Lupa bahwa diri ini masih seorang istri dari Mas Nandi.

Aku lah yang semakin jarang mengabarinya. Bahkan saat ia meneleponku di hari liburku. Aku sering mengabaikannya. Aku terlalu asyik menghabiskan waktu dengan Mas Dika. Aku terlena dalam cintanya yang semu.

Triingg... Triingg...

Bunyi dering ponselku berhasil membuyarkan lamunanku akan masa lalu. Kulihat nama si penelepon. Ternyata Mas Dika. Aku pun langsung menggeser ikon hijau di sana lalu menerima panggilannya.

"Hallo, Ris. Kok tadi kaya ada suara benda pecah? Ada apa? Kamu juga dihubungi lagi udah nggak bisa tadi." Mas Dika langsung menjejali dengan bermacam pertanyaan.

"Nggak apa-apa, Mas. Tadi aku nggak sengaja mecahin gelas," dustaku. Dulu, aku memang mengaku berstatus janda pada Mas Dika. Dan kini aku benar-benar telah menjadi janda.

Mas Dika juga mengaku menduda saat pertama kali berkenalan. Setelah tiga bulan saling mengenal, Aku tahu ternyata dia masih beristri. Namun, aku tetap mau menjalani hubungan terlarang dengannya. Rasa cinta ini telah bersemayam dalam, dan menutup nuraniku. Bukankah selingkuh itu indah. Meski tak selamanya. Selama tak ketahuan, tentunya.

Lagi pula, Mas Dika pun mengaku sudah tak mencintai istrinya, dan akan menceraikannya.

"Kirain kenapa tadi. Terus kamu nggak apa-apa kan, Sayang?" Mas Dika bertanya lagi.

"Nggak apa-apa kok, sayang. Kamu nggak tidur? Besok kan kerja?" tanyaku melirik jam sudah menunjukkan jam sepuluh malam, yang berarti di sana sudah jam sebelas malam. Karena perbedaan waktu satu jam.

"Iya, ini mau tidur. Aku mau mastiin dulu kalau kamu baik-baik saja." Itulah yang sangat aku sukai dari Mas Dika. Ia sangat perhatian terhadapku, hingga membuatku semakin cinta padanya.

"Udah tidur gih, Mas. 'Kan udah tau kalo aku nggak apa-apa"

"Iya ... Iya. Siap boss!"

"Apaan sih." Aku tertawa geli. Sosoknya tak berubah meski aku sudah tak bersamanya. Aku semakin yakin ia akan menepati janjinya untuk pulang dan menikahiku.

***

Dua minggu setelah kejadian pengusiran itu, sidang pertama perceraianku dengan Mas Nandi digelar. Mas Nandi yang mencuri start melayangkan gugatan cerainya padaku. Baguslah, Aku tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk proses perceraian ini.

Sidang pertama, aku sengaja tak hadir. Sidang kedua pun, sama. Begitupun sidang terakhir hingga ketuk palu hakim terjadi. Permintaan cerai Mas Nandi dikabulkan oleh pengadilan agama.

Pernikahan kami telah usai. Kami bukan lagi suami istri yang sah di mata hukum maupun agama.

***

Desas-desus tentang kehamilanku semakin merebak di seluruh penjuru. Hidup di kampung kecil yang terpencil membuat kabar burung itu menjadi lebih cepat bertiup.

Perutku yang semakin membuncit pun tak ayal menjadi bahan gosip tetangga. Cemoohan demi cemoohan pun seolah sudah jadi makanan sehari-hari.

"Udah untung suaminya mau nerima, emang dasar gak tahu diri malah minta cerai."

"Pulang-pulang sudah berbadan dua, di sana asyik kerja apa asyik kelon."

"Nandi pasti akan dapat yang lebih baik lagi."

"Suaminya sudah baik, eh si istri malah selingkuh. Duh, kasian suaminya."

Begitulah, sindiran demi sindiran pedas yang sering kudengar, bahkan masih banyak lagi. Bagai nyanyian burung pipit yang menyemarakkan suasana pagi. Sakit hati, mungkin hanya awalnya saja. Setelahnya aku lebih memilih menutup telinga.

Aku tak peduli, yang kulakukan hanya cukup menebalkan muka ini. Agar kuat menghadapi tatapan-tatapan menghakimi dan sinis dari mereka.

Bagiku, biarlah mereka mencemoohku. Asalkan keluargaku tidak. Aku masih punya mereka untuk tempatku bernaung. Meski sempat marah dan kecewa padaku, tapi tetap saja darah lebih kental daripada air.

Aku akan membungkam mulut-mulut nyinyir itu. Aku akan buktikan Mas Dika akan bertanggung jawab dan menikahiku.

***

Tak sadar sudah hampir dua bulan aku berada di kampung halaman. Hubunganku dengan Mas Dika baik-baik saja. Tapi, kini komunikasi kami tak seintens dulu. Aku tetap berpikir positif demi menjaga kandunganku supaya tidak mengalami stress yang kurasa. Semoga, Mas Dika hanya sedang sibuk mempersiapkan kepulangannya saja. Semoga.

Bersambung....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel