Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#3 Diusir

BENIH PRIA LAIN DI RAHIMKU

Ketegangan masih menyelimuti ruang tamu rumahku. Aku bersandar pada bahu Uwak Mar yang dengan sabar mengusap punggungku. Memang, Uwak Mar lah yang menggantikan peran ibuku selama ini. Beliau lah yang merawatku hingga dewasa. Ibuku pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya saat aku masih berusia sepuluh tahun. Lantas setahun setelah ibu meninggal, Ayah menikah lagi dengan seorang janda muda. Dan semua tanggung jawab Ayah akhirnya diambil alih oleh Uwak Mar dan juga nenek.

 Mereka adalah orang-orang yang sangat berjasa bagiku, akan tetapi aku telah tega dan mengabaikan kehormatan mereka dengan mencorengnya dengan sebuah aib yang kubawa sepulang bekerja dari Taiwan.

Aku merasa enggan untuk tinggal dengan Ayah, dan juga ibu tiriku. Aku merasa terasing di sana. Meski begitu, aku pun tetap menjaga hubungan baik dengan tante Marni. Mungkin hanya sekedar menghargai dirinya layaknya sebagai ibu sambung. Namun, walau begitu aku lebih memilih sedikit menjaga jarak dari keluarga baru Ayah. Sejak kecil aku sudah tinggal dengan nenek dan membantunya berjualan keliling kampung. Beliau sudah menghadap keharibaannya, sebelum aku sempat membahagiakannya dulu.

Namun, nenek dan telah meninggalkan rumah ini untuk menjadi milikku. Mereka adalah orang yang sangat baik dan sayang padaku. Saat aku memutuskan menikah dengan Mas Nandi, rumah ini kami tempati bersama. Merajut asa dan cinta bersama, akan tetapi sekarang senuanya sudah berubah. Aku tak mau lagi bersama Mas Nandi. Hatiku sudah berpaling darinya.

***

Keputusanku sudah bulat. Aku tetap memilih untuk bercerai dengan suamiku. Dan, menyuruh Mas Nandi keluar dari rumah ini. Malam ini juga. Uwak Da dan suaminya sempat memintaku tetap mempertahankan Mas Nandi. Apalagi kesalahannya memang berada di pihakku. Aku lah tersangka yang membuat pernikahan ini akhirnya hancur. Aku lah yang sudah berselingkuh dan menodai ikatan suci pernikahan kami. Ya, aku mengakui semua itu. Untuk bertahan pun aku merasa malu dan gengsi walau Mas Nandi tetap mau menerima masa laluku. Tapi, cintaku terhadap Mas Dika sudah membutakan nuraniku. Hingga aku tak menginginkan lagi membina rumah tangga bersama Mas Nandi. Aku mengotot untuk bercerai darinya.

Sikap keras kepalaku inilah yang membuatku pantang mengubah keputusan sejak dulu. Mereka pasti sudah tahu persis akan hal itu. Aku menjelaskan pada mereka, bahwa aku sudah tidak mencintai Mas Nandi lagi. Dan aku akan pastikan, jika lelaki yang menghamiliku akan bertanggung jawab, dan segera menikahiku. Tentu saja setelah dia pulang ke Indonesia. Aku akan menunggunya hingga tiba waktu itu. Mereka sempat ragu dengan ucapanku tapi setelah kuyakinkan beberapa kali mereka pun hanya diam, seakan menyerahkan semua keputusannya padaku. Mungkin mereka pikir karena aku sudah dewasa dan berhak menentukan jalanku sendiri.

Mas Nandi pun kini menyerah. Dia tak kuasa menahanku lagi untuk tetap di sisinya. Dia pun akhirnya mengabulkan permintaanku untuk bercerai. Masalahku dengannya akhirnya selesai. Aku pastikan akan segera mengurus gugatan cerai secepatnya. Aku akan segera terbebas dari ikatan perkawinan dengan Mas Nandi dan tinggal menunggu Mas Dika pulang dan menikahiku.

"Bereskan semua baju Mas sekarang juga," perintahku tanpa menatapnya lagi. Saat ini kami sedang berada di kamar. Entah pergi kemana cinta yang begitu menggebu dulu.

Tanpa suara, Mas Nandi memasukkan baju-bajunya ke dalam koper kecil miliknya. Ia tak berkata-kata lagi. Namun, tangannya tak berhenti bergerak. Ia bahkan tak menoleh lagi ke arahku. Baguslah! Aku nggak peduli lagi pada lelaki yang pernah jadi suamiku itu.

"Dipan dan juga lemari ini, sekalian Mas bawa saja. Aku gak mau ada jejak kamu satu pun di sini," ucapku dengan sedikit penekanan. Mas Nandi membelalakkan matanya, tak percaya dengan sikap yang kutunjukkan.

"Kamu sudah benar-benar keterlaluan Dek. Entah kemana perginya hati nuranimu. Sifatmu dulu dan sekarang sangat jauh berbeda. Kau berubah! Hebatnya lelaki itu sampai mampu mengubahmu menjadi seperti ini." Mas Nandi mengusap wajahnya kasar. Tak menyangka Aku akan berubah sedrastis ini.

"Ck! Udahlah gak usah banyak bicara, Mas. Cepet beresin barang-barangmu. Lalu keluar dan talak aku di depan keluarga kita." Aku menghentakkan kaki dengan keras lalu beranjak keluar kamar lebih dulu.

Mas Nandi hanya menggelengkan kepalanya. Seolah tak percaya dengan perubahanku kini. Hal itu dapat kutangkap dari ekor mataku sebelum aku benar-benar keluar dari kamar. 

Ah, bodo amat, pikirku. Ada Mas Dika yang lebih segalanya dari dia. Soal ketampanan pun Mas Dika jauh lebih tampan darinya. Entah apa yang membuatku dulu mau dipinangnya menjadi istri.

*** 

Dengan langkah gontai Mas Nandi keluar dari kamar dengan menyeret koper miliknya. Ia langsung duduk di samping Mak Rini, yang sedari tadi tak hentinya terisak. Mungkin sedih karena rumah tangga anak bungsunya harus kandas begitu saja. Aku pun tak peduli lagi. 

Dengan suara bergetar, Mas Nandi mengucapkan talak tiga sekaligus untukku. Kini, kami sudah tidak halal bagi satu sama lain di mata agama. 

Aku sempat mengantarnya keluar sampai di ambang pintu, sebelum benar-benar pergi. Mas Nandi menoleh sejenak ke arahku. Tatapan matanya tak lagi sayu. Ada binar keberanian di sana. 

Ia menatapku, dengan tatapan yang entah. Tak dapat kuartikan makna tatapan matanya itu.

"Sekali aku melangkahkan kaki pergi dari rumah ini, maka pantang bagiku untuk kembali. Camkan hal itu, Risa!" Aku terbeliak dengan ucapannya yang terkesan meremehkanku. Sialan. Siapa juga yang mau memintanya kembali. Tidak akan.

Aku masih punya harga diri. Mana mungkin aku akan menjilat ludahku sendiri. Akan kubuktikan kalau aku akan lebih bahagia bersama calon suamiku yang baru padanya!

"Jangan mimpi, Mas. Aku takkan menyesal membiarkanmu pergi." Dia pikir dia siapa. Dia bahkan bukan lagi pemilik hati ini.

Aku hanya diam menyaksikan saat Lemari dan Dipan bawaannya diangkat dari rumahku. Mas Nandi rupanya menyewa sebuah mobil pick up untuk membawanya.

Dulu, saat menikah Mas Nandi membawa Lemari dan Dipan itu sebagai barang seserahan. Sudah tradisi di kampungku seperti itu, sedang yang wanita membeli kasur dan seperangkat alas tidur seperti bantal dan guling. 

Kini, saat berpisah pun aku mengembalikan semua itu padanya. Aku sudah melakukan hal yang benar, kan?

Sesungguhnya, Mas Nandi adalah lelaki yang bertanggung jawab. Meski hanya sebagai pegawai biasa dengan gaji di bawah UMR, ia tak pernah lalai dalam memberi nafkah lahir. Seluruh gajinya aku yang pegang. Ia hanya minta uang untuk bensin setiap 2 hari sekali. 

Terkadang ia pun rela bekerja serabutan jika sedang berlibur, semata hanya untuk menambah pundi-pundi rupiah untuk menafkahiku. Mas Nandi juga selalu ringan tangan membantuku mengerjakan pekerjaan rumah tangga. 

Namun, hasrat manusia yang tak selalu puas lah yang membuatku memilih pergi menjadi tenaga kerja di Taiwan. Aku memanglah istri yang tak pandai bersyukur. 

Ah, kenapa aku jadi bernostalgia dengan semua kebaikan Mas Nandi. Sadarlah, Ris. Kini dia bukan siapa-siapamu lagi. Hanya mantan. 

Bersambung.....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel