Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#2 Disidang

BENIH PRIA LAIN DI RAHIMKU

Hening masih menguasai kami. Gawai yang kugenggam luruh begitu saja demi melihat kilat amarah pada sorot mata Mas Nandi.

"M-Mas ...," cicitku begitu lirih.

Mas Nandi beranjak menghampiriku, masih dengan tatapan penuh amarah. Tak peduli, serpihan piring serta gelas yang bisa saja melukai telapak kakinya. 

Sedetik kemudian, Mas Nandi tiba-tiba sudah berada di depanku. Mencengkeram kedua lenganku dengan kasar.

"Lepas, Mas." Sekuat tenaga kulepaskan cengkraman tangannya. 

"Siapa lelaki itu!" tanyanya dengan intonasi meninggi.

Aku bergeming, tak mampu berkata-kata lagi.

"Siapa? Benar apa yang tadi kudengar, hah!" cecarnya semakin mengeratkan cengkraman. Aku mengaduh kesakitan.

"Jawab! Jangan hanya diam. Benar kau sedang hamil benih lelaki itu?" Tak menyerah ia menghujaniku dengan bermacam pertanyaan. Aku tergeragap. Baru pertama kali ini suamiku muntab. Kemarahannya amat sangat luar biasa. Dan aku baru pertama kali melihatnta sangat marah seperti sekarang ini. Kupikir itu wajar karena aku telah menodai pernikahan kami dengan pengkhianatan. Sesuatu yang tak bisa dimaafkan oleh pasangan.

Kemana Mas Nandiku yang penyabar dan penuh kasih sayang itu. Selama berumahtangga dengannya tak pernah sekalipun ia membentakku seperti ini. 

"Iya! Aku memang sedang mengandung anak lelaki itu. Terus apa maumu sekarang, hah!" Aku menghardiknya. Entah keberanian dari mana, itu bagai datang dengan tiba-tiba. Aku merasa terpojok. Sudah terlanjur basah, biar menjadi kuyub sekalian. Toh memang sudah terjadi. 

Kurasakan cengkramannya perlahan mengendur. Kudengar ia terisak, tertahan. Menahan tangis yang penuh dengan rasa sesak kurasa. Ini kedua kalinya Mas Nandi menangis. Pertama, saat kami kehilangan Anova. Kedua, saat ini, dan akulah penyebabnya. Sedalam itukah luka di hatinya. Ah, mengapa hati ini seolah sudah tak peduli, bahkan untuk menghapus air matanya saja aku enggan. 

"Kenapa?" Ia bertanya lirih masih dengan isakan tertahannya.

"Aku udah gak mau sama kamu, Mas. Udah hilang rasa cinta ini."

"Apa karena lelaki itu?"

"Ya, Apa lagi? Dia Ayah dari bayi yang kukandung."  Aku melipat kedua tangan dengan pongah. 

"Lupakan lelaki itu, dan berhentilah berhubungan dengannya. Aku akan menerimamu bagaimanapun keadaanmu. Karena kau masih istriku. Istri yang kucinta," ujarnya penuh asa pengharapan. Namun, hati ini seolah mati. Tak tersentuh sedikitpun, mungkin karena telah di butakan oleh bayang cinta Mas Dika.

"Nggak. Aku udah gak cinta sama kamu, Mas." Aku tetap kukuh dengan pendapatku.

"Secepat itukah kamu menghapus rasamu padaku. Satu tahun berpacaran dan hampir empat tahun pernikahan bukan waktu yang singkat, Ris. Semudah itukah kamu berpaling dariku?"ujarnya memintaku memikirkan kembali keputusanku.

"Pergilah, Mas. Aku yang akan mengurus perceraian.s Aku enggan berdebat lebih lama lagi. Terlebih efek lelah karena perjalanan jauh masih kentara kurasa. Aku tak ingin melihat dia di hadapanku lagi.

Rumah yang ketempati ini adalah rumah warisan dari Kakekku. Ia wariskan pada ibuku awalnya yang merupakan anak bungsu, tapi beliau telah berpulang keharibaannya saat usiaku masih 10 tahun. Jadilah rumah ini secara otomatis menjadi milikku.

"Pergi, Mas. Kita lebih baik bercerai. Ayah bayi ini akan segera menikahiku."

"Aku masih mencintaimu, Ris. Pikirkanlah, aku tak akan mempermasalahkan kehamilanmu itu. Aku akan bertanggung jawab penuh pada kalian berdua. Sungguh, Ris. Jangan memintaku pergi." Mas Nandi masih menghiba, memintaku melupakan hubunganku dengan Mas Dika. Dan membiarkan dirinya menjadi Ayah dari janin ini. Mas Nandi memang sebaik itu, namun, nuraniku sudah tertutup setelah bertemu Mas Dika.

Tok... Tok...

Perdebatan kami terjeda saat seseorang mengetuk pintu depan. Kutebak itu adalah Uwakku yang tinggal di samping kiri rumahku. Mungkin dia mendengar kegaduhan dari rumah kami. Gegas aku meninggalkan Mas Nandi yang masih terisak. Kubuka pintu dan benar saja Uwak Mar sudah berdiri di depan pintu.

"Loh, Risa. Kapan pulang, Nak?" tanya Uwak Mar sembari memindai penampilanku. Sama seperti yang dilakukan Mas Nandi saat pertama melihatku.

"Barusan aja, Wak. Mungkin sekitar sejam yang lalu," jawabku, lalu menyuruhnya masuk. 

"Nandi mana, kok tadi Uwak denger kaya ada ribut-ribut." Uwak Mar mencari sosok Mas Nandi. 

"Nggak apa-apa, Wak. Wak, aku dan Mas Nandi mau ngomongin sesuatu."

"Ngomong apa, Ris. Tinggal ngomong aja koq serius amat mukanya," seloroh Uwak Mar.

"Aku mau ngomong sama semua keluarga, Wak. Keluargaku juga keluarga Mas Nandi," tegasku.

"Ada apa toh, kalian berantem ya." Raut khawatir terlihat jelas dari wajah tua Uwak Mar.

Mas Nandi keluar dari kamar, lalu berjalan menghampiri kami. Ia jatuhkan bobotnya di sofa. Gurat kesedihan masih nampak pada wajahnya. Sisa-sisa air mata pun masih dapat tertangkap oleh netraku. Kejamkah keputusanku ini?

"Nandi, tadi ribut-ribut kenapa toh? Kamu marahin istrimu? Apa masalahnya, baru pulang sudah bertengkar." Uwak mencecar Mas Nandi dengan berbagai tanya.

"Sudah, Wak. Aku mau ngumpulin semua keluarga di sini. Uwak Da dan Uwak Arul juga. Mas, jemput ibumu kesini sekarang juga." perintahku. Malam ini juga harus selesai masalahku ini. 

"Aku akan telepon Ayah untuk kesini," ucapku berlalu menuju kamar mengambil gawaiku untuk menghubungi Ayah.

***

Hampir setengah jam, semua orang sudah berkumpul di rumahku. Aku sempat membersihkan kekacauan di kamar. Bisa panik mereka jika saja kebetulan lewat dan melihat serpihan piring dan gelas di lantai.

Suasana tampak tegang. Lima menit lamanya kami hanya saling diam. Aku pun memutuskan untuk membuka obrolan. Daripada membuat mereka terombang ambing menunggu yang tidak jelas.

"Risa mau cerai dari Mas Nandi," ucapku tanpa basa-basi agi.

Semua yang berada di sana saling pandang satu sama lain. Menatap heran pula kepadaku dan Mas Nandi. Keputusan ini begitu tiba-tiba.

"Alasanmu apa, Ris. Belum juga satu hari kamu pulang, kok udah mikir yang aneh-aneh." Uwak Da menyahut. 

"Iya, nih. Buah tangan saja belum dibagikan kok ya aneh tiba-tiba mau cerai." Uwak Mar menimpali dengan sedikit bercanda.

Mak Rini, --Ibunya Mas Nandi-- hanya bergeming di tempat tak banyak bicara. Mungkin Mas Nandi sudah sempat mengatakannya saat perjalanan kesini. 

"A-Akuu ... sedang hamil. Dan ini anak hasil hubunganku dengan pacarku selama kerja di Taiwan" Aku sempat tergugup mengatakannya. Bagaimanapun ini adalah sebuah aib.

Semua yang ada di sana begitu tercengang dengan apa yang baru saja kuucapkan. Tak heran, bagiku ini sudah resiko yang harus ku tanggung. Dari sekian orang yang hadir disana. Ayahlah yang terlihat sangat berang. Ia berdiri menghampiriku, Dan ....

Plaakkk!!

Tamparan yang begitu keras mendarat di pipi kananku. Pipiku terasa panas saking kerasnya tamparan yang kuterima. Tubuhku terhuyung, Uwak Mar yang duduk di sampingku menahan tubuhku yang oleng. 

"Kamu! Bisanya malu-maluin keluarga saja. Bukannya pulang membawa kesuksesan justru kau lempar kotoran ke muka keluargamu. Di mana urat malumu, hah. Apa sudah putus urat malumu itu!" Ayah berucap penuh emosi. Suaranya menggelegar bak petir di siang bolong. 

Bulir bening mengalir begitu saja. Ayah beranjak keluar rumah, lalu membanting pintu dengan keras. 

Blam!!

Ayah benar, jika ada orang yang sudah putus urat malunya. Itu adalah Aku. Aku lah wanita yang tanpa rasa malu pulang membawa aib bagi keluargaku.

Bersambungg.....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel