Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Tetangga

Tiga hari sudah berlalu, dan seperti yang Lukas janjikan dia datang saat sore menjelang magrib tiba.

Gue yang tadinya lagi fokus bermain game online bersama Galih, Dirwan dan cowok baru yang bernama Devan yang mana dia adalah orang suruhan petinggi untuk mengawasi nenek selama gue belum menikah membuat pertanyaan besar yang mungkin saat ini ada di benak Lukas jika gue liat dari ekspresi wajahnya.

"Siapa dia?" tunjuknya menggunakan dagu ke arah Devan sedangkan matanya menatap gue.

Gue yang menyadari gelagat nggak suka dari nadanya, langsung bangkit dan menghampirinya untuk mengambil tas kecil yang ia tenteng dari tadi. Setelahnya gue mengajaknya masuk ke dalam kamar dan mendudukkan diri gue ke atas kasur.

"Siapa cowok itu, Nu?" tanya Lukas lagi setelah dirinya membuka jas yang ia kenakan dan menyampirkannya ke senderan kursi. Nggak lama kemudian, dia berjalan mendekat ke arah gue dan mengambil posisi duduk tepat di samping gue.

"Dia Devan. Orang suruhan petinggi itu. Bukannya lo udah tau ya?" tanya gue balik.

"Iya gue tau. Tapi gue nggak ngira kalo dia cowok dan seorang Alpha. Lo nggak macem-macem sama dia kan selama gue nggak ada disini?" balasnya dengan satu tangan yang meraih jemari gue.

"Nggak lah. Pikiran dari mana itu? Gue emang homo, tapi gue nggak gampangan kayak gitu. Lagian status kita kan belum jelas. Lo nggak berhak untuk ngelarang gue buat macem-macem." ujar gue dan menarik tangan gue dari pegangannya.

Lukas terlihat bingung terlihat dari dahinya yang mengerut menatap gue.

"Bukannya udah jelas ya? Lo calon istri gue. Apa lagi yang buat gue nggak berhak ucapin itu?" ucap Lukas berusaha sabar dengan suaranya yang di tahan.

Gue yang mendengar itu cuma mengangguk-anggukan kepala gue, walaupun sebenarnya bukan itu yang gue harap yang keluar dari mulutnya. Tapi sepertinya itu nggak terjadi. Rasa kangen yang sempat melanda gue pun langsung menurun hingga membuat gue malas untuk menatapnya. Gue pun memilih berdiri dan berjalan perlahan ke arah pintu untuk keluar kamar mengabaikan Lukas yang bertanya ada apa dengan gue.

Sesampainya gue di ruang tamu tiga orang yang tadi sibuk dengan ponsel masing-masing kini duduk diam sambil menatap gue dengan pandangan bertanya.

"Ada masalah ya?" tanya Dirwan pertama kali saat gue bertanya kenapa mereka semua berhenti bermain.

Gue menggelengkan kepala gue dan mengambil tempat duduk di tengah-tengah dan bersampingan antara Devan dan Dirwan.

"Tapi kenapa mukanya Lukas kayak nggak seneng gitu?" tanya Dirwan lagi. Gue mengedikkan bahu gue menjawabnya, gue juga lagi merasa bete sekarang karena harapan gue yang sempat gue bayangkan tadi malam nggak terjadi.

"Mungkin dia nggak suka kehadiran gue." celetuk Devan tiba-tiba dan membuat gue langsung merasa jahat karena dugaannya benar walaupun bukan gue yang seharusnya merasakan hal itu.

"Bener ya?" tanyanya lagi yang telah membaca ekspresi gue karena terdiam menatapnya.

Gue baru aja mau berbohong dan berkata kalo dugaannya itu nggak bener. Tapi suara dari belakang kami berempat sukses mendahului gue yang nggak sempat mengucapkan kalimat yang udah siap keluar dari mulut gue.

"Ya bener. Gue nggak suka kehadiran lo." tukas Lukas dengan kedua tangan yang ia taruh di dadanya. Bajunya pun sudah ia ganti dengan pakaian santai, yaitu kaus polos berwarna putih dengan celana berbahan kain berwarna krem. Sangat pas dan cocok di tubuhnya yang terlihat atletis.

Tapi bukan itu yang harus gue perhatikan saat ini. Melainkan gue merasa nggak suka dengan apa yang baru aja dia katakan. Apa-apaan itu, bilang nggak suka secara langsung? Dia pikir semua orang yang dia gituin nggak punya perasaan apa? Pasti Devan merasa nggak enak mendengar pernyataan itu, gue yang sempat melirik rautnya yang lumayan gugup pun mengerti akan apa yang dia rasakan. Oleh karena itu, gue berdiri dari duduk gue dan berjalan kecil menghampiri Lukas lalu menepuk pelan lengannya.

"Lo apaan sih?" bisik gue padanya.

"Apa?" tanyanya balik, dan itu cukup membuat gue jengah.

"Kenapa lo bilang secara terang-terangan kayak gitu? Lo nggak mikirin perasaan dia apa?" tanya gue yang tentu aja masih dengan berbisik.

"Nggak. Gue nggak ada urusan sama perasaan dia. Dia udah ngebuat lo mengabaikan gue, dan itu cukup bagi gue kalo dia membahayakan." ujarnya yang malah terdengar sangat jelas yang mana pasti tiga orang lainnya mendengar ucapannya.

"Pelanin suara lo, Kas. Kalo nggak kita ngomong di dalem aja." ujar gue masih berusaha membujuknya.

Namun Lukas nggak mau, dia bahkan menepis tangan gue yang sempat menggenggam lengannya.

"Dia cuma suruhan petinggi, Nu. Apa yang ngebuat lo ngebelain dia kayak gini?" tanyanya yang kini gantian dia yang memegang kedua bahu gue.

"Gue bukan ngebelain dia. Gue cuma nggak mau dia sakit hati padahal dia sendiri cuma main doang karena Nenek yang suruh buat main bareng gue. Mereka sekarang tinggal di lantai bawah, Kas. Lo harusnya ngerti." ujar gue akhirnya yang memberitahu kalo nenek sudah pindah ke apartemen ini yang letaknya berada satu lantai di bawah.

Lukas terdiam sebentar lalu melepaskan pegangannya pada bahu gue.

"Nenek pindah ke gedung ini?" tanyanya. Gue pun mengangguk mengiyakan.

"Kenapa?"

"Ya karena supaya jarak kita deket lah! Apa lagi?" jawab gue.

"Sejak kapan dia pindah?" tanyanya lagi. Gue memutar kedua bola mata gue malas karena pertanyaan yang terus terlontar, namun tetap saja gue menjawab pertanyaan itu.

"3 hari yang lalu, beberapa jam setelah kepergian lo waktu itu." ucap gue.

Lukas kembali diam setelah gue berkata begitu. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Devan dan berganti lagi menjadi menatap gue.

"Apa aja yang udah dia lakuin ke elo selama 3 hari ini, Nu?" ujarnya dengan suara tertahan yang jelas sekali kalo dia menahan kesal. Apalagi saat gue liat gue tangannya terkepal.

Gue sebenernya takut melihat situasi ini. Tapi gue pikir kalo saat ini adalah pihak Lukas yang salah karena udah berpikiran yang nggak-nggak sedangkan kebenarannya itu gue nggak melakukan apapun sama Devan. Bahkan saat dia kesini selalu bersama Dirwan dan Galih. Jadi sudah di pastikan kalo ini hanyalah kesalahan pahaman Lukas semata.

"Eehh... Kita balik duluan ya, Nu. Takut nenek perlu apa-apa di bawah." ucap Dirwan yang membuat kita berempat menatap kepadanya.

"Iya, Nu. Kita balik ya. Ayo Dev, lu kan bertanggung jawab atas nenek. Lu duluan yang harus keluar." ujar Galih yang kini sudah merangkul bahu Dirwan dan dengan tangan satunya lagi yang mendorong tubuh Devan yang hanya diam menatap gue, sementara gue dan sigap segera melangkahkan kaki gue untuk menyusul mereka.

"Gue ikut!" ujar gue sambil melangkah ke arah mereka yang udah sampai di pintu dan membukanya.

Namun langkah gue segera terhenti begitu tangan gue di tahan oleh genggaman yang begitu kuat dari belakang. Gue pun meringis pelan karena genggaman itu terasa lumayan sakit di tangan gue.

"Biar mereka aja yang keluar. Lo nggak usah!" ucap Lukas tajam. Gue yang mendengar itu pun nggak terima dan berusaha untuk melepaskan genggaman tangannya.

Gue menoleh ke arah mereka bertiga yang hanya diam melihat gue di tahan seperti ini.

"Tolong gue." ujar gue ke mereka. Galih tanggap, ia sudah maju selangkah untuk menolong gue, namun suara dalam milik Lukas membuatnya berhenti dan nggak jadi untuk menolong gue. Setelahnya mereka pun keluar dari sana dan menutup pintunya kembali meninggalkan gue yang masih dengan posisi yang sama.

"Apa-apaan sih lo! Lepasin gue! Gue mau kerumah nenek!" ujar gue dengan sedikit nada tinggi sambil masih menahan sakit yang gue rasakan karena genggamannya.

"Nggak. Lo nggak boleh keluar dan pergi dari apartemen ini." ucapnya dengan nada dan juga wajah yang datar sama seperti yang gue lihat saat pertama kali gue melihatnya. Dan itu terlihat sangat menakutkan. Pikiran gue udah melayang memikirkan nasib yang akan menimpa gue selanjutnya.

Namun gue nggak langsung menyerah begitu aja. Gue masih berusaha untuk melepaskan genggamannya dari tangan gue. Dan gue bersyukur karena dengan sekali tarikan genggaman itu terlepas begitu saja dengan mudahnya. Menyadari hal itu, gue pun tanpa membuang waktu langsung mengambil langkah untuk keluar dari sini.

Tapi baru saja gue menyentuh gagang pintu. Tiba-tiba kaki gue terasa lemas dan langsung terduduk begitu saja saat merasakan feromon yang sangat kuat dan tersebar di seluruh ruangan ini. Napas gue yang tadinya biasa aja, kini menjadi terengah-engah karena merasakan sesuatu yang terus mendorong di dalam diri gue dan seperti menyuruh gue untuk melakukan sesuatu kepada Lukas yang ada di depan gue sekarang. Namun sebelum hal itu terjadi, gue sempatkan diri gue untuk mengucapkan dua kalimat kepadanya.

"Lohh cuhhrangnh.." ucap gue dengan nada mendesah yang hanya di balasnya dengan senyuman miring di bibirnya. Dan setelah itu dia mendekat dan membopong tubuh gue yang entah akan dia bawa kemana.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel